Kiai Imran Syahruddin merupakan sosok kiai langka di Sumenep. Selain usia tergolong lanjut, 85 tahun, keperibadiannya amat sangat sederhana. Kehidupan asketisme (zuhud), beliau aplikasikan dalam sehari-hari. Meski penuturan pelan, tapi menusuk relung hati paling dalam. Ada getaran batin yang terasa syahdu ketika mendengar dawuhnya. Sabdanya seperti suluh kehidupan.
matamaduranews.com–SUMENEP-Secara lahiriah praktek hidup Kiai Imran menyerupai para Sufi dulu. Atribut Sufisme terlihat dari sikap zuhud, wara’ dan qana’ah-nya. Sikap zuhud dan wara’ Kiai Imran memanfaatkan harta yang ada sesuai dengan kebutuhan. Kiai Imran tidak menginginkan banyak fasilitas.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Tempat tinggalnya juga sekedarnya, asal layak ditempati. Tanpa bermewahan. Kendati tidak sedikit tawaran datang dari para tamu untuk merenovasi kediamannya. Termasuk rencana bangunan masjid dan pesantren yang megah. Kiai Imran selalu menolak. Dengan alasan sangat sederhana.
“Banyak yang menawarkan Kiai Imran berangkat haji gratis. Termasuk bangunan masjid mewah. Tapi Kiai Imran selalu menolak,†tutur Pak Nto, yang mengaku pernah nyantri ke Kiai Imran di era 80-an, kepada Mata Sumenep.
Menurut Nyai Syarifah, puteri ke 10, dari 17 keturunan Kiai Imran, abahnya, memang selalu menolak bantuan untuk perbaikan tempat tinggal pribadi. “Pernah abah di beri mobil oleh puteranya. Tapi abah menyuruh untuk menjual kembali mobil tersebut,†tuturnya kepada, Mata Sumenep.
Dari silsilah keluarga, Kiai Imran masih memiliki kekerabatan dengan Kiai Haji Raden Syamsul Arifin, Situbondo (abah Kiai As’ad). Kiai Syamsul memang berasal dari Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Begitupun Kiai Imran lahir di Kembang Kuning, Pamekasan, 25 Oktober 1930 (sesuai KTP), dari pasangan Kiai Haji Raden Syahruddin dan Nyai Zahro. Karena itu, sewaktu muda, Kiai Imran sempat nyantri ke Kiai Syamsul, berlanjut ke Kiai As’ad, termasuk Kiai Umar, Sumber Beringin. Nyai Sarifah tidak menyebut durasi waktu mondok Kiai Imran di Situbondo.
Bagaimana asal muasal domisili Kiai Imron? Nyai Syarifah bercerita, penentuan lokasi kediaman di Desa Pakamban Laok, berdasar saran Kiai Wongso, Kecamatan Lenteng, Sumenep,. “Abah sowan ke Kiai Wongso minta arahan, baiknya bertempat tinggal di mana, apakah di Jawa atau di Madura. Kiai Wongso menjawab lebih baik di Madura. Abah tanya kembali, apabila di Madura di Kabupaten mana? Kiai Wongso menjawab Sumenep. Jika di Sumenep, mana? (barat atau timur). Kiai Wongso menjawab di bagian barat yang ada alas (hutan) di pegunungan. Dari saran Kiai Wongso, abah memilih bermukim di Desa Pakamban Laok, konon, di lokasi ini dulu, terkenal sebagai tempat angker (seram),†tutur Nyai Sarifah.
Sang menantu Kiai Imran, Abdul Waris Anwar, menjelaskan, tanah yang ditempati Kiai Imran saat ini berasal dari pemberian Abdul Rasyid, yang saat itu, masih hutan belantara. Sekitar tahun 1962, Kiai Imran mendirikan tempat tinggal setelah sebelumnya berdomisili di Probolinggo.
“Sejak itu, banyak tamu dari Probolinggo yang sowan ke sini,†ungkapnya. Para tamu datang dari berbagai daerah, menetap hingga beberapa hari di kediaman Kiai Imran.
Seiring berjalannya waktu, putra-putri Kiai Imran berinisiatif mendirikan Yayasan Ali Imron untuk mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda, pada tahun 1993. Abdul Waris Anwar, menjelaskan, pesantren berdiri berdasar permintaan para tamu yang berkeinginan putranya untuk mengaji ke Kiai Imran. Hingga kini jumlah santri yang mondok di pesantren mencapai ratusan, berasal dari Pamekasan, Sampang, Bangkalan, dan seputar Probolinggo. Termasuk dari Sumenep.
Tamu yang datang rata-rata dari etnis Madura yang berdomisili di Jawa. Seperti, Probolinggo, Lumajang, Banyuwangi, Jember, Surabaya. Termasuk dari Madura.
“Salah satu tamu yang sering ke abah, seperti Ustadz Husni, Surabaya dan Ustadz Jamali, Sampang. Termasuk mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin, masih berguru ke abah,†jelas Nyai Sarifah.
Para tamu biasanya datang rombongan naik bus pariwisata. “Tradisi di kami, setiap tamu yang datang, di sediakan dahar (makanan) sebagai bentuk penghargaan kepada tamu. Setiap sedekah dari tamu, abah langsung mensedekahkan kepada orang lain. Abah amat sangat sederhana sekali. Beliau selalu istiqomah memegang syar’i,†sambungya.
Kiai Imran merupakan sosok yang rendah hati. Segala perbuatannya tidak berharap pujian manusia, kecuali berharap ridho Allah Swt.
Begitupun sikap Qana’ah Kiai Imran juga diwujudkan dalam bentuk syukur melalui ketaqwaan utuh kepada Allah Swt. Kepada para tamu, Kiai Imran selalu memberi wejangan sesuai dengan kebutuhan atau problem yang dihadapi. Seperti, ketika ada tamu yang mengalami problem rezeki, Kiai Imran menasehati dengan nasihat taqwa.
“Keyakinan utuh (ketaqwaan sempurna) kepada Allah Swt, sebagai penguasa alam, akan menolong setiap kesulitan yang menimpa hamba, asal diri kita memasrahkan diri kepada Allah Swt. Apabila kamu tidak berharap pertolongan-Nya, Allah Swt melepas dan menyerahkan sesuai hawa nafsumu,†dawuh Kiai Imran kepada tamu yang hadir.
Setelah berdiri ponpes, masyarakat sekitar pesantren, berharap berdiri lembaga formal agar putra-putri desa setempat dan sekitar tidak bersusah jauh menuntun ilmu. Maka di tahun 2007, berdiri SMP Miftahussa’adah. Pada tahun berikutnya, 2008, berdiri Paud Edelweis, dan pada tahun, 2009, berdiri SMK Al ‘Imran, serta pada tahun, 2010, berdiri MI Tahfid Al Quran. PP Nurul Huda, dibawah naungan Yayasan Ali Imran
“Demi peningkatan lembaga pendidikan, kami masih menerima bantuan dari pemerintah,†ujar Nyai Sarifah.
ahmad faidi & mahdi
disadur dari Mata Sumenep