Budaya

Pangeran Ronggodiboso; Cikal Bakal Roma Panggung Songennep (3)

×

Pangeran Ronggodiboso; Cikal Bakal Roma Panggung Songennep (3)

Sebarkan artikel ini
Pintu masuk menuju Pasarean Raden Entol Anom alias Pangeran Patih Ronggodiboso di Asta Tinggi Sumenep. (Foto/RM Farhan)

matamaduranews.com-KAWASAN Asta Tinggi Sumenep memiliki beberapa komplek pasarean utama. Komplek tersebut dimulai dari bawah tanjakan. Dalam peta Asta Tinggi, komplek yang saat ini masih bisa diidentifikasi di antaranya komplek pasarean Kiai Penghulu Zainal Abidin.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Tempatnya di selatan kaki bukit Asta Tinggi. Sekira 200 meter ke selatan ada jalan ke arah barat, tepatnya di barat bangunan madrasah.

Kiai Penghulu Zainal Abidin merupakan tokoh ulama sekaligus Qodhi (Pangolo Nagara). Istilah lainnya ialah Hoofd Penghulu (Pimpinan segenap penghulu) Sumenep.

Jabatan itu merupakan jabatan tertinggi penghulu di masa keraton. Di bawahnya ada Penghulu Naib, yang biasanya sebagai pimpinan penghulu di tingkat kecamatan atau yang sebelumnya kewedanan.

Kiai Zainal Abidin berasal dari keluarga sentana keraton dinasti terakhir. Beliau putra Kiai Nugrahan (Penghulu Mardikan Batuampar pertama), saudara sepupu Panembahan Sumolo.

Sang Kiai juga diambil menantu oleh Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V, Penguasa Bumi Semarang. Isteri sang Kiai ini bersaudara dengan Ratu Khadijah, permaisuri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.

Agak ke utara sekira 30 meter ada jalan setapak ke barat. Di sana merupakan komplek pasarean Ibunda Pangeran Letnan Kolonel (Pangeran Le’nan) Moh Hamzah. Pasarean tersebut dalam rentang waktu relatif lama mengalami mis informasi di kalangan keturunannya. Tim Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep berhasil mengidentifikasi kembali pada 2018, berkat utuhnya prasasti di nisan Sang Ibunda Pangeran.

Berkat upaya Tim Ngoser dan keluarga besar keturunan Pangeran Le’nan, identifikasi berlanjut pada bhakti situs. Sehingga lantas bisa mengidentifikasi pasarean lainnya, semisal Kiai Reksajaya, Kiai Reksayuda, dan lainnya.

Penelusuran lebih lanjut, ketiga tokoh tersebut (Ibunda Pangeran Le’nan, K. Reksajaya, dan Reksayuda) diduga bersaudara, sama-sama putra dari Raden Ardikusuma, putra Nyai Izzah dengan Kiai Samporna.

Jadi, Raden Ardikusuma ialah saudara seibu dengan Panembahan Sumolo. Keduanya sama-sama beribukan Nyai Izzah. Sayang, pasarean Raden Ardikusuma yang menurut riwayat sesepuh Sumenep ada di kawasan tersebut masih belum ditemukan. Sementara salah satu putra Raden Ardikusuma lainnya, yang dikenal kewaliannya, ialah Raden Ardikusuma II (Gung Ardi) pasareannya ada di Asta Pacangagan, Jalan Pahlawan desa Pandian.

Tim Ngoser juga sempat mengidentifikasi beberapa makam, di antaranya Kiai Sawunggaling, Kiai Layangseta, dan lainnya. Kiai Sawunggaling merupakan salah satu tokoh yang berjasa pada awal pemerintahan dinasti terakhir.

Tak hanya itu, komplek utama lainnya yang sudah umum diketahui ialah komplek Pasarean Pangeran Le’nan, salah satu putra utama Sultan Sumenep. Naik ke atas, tepatnya di lambung bukit Asta Tinggi ada pasarean sepuh yang sejak dahulu masuk salah satu destinasi utama.

Komplek tersebut ialah area pemakaman tokoh sepuh Sumenep yang sejak beberapa edisi sebelumnya menjadi tokoh sentral Jejak Ulama Madura, yaitu Pangeran Ronggodiboso alias Patih Rangga. Dalam catatan silsilah Sumenep, khususnya di keluarga Rumah Panggung Kepanjin dan catatan keluarga K. R. B. Moh Mahfudh Wongsoleksono (Wedana Kangayan), beliau bernama lain Raden Entol Anom alias Raden Onggodiwongso.

Area komplek tersebut juga dikenal dengan Pasarean Pate (Patih) Bangsa, yaitu salah satu putra Ronggodiboso yang bernama Raden Demang Wongsonegoro.

Di area itu juga juga ada pasarean Raden Atmologo alias Raden Kromosure, saudara Wongsonegoro. Atmologo adalah ayah Raden Tumenggung Rangga Kertabasa Pratalikrama, Hoofd Jaksa Sumenep. Pratalikrama merupakan tokoh yang membantu Sultan Sumenep dalam menerjemahkan prasasti dari Bali di masa Gubernur Jendral Inggris, TS Raffles. Selain Pratalikrama, ada makam Kiai Patih Singotruno, Raden Wongsokusumo I, dan lainnya.

Naik ke atas lagi menuju komplek utama Asta Tinggi, di pundak bukit terdapat komplek Pasarean Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V, Hoofd Regent Semarang yang wafat di Sumenep. Sebelah timurnya merupakan komplek pasarean putranya, yaitu Raden Adipati Pringgoloyo, Patih Dalem Sultan Sumenep.

Komplek Asta Pate Rangga dan Pate Bangsa

Pate Ranggadibasa dimakamkan di Asta Tinggi. Seperti disebut dimuka, pasarean Ronggodiboso terletak di lambung bukit Asta Tinggi. Posisinya di sebelah kanan jalan atau utara jalan, jika dari bawah. Lebih tepatnya lagi, posisinya di tanjakan pertama Asta Tinggi, setelah pintu gerbang Asta, pas di tikungan tanjakan kedua.

Model makam atau kijing Pangeran Ronggodiboso bercorak era Pangeran Pulangjiwa dan pembesar Sumenep lainnya sebelum Panembahan Sumolo. Seperti juga disinggung di muka, di sebelah timurnya ialah makam Patih Raden Atmologo, putra keduanya. Agak ke timur lagi makam Raden Tumenggung Pratalikrama dan mertuanya, yaitu Kiai Singotruno. Makam Pratalikrama dan isterinya diberi atap.

”Kalau makam Pate Rangga dan Pate Atma memang tidak diberi atap pada awalnya. Namun beberapa waktu lalu ada pihak keluarga yang membuatkannya,” kata Iik Guno Sasmito, salah satu anggota keluarga Rumah Panggung Kepanjin, dan sekaligus salah satu keturunan Pratalikrama, pada Mata Madura bulan lalu.

Atap yang menaungi pasarean Pate Rangga itu cukup sederhana. Penyangganya hanya berupa balok kayu. Tak seperti atap yang menaungi pasarean Pratalikrama yang disangga pilar berbahankan batu dan perekat.

”Kabarnya memang Pate Rangga ta’ kasokan (tidak mau; red) dibuatkan semacam cungkup atau kubah,” tambah Iik.

Sedang makam Pate Bangsa (Raden Demang Wongsonegoro), menurut keterangan Iik berada di sebelah selatan Pate Rangga. Agak turun sedikit dari permukaan tanah pasarean Pate Rangga.

Sayang, saat Mata Madura mencoba mengambil fotonya, kijing pasarean Pate Bangsa sudah tidak original. Menurut Iik, pemugaran pasarean tersebut tanpa sepengetahuan keluarga besar. Akibatnya situs berupa pasarean Pate Bangsa pun hilang. Saat ini yang tersisa berupa empat tiang penyangga pasarean. Tiang itu tetap berdiri kokoh, tanpa atap. (habis)

| R B M Farhan Muzammily