Budaya

Batik, Oh, Batik

×

Batik, Oh, Batik

Sebarkan artikel ini
Batik, Oh, Batik
EKSOTIS: Show Batik Sumenep Madura di Pantai Lombang dalam video promosi even Batik on The Sea, salah satu kegiatan Visit Sumenep 2018. (Foto Istimewa/Yatore.com)

matamaduranews.comSUMENEP-Saya ingat pertama kali memakai baju batik saat masih di bangku SD, dasawarsa 1990-an, pada suatu lebaran.

Sebenarnya saya tidak suka memakai batik kala itu. Untuk anak berusia sekitar kurang lebih 10 tahun, biasanya pakaian lebarannya bermotif pahlawan super, atau apapun yang menjadi tren kala itu.

Namun entah kenapa saya mau saja saat ditawari memakai baju itu. Mungkin karena seragam dengan adik saya yang juga laki-laki. Atau mungkin saya memang suka dengan motif dan sekaligus warna batik itu. Kayak membuat saya lebih dewasa dan berwibawa.

Ya, maklum, anak-anak. Seperti pula anak kecil perempuan, yang setahu saya juga suka memakai aksesoris ibunya, meski tak sebanding dengan tubuh mungilnya.

Ya tas, ya sandal berhak tinggi (high heels), kerudung, bedak kecantikan, hingga lipstik. Mungkin saja dengan itu semua mereka merasa lebih dewasa dan juga cantik.

Kembali pada batik. Saya ingat doeloe saat ada anak muda memakai batik di tempat umum, hampir sebanyak orang yang melihatnya tertawa-tertiwi, atau senyam-senyum. Kadang mengejek renyah.

Katanya, si anak terlihat berpenampilan seperti orang tua. Tak cocok buat mereka yang berdarah muda, meski berdarah biru. Padahal, kalau melihat sejarah batik, kain atau pakaian jenis itu berasal dari dalam tembok keraton.

Meski hampir semua literatur dan narasumber mengenai sejarah batik di Sumenep tidak bisa memberikan bukti otentik dan sahih mengenai kapan mulai ada batik di Sumenep.

”Hanya sebatas perkiraan. Tidak ada keterangan mengenai waktu awal mulanya,” kata Budayawan Madura, Edhi Setiawan, yang saya temui beberapa waktu lalu, sambil ngeteh di ruang belakang Rumah Makan 17 Agustus miliknya.

Namun Edhi berani memastikan bahwa batik sejatinya bukan berasal dari Madura, termasuk Sumenep dan Pamekasan, yang memang dewasa ini dikenal dengan batiknya.

Batik disebutnya berasal dari tanah Jawa. Ceritanya, dulu, di masa keratonisasi, keluarga keraton memang sengaja mendatangkan ahli membuat batik dari kalangan keraton di Jawa.

Yang pada perkembangan selanjutnya, keahlian itu lantas dimiliki oleh keluarga keraton Sumenep, dan di situ pula lantas lahir para pengrajin batik. Namun ya, posisi mereka dan batiknya, tetap dalam tembok keraton sebagai ruang lingkupnya.

”Sehingga dulu, di masa itu, yang bisa membuat batik dan memakai busana dari batik, ya hanya keluarga bangsawan. Kenapa? Karena batik dulu merupakan barang mewah. Sekaligus mahal. Rakyat kala itu mana mampu membeli batik. Coba saja lihat foto-foto masa lalu. Mana ada kalangan kawula atau rakyat kebanyakan yang memakai batik,” kata salah satu tim penulis buku Sejarah Sumenep, terbitan Disparbud (sekarang Disbudparpora) tahun 2003 ini.

Namun seiiring dengan runtuhnya masa feodal, keraton “dihapus”, batik mulai lepas dari kerangkengnya. Batik keluar dari kungkungan tembok keraton. Seni dan kerajinan ini lantas “diselamatkan” oleh orang-orang di luar tembok.

Karena tangan-tangan keluarga keraton sudah tidak lagi kuat mencengkram beberapa budaya papan atas. Maka, batik lantas menjadi konsumsi umum. Semua orang bisa mendapatkan batik. Salah satunya juga imbas dari hukum ekonomi pasar. Produksi batik melimpah. Sudah bukan lagi barang berkelas dan mewah.

Namun meski begitu, perputaran roda jaman, membuat batik kembali ke permukaan. Kendati kini kembali bernilai tinggi, namun batik tetap tidak kembali ke tembok keraton.

Batik tetap merakyat. Hanya, jika seperti pengantar tulisan ini mengenai kurang menariknya batik era doeloe, khususnya di kalangan muda, sebaliknya kini batik malah populer di segala usia. Batik bahkan mulai menjadi bagian dari fashion. Dengan beragam bentuk dan model busana.

”Hanya memang beda antara batik Sumenep dan Pamekasan. Perbedaan paling mencolok ialah warna,” kata Edhi.

Batik Sumenep memang tidak seperti batik Pamekasan yang identik dengan warna cerah alias ngejreng. Batik Sumenep menurut Edhi menyimbolkan karakter orang Sumenep yang agak soft, alias lembut. Sehingga pilihan warnanya agak kurang cerah, namun tetap lembut dipandang.

Dewasa ini, sentra batik di Sumenep berada di Desa Pakandangan Barat, Kecamatan Bluto. Menurut salah satu pemerhati Batik di Sumenep, Rani, sentra batik di situ tergolong paling tua di Sumenep, pasca memudarnya era keraton.

Otomatis sudah terbentuk sejak jaman kolonial. Namun sekali lagi tak bisa dipastikan tahun berdirinya. ”Namun tetap tradisi keratonnya kental. Seperti motif kipas yang sudah ada sejak dekade ketiga 1900-an,” kata Rani, yang kala itu merengek minta antar ke Om Edhi.

Nah, jika batik bukan asli Madura, namun populer di Pulau Garam ini, apa tidak adakah kerajinan tangan yang memang original? Tentu ada. Edhi Setiawan menyebut itu kerajinan tenun. ”Kalau tenun memang asli Madura,” katanya. Bagaimana kisahnya? Majalah ini akan mengulasnya di lain kesempatan.

R B M Farhan Muzammily

KPU Bangkalan