Budaya

Sapi, Hewan Ajaib Yang Mewarnai Perjalanan Pulau Garam (2)

×

Sapi, Hewan Ajaib Yang Mewarnai Perjalanan Pulau Garam (2)

Sebarkan artikel ini
Sapi Madura
Ilustrasi sapi di kandang. (Foto/Istimewa)

matamaduranews.comDalam pantauan Mata Madura, beberapa waktu lalu, keanehan yang dikata Kus dirasa benar adanya ketika mulai menjejakkan kaki di pulau Sapi.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Meski tidak sampai mengitari secara keseluruhan luas pulau ini, namun sebagian besar sudah dijelajahi. Letak anehnya, sangat jarang ditemui perumahan warga yang plus dengan lokasi ternak sapinya.

“Karena kepulauan, tanahnya pegunungan hanya 0,2 persen saja yang ada sawah. Selainnya berbentuk tegalan dan bebatuan. Bagi masyarakat pedalaman, mata pencahariannya bertani sambil beternak. Masyarakat pesisir menangkap ikan di laut dan berlayar ke Kalimantan merupakan mata pencaharian. Ada pula masyarakat yang merantau ke Jakarta, Bali dan Gresik,” jelas Kus.

Sebelumnya, Mata Madura pernah mendengar tentang cerita goa Sapi di Sapudi. Konon, goa itu menghasilkan sapi. Sapi-sapi tanpa ada yang memelihara, kabarnya keluar dari goa tersebut setiap harinya hingga ratusan ekor.

Namun, rupanya masyarakat Sapudi belum seratus persen percaya. Bahkan, kalau ditanya keberadaan gua sapi, tidak banyak tahu. “Entah di mana goa tersebut,” kata Kus.

Meski begitu ya, ada juga yang percaya dengan kekuatan magic goa sapi tersebut. Anwari warga Desa Kalowang menceritakan tentang kekuatan gua sapi. Tiap Kamis malam atau malam Jumat manis, goa itu selalu dipenuhi para pendatang untuk bertapa. Kata Anwari, para pendatang itu kebanyakan dari Jawa tepatnya daerah tapal kuda. Mereka membawa tongar (tali sapi) atau alat sapi lain.

“Harapannya bisa membawa berkah dengan memperbanyak keturunanan sapi atau sapi kerapannya punya jalan yang cepat sehingga punya harga jual tinggi. Soal harapan banyak sapi ini bisa dipercaya dikaitkan dengan jumlah sapi yang begitu meluber dan tidak bisa habis meski selalu dijual ke luar Sapudi,” katanya.

Mewarnai Budaya

Di Madura, sapi mewarnai perjalanan panjang sejarah dan budaya lokal. Bahkan hewan ini menjadi simbol Madura selain garam, dengan karapan sapinya. Budaya ini sejak awal kemunculannya mem- punyai nilai-nilai budaya yang religius, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur, kegembiraan, dan sekaligus hiburan bagi para petani di Sumenep seusai panen.

Dalam sejarah Sumenep, ide dasar pergelaran karapan sapi dikenalkan oleh Sayyid Ahmad Baidawi atau yang dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur. Secara genealogi, Pangeran Katandur merupakan saadah (kata jamak untuk panggilan sayyid atau keturunan Rasulullah SAW melalui putrinya Sayyidatina Fathimah).

Di silsilah Sumenep, Pangeran Katandur disebut putra Panembahan Pakaos Kudus yang hijrah untuk berdakwah di Sumenep. Panembahan Pakaos adalah anak Suhunan Kudus, salah satu dari Wali Sanga di Jawa. Jadi Pangeran Katandur adalah cucu Sunan Kudus.

Sebutan Pangeran Katandur dikarenakan sang pangeran ini selain ahli di bidang agama juga ahli di bidang pertanian. “Jadi beliau ini nandur, bertani juga,” kata almarhum RPA Sukur Notoasmoro, semasa hidupnya pada Mata Madura.

Nah, di Sumenep ini, Pangeran Katandur di samping menyebarkan Islam juga mengajarkan cara bercocok tanam serta mengolah tanah dengan cara membajak dengan bantuan sapi. Tradisi ini lantas berkembang menjadi ungkapan rasa syukur pasca panen yang selalu berhasil sejak sebab tata cara yang diajarkan sang pangeran.

Seiring dengan berputarnya roda zaman, “upacara panen” yang semula hanya spontanitas lama-kelamaan digelar secara rutin dan dilembagakan. Di jaman Panembahan Sumolo, upacara panen yang dikenal dengan karapan sapi itu selanjutnya berevolusi menjadi simbol kebudayaan rakyat yang identik dengan masyarakat Madura.

Budaya karapan sapi  kemudian dilembagakan secara formal dan kompetitif sehingga mengakibatkan solidaritas sosial orang Madura menjadi semakin organis. Hal ini ditandai oleh tingkat pembagian kerja yang relatif heterogen di bidang kebudayaan berupa tingkat ketergantungan antar individu yang tinggi dan nilai-nilai primordial yang lebih longgar.

Dinamika Budaya Karapan Sapi

Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat masyarakat Madura.

Secara umum, karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi. Perlombaan ini memakai sarana yang disebut kaleles yang ditarik sepasang sapi dan dikendalikan oleh tokang tongko’ (joki) untuk selanjunya dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain.

Menurut R. M. Hasan Sasra, salah satu Budayawan Madura, fungsi utama karapan sapi sebagai wadah untuk mempererat dan memupuk kekerabatan antar komunitas karapan sapi. Secara istilah, kata karapan disebutnya berasal dari bahasa Arab qorobah yang bermakna kerabat.

“Seiring perkembangan zaman, kata kerabat menjadi kerrapan yang berarti memacu atau adu kecepatan,” jelasnya. (bersambung)

RM Farhan Muzammily