Religi

Ziarah Ke Makam Pakunya Madura Ini Ada Tata Krama Khusus, Berikut Ulasannya

×

Ziarah Ke Makam Pakunya Madura Ini Ada Tata Krama Khusus, Berikut Ulasannya

Sebarkan artikel ini
Posisi duduk yang benar ketika ziarah ke maqbarah Kiai dan Nyai Agung Rabah seperti dalam gambar. (Foto/Mata Madura)

matamaduranews.com-PAMEKASAN-Sosok ulama sekaligus waliyullah besar di bumi Gerbang Salam ini selalu menarik untuk dibincang dan ditulis. Kiai Abdurrahman Rabah (atau Raba) alias Kiai Agung Rabah, memang memiliki banyak kisah yang tak habis-habis untuk dikupas.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Tak hanya kisah-kisah yang penuh teladan dan inspirasi saat beliau masih hidup. Namun juga kisah-kisah selepas beliau berpulang ke rahmatullah.

Mata Madura dalam edisi sebelumnya telah mengupas seputar pasarean beliau di desa Sumedangan, kecamatan Padewamu, Pamekasan ini. Pasarean yang kini menjadi ares situs penting di Pamekasan. Situsnya masih original, dengan sebuah peninggalah berupa prasasti nisan Sang Wali yang indah dan terbuat dari bahan pilihan.

“Menurut, peneliti ahli cagar budaya, nisan beliau merupakan giok permata dari Cina,” kata Abdul Hamid, salah satu penerus estafet yang merawat situs Rabah.

Nisan itu merupakan hadiah dari cicit keponakan Kiai Agung Rabah, yaitu Panembahan Notokusumo, raja Sumenep (1762-1811).

Nah, kali ini Mata Madura akan mengupas sisi lain tentang Kiai Agung Rabah. Namun hal ini lebih pada kisah seputar pasca wafatnya beliau. Kisah turun-temurun yang menjadi semacam peraturan tidak tertulis di benak setiap generasi, yang begitu dekat dengan kisah kepribadian Wali Agung asal Sendir, Lenteng, Sumenep ini.

Tata krama Ziarah

Setelah Kiai Agung Rabah  wafat, maka maqbarah atau pasarean beliau menjadi tempat pilihan bagi orang untuk mencari berkah. Karena beliau dipercaya seorang waliyullah dan merupakan Pakunya Madura. Tempat peristirahatan abadi putra Kiai Abdullah Sendir ini, di masa sekarang sudah menjadi Situs atau Cagar Budaya Pemerintah Pamekasan. Situs religi yang hampir setiap harinya ramai didatangi peziarah dari berbagai kota.

Untuk nyabis atau sowan, nyekar ataupun ziarah ke maqbarah Kiai dan Nyai Agung Rabah konon ada beberapa tata krama yang perlu diikuti oleh para peziarah. Hal ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan pada beliau sebagai waliyullah yang agung. Para sesepuh telah mengajarkan tata krama tersebut agar kita epanggi’i (ditemui) oleh beliau.

Dalam buku “Kiai Agung Rabah, Rabah dan Sejarahnya” (susunan Abdul  Hamid Ahmad yang dieditori RBM Farhan Muzammily) disebutkan beberapa tata krama nyabis atau ziarah ke maqbarah Kiai Agung Rabah seperti apa yang diajarkan dan dilakukan para sesepuh Rabah. Berikut uraiannya:

Pertama, niat untuk ziarah, tidak bercabang kepada niat yang lain.

Kedua, dilarang berjalan beriringan.

Ketiga, sandal, sepatu atau alas kaki yang dipakai harus dilepas tidak boleh dibawa ke dalam lokasi Maqbarah.

Keempat,  duduk bersimpuh, dilarang duduk bersila dan dilarang duduk di sebelah utara.

Kelima, dilarang mengeraskan atau menyaringkan bacaan baik wiridan, dzikir atau bacaan lain yang diinginkan. Dianjurkan membaca dengan suara pelan.

Keenam, ketika mau keluar dari dalam komplek maqbarah utama, berjalan mundur, jangan membelakangi beliau hingga keluar Pintu Pagar Utama Maqbarah.

Ketujuh, selama berada di lokasi maqbarah dilarang bicara nyaring, tertawa terbahak-bahak, riuh atau ramai.

Kedelapan, jika baju/pakaian yang atas hitam, maka wajib hitam semua.

Yang lebih menarik lagi, menurut R. P. M. Mangkudiningrat, salah seorang sesepuh dan keturunan raja Sumenep, mengatakan bahwa jika datang nyabis ziarah ke maqbarah Kiai  Agung Rabah, harus niat dari rumah tidak boleh ada niat mampir ke mana pun, begitu juga pulangnya langsung ke rumah.

Dan menurutnya lagi, ada sebuah larangan kalau nyabis ziarah ke maqbarah Kiai Agung Rabah dilarang membawa senjata pusaka, baik yang berupa keris, golok, dan atau sejenisnya.

Di samping itu, ada sebuah larangan memelihara kuda berkulit atau berbulu hitam. Larangan ini berlaku bagi semua keturunan keluarga Kiai Agung Rabah. Tidak ada yang tahu apa maksud larangan ini, tapi hingga detik ini kepercayaan tersebut tetap dipegang oleh semua keturunan keluarga sang Wali di Rabah.

RM Farhan