Kawasan Ambunten merupakan daerah penting di abad-abad awal Islamisasi di Sumenep. Kawasan ini khususnya di daerah pesisirnya banyak menyimpan jejak-jejak ulama besar yang memiliki jasa besar dalam pembumian ajaran Islam.
Mata Madura sudah pernah mengupas jejak Kiai Demang Singaleksana, yang merupakan Ratu Simanya Madura. Sang Kiai yang diperkirakan hidup di abad 18 hingga 19 ini menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah Ambunten yang tidak tertulis dalam rupa kertas, melainkan benak warga di sana yang berjas merah.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sebelum Kiai Singaleksana alias Kiai Macan, didahului oleh sedikitnya tiga tokoh ulama pendatang periode awal yang masih menyisakan jejak berupa peninggalan sekaligus sekelumit kisah yang berserakan, tidak utuh, sekaligus “bersembunyi†di kalangan penutur-penutur yang juga “tak kasat mataâ€. Penyebutan angka 3 tersebut tidak lantas membuat batas baku, melainkan membatasi agar penyusunan lebih fokus dan tidak melebar. Tiga juga menjadi simbol jumlah perbuatan baik, yang mana Rasulullah SAW menganjurkan agar dalam beberapa hal diganjilkan 3 kali. Seperti dalam ibadah: gerakan basuhan wudlu, beberapa bacaan dalam beberapa gerakan shalat, dan lainnya.
Dengan demikian, tiga tokoh yang disebut tokoh ulama periode awal itu tidak lantas menegaskan bahwa sebelum dan sesudahnya, atau yang semasa dengan ketiganya, tidak ada tokoh-tokoh yang berpredikat ulama di Ambunten. Jumlahnya tentu lebih banyak. Seperti halnya ilmu pengetahuan, hanya sedikit yang diketahui, dan masih sangat banyak yang belum diketahui.
Nah, Mata Madura mencoba menyusun jejak ketiga tokoh itu semaksimal mungkin. Meski sebatas pengantar. Karena masih memerlukan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk merangkainya lebih utuh, di kemudian hari. Dalam pengantar ini Mata Madura berkolaborasi dengan Tim Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep. Sebuah tim yang konsern salah satunya dalam penelusuran jejak-jejak tokoh sejarah masa kuna di Madura.
 K. Langgar Attas
Di sebuah dataran tinggi, di kampung Batang, Ambunten, terdapat kompleks pemakaman sepuh. Jirat dan ornamen makam begitu unik dan tua. Bentuk nisan maupun kijing hampir memiliki kesamaan dengan nisan dan kijing beberapa makam kuna di Sumenep. Seperti ukuran, tinggi dari permukaan tanah. Umumnya bentuk makam seperti itu produk abad 18 akhir atau 19 awal. Meski butuh uji khusus, terutama mengenai usia batu. Makam itu juga memiki ornamen, seperti perlambang atau gambar tertentu. Bedanya, di makam itu ada semacam dinding berbentuk wayang.
Menurut cerita Nyai Zainiyah, salah satu warga sekaligus tokoh setempat, kawasan tersebut merupakan kompleks Asta Kiai Langgar Attas.
Sebutan langgar attas semacam laqob, nisbat pada tempat atau sesuatu. Seperti sebutan Kiai Sendir, Kiai Parongpong, Kiai Barangbang, dan lain sebagainya. Secara makna langgar attas ialah langgar (surau, mushalla) yang berada di atas, atau posisinya berada di dataran tinggi suatu tempat. Sebutan Kiai Langgar sebenarnya sebutan umum bagi banyak tokoh.
Di beberapa tempat, banyak tokoh yang disebut kiai Langgar. Biasanya merujuk pada guru ngaji, atau tokoh agama yang memiliki tempat khusus dalam mengajar (morok), bernama langgar atau mushalla.
Kiai Langgar Attas menurut Zainiyah merupakan ulama sepuh di wilayah tersebut. Menurut kisah turun-temurun, Kiai Langgar Attas merupakan tokoh ulama pendatang. Tidak ada keterangan mengenai asal-muasalnya.
â€Salah satu kisah menyebut beliau dari arah Barat. Bisa jadi dari Bangkalan saat ini,†kata mertua K. H. Uwais Ali Hisyam itu, beberapa waktu lalu.
Konon, Kiai Langgar Attas datang bersama saudara laki-lakinya. Keduanya merupakan tokoh yang alim. Namun karena perbedaan pendapat dan sistem pendekatan da’wah pada masyarakat, saudara K. Langgar Attas memutuskan untuk hijrah dari Ambunten.
â€Menurut riwayat hijrah ke Barangbang Sumenep,†ungkap Zainiyah.
Perbedaan itu menurut tutur, seputar metode dakwah. Kiai Langgar Attas bersikap lebih terbuka terhadap adat istiadat setempat. Sedang saudara beliau lebih keras dalam menerapkan hukum agama. Nah, perbedaan tersebut tentu saja bisa berakibat tidak baik. Dan keduanya memahami secara arif. Sehingga, memutuskan untuk berpisah.
Lalu siapa saudara K. Langgar Attas ini?
“Tidak ada riwayat soal beliau itu?†kata Zainiyah.
Mata Madura lantas tertarik menelusurinya. Pasalnya, hal tersebut kemungkinan terkait dengan tokoh kedua dari trio ulama yang dibahas dalam edisi kali ini.
Tokoh kedua itu ialah Kiai Muban. Makamnya berada di satu lokasi, namun di area tersendiri.
K. Muban
Di kampung Batang tersebut, Pasarean, atau makam, atau maqbarah Sayyid Muban begitu terkenal. Para peziarah bahkan berasal dari daerah luar. Sebutan sayyid tersebut berasal dari asal-usul sang tokoh yang dalam banyak catatan silsilah di Sumenep khususnya, disebut sebagai keturunan langsung Sunan Ampel, yang merupakan tokoh Wali Sanga dari golongan Saadah Ba’alawi.
Catatan mengenai silsilah Sayyid Muban, atau di catatan lain ditulis Kiai Muban, salah satunya terdapat di Buku Silsilah Keraton Sumenep, tulisan tangan R. B. Abdul Fattah (1989). Kiai Muban adalah putra Sayyid Syits atau Kiai Syits di Barangbang (yang masuk Desa Kalimo’ok, Kecamatan Kalianget, Sumenep). Kiai Syits merupakan salah satu anak lelaki Sayyid Zainal Abidin alias Sunan Cendana di Kwanyar, Bangkalan.
Jika ditarik ke atas, begini silsilah K. Syits: Kiai Syits bin Sunan Cendana bin Sunan Mufti (Khatib/R. Bandardaya) bin Pangeran Musa bin Sunan Drajat bin Sunan Ampel. Dalam catatan di maqbarah Sunan Cendana, tertulis Sunan Cendana bin Sayyid Khatib bin Sunan Drajat bin Sunan Ampel. Wa Allah a’lam.
Baik Nyai Zainiyah atau masyarakat setempat, tidak ada yang bisa menjelaskan hubungan Kiai Muban dengan Kiai Langgar Attas. Namun di catatan silsilah K. Muban jelas menuliskan Kiai Syits di Barangbang sebagai ayah Kiai Muban.
Dugaan sementara yang muncul di kalangan Tim Ngoser, Kiai Syits ialah orang yang sama dengan saudara laki-laki Kiai Langgar Attas yang hijrah dari Ambunten karena beda metode dakwah, atau penerapan fiqih.
â€Dugaan itu karena riwayatnya saudara K. Langgar Attas hijrah ke Barangbang. Sedang di catatan silsilah, K. Syits berdomisili di Barangbang. Nah, diperkuat dengan keberadaan asta K. Muban di Kampung Batang, berdekatan dengan K. Langgar Attas. Maka kemungkinannya begini, K. Muban tidak ikut hijrah bersama ayahnya, namun menetap bersama pamannya, di Batang,†urai Ja’far Shadiq, salah satu personel Ngoser.
Meski begitu, hal tersebut tentu masih membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Namun, tidak bisa dipastikan hal itu mudah. Karena catatan maupun riwayat tutur terkait dugaan tersebut masih belum ditemukan.
K. Abbas
Kiai Abbas merupakan putra Kiai Muban. Pasarean beliau berada satu lokasi dengan ayahnya, di Kampung Batang. Kijing maupun nisan keduanya bisa dikatakan masih tidak mengalami perubahan signifikan. Terutama maqbarah Kiai Abbas. Sedang maqbarah Kiai Muban mengalami perbaikan, khususnya kijing yang dilapisi campuran semen.
Seperti halnya Kiai Muban, tidak banyak diketahui riwayat Kiai Abbas. Masyarakat umum hanya mengenal beliau berdua sebagai ulama besar yang keramat.
Dalam catatan silsilah yang bersumber pada buku di atas, Kiai Abbas merupakan ayah dari Kiai Abdul Alim, di Barangbang, Kalimo’ok, Sumenep. Kiai Abdul Alim menikah dengan Nyai Tenggina, Putri Kiai Ali Barangbang. Dari pernikahan itu lahirlah Kiai Daud, yang menggantikan Kiai Ali Barangbang.
Kiai Daud merupakan leluhur banyak ulama besar di Sumenep dan menyebar ke beberapa kawasan Madura dan Jawa. Salah satu keturunan Kiai Daud ialah pendiri sekaligus pengasuh awal Pondok Pesantren Loteng di Pasarsore, Karangduak, Sumenep, yaitu Kiai R. B. Hasan bin Muharrar. Pesantren tersebut merupakan pesantren tertua di kawasan Kota Sumenep. Disebut Loteng karena sebelumnya merupakan dalem (rumah) sekaligus markas militer Pangeran Kolonel (Kornel) Nawawi, salah satu putra Sultan Sumenep.
R B M Farhan Muzammily