Budaya

Bindara Saod, Raja Sumenep Dari Ulama

×

Bindara Saod, Raja Sumenep Dari Ulama

Sebarkan artikel ini
Panembahan Mohammad Shaleh (duduk di kursi), raja (adipati) terakhir Dinasti Saut di Sumenep. Setelah beliau terjadi penghapusan status keraton menjadi kabupaten. (Foto Collections KITLV Digital Image Library Universiteit Leiden The Netherlands)

matamaduranews.com-Bindara Saod (atau juga dikenal sebagai Bindoro Saud, Bindara Saut, Bendoro Moh. Saod) sebagai Raja Sumenep Ke-29. Beliau mendapat gelar R. Tumenggung Tirtonegoro.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Bindara Saod memimpin Sumenep sejak tahun 1750 M hingga 1762 M. Beliau diangkat Raja Sumenep setelah menikahi putri Raja Sumenep bernama Raden Ayu Rasmana Tirtonegoro.

Bindara Saod diperkirakan lahir di awal kurun 1700-an Masehi. Tidak ada petunjuk lisan maupun tulisan mengenai hari, tanggal, hingga tahunnya. Hanya, peristiwa sebelum kelahirannya dikenal melegenda. Dan terus menjadi perbincangan dengan diceritakan turun-temurun.

Ayah Bindara Saod bernama Kiai Abdullah, asal Desa Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk. Ibunya bernama Nyai Nurima atau Nairima.

Gelar Bendara Saod,berawal dari kejadian aneh. Berdasarkan sebuah legenda. Suatu waktu, Kiai Abdullah memanggil isterinya Nyai Nurima atau Nairima. Saat itu Nyai Nurima tengah hamil tua.

Saat dipanggil, Nyai Nurima tengah shalat. Sehingga panggilan sang suami tak bisa dijawab. Setelah berkali-kali tak ada sahutan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang menjawab panggilan Kiai Abdullah

“ebu ghi’ asholat, Kai,” yang arti bebasnya, jbu masih shalat, wahai ayah.

Sontak, Kiai Abdullah tertegun. Beliau mencari arah datangnya suara si anak kecil. Namun yang dijumpainya hanya sang isteri yang baru saja mengucapkan salam sehabis shalat.

Lantas Kiai Abdullah bertanya kepada sang istri, Nyai Nurima.

“Siapa anak yang barusan menjawab panggilanku?,”

“Anak di dalam kandunganku, ini,” jawab Nyai Nurima, pasti.

Peristiwa tersebut yang konon menjadi latar belakang pemberian nama Saod. Karena sudah bisa menyahut sejak dalam kandungan. Sebuah karomah luar biasa, yaitu karunia kemuliaan dari Allah pada seseorang sebelum ia bertaqwa. Lidah Madura lantas menyebutnya Saod. Sehingga putra Bindara Bungso dengan Nyai Nairima itu dikenal

Saat dewasa. Bindara Saod menikah dengan Nyai Izzah, putri Kiai Jalaluddin dengan Nyai Galu. Nyai Galu, Kiai Pekke dan Nyai Nurima (ibu Bindara Saut), bersaudara kandung. Ketiganya adalah putra-putri Kiai Khathib Bangel, di Parongpong, Kecer, Dasuk.

Bindara Saod dengan Nyai Izzah masih saudara sepupu. Pernikahan ini membuahkan dua anak laki-laki, yaitu Bahauddin dan adiknya, Asiruddin (dalam sebuah catatan ditulis Nashiruddin).

Bindara Saod tinggal di rumah istrinya di Desa Lembung Barat, Kecamatan Lenteng.
Keseharian Bindara Saod menyabit rumput untuk pakan sapi ternaknya. Saat malam.
morok (mengajar) al Quran di langgar peninggalan kakek mertuanya.

Karena kebiasan Bindara Saod berpakaian penyabit rumput, sambil membawa garunju (tempat sabitan rumput). Masyarakat mengenal Bidara Saod sebagai peternak. Bukan Kiai.

Namun, keajaiban datang.Raden Ayu Rasmana Tirtonegoro. Sang Putri Raja Sumenep bermimpi. Dalam mimpi itu agar bersuami laki laki yang berprofesi penyabit rumput. Namanya Bindara Saod.

Semula Putri Raja tak percaya. Namun mimpi itu ada yang menafsiri sebagai petunjuk jika ingin kehidupan Raden Ayu Rasamana beserta keluarga kerajaan menjadi tenang.

Setelah menjadi pertimbangan yang matang
Akhirnya Raden Ayu Rasmana mengutus orang kepercayaannya agar menemui pria bernama Bindara Saod.

Dari pernikahan itu, Bindara Saod dan Raden Ayu Rasmana Tirtonegoro tak membuahkan anak. Beliau wafat tanggal 17 Jumadilawal 1171 H atau Maret 1778 M. ​dimakamkan di Asta Tinggi Sumenep, bersebelahan dengan makam istrinya, Ratu Ayu Dewi Rasmana.

Estafet kekuasaan Bindara Saod diteruskan oleh Nashiruddin. Beliau putra Bindara Saod dari Nyai Izzah,istri pertama. Nashiruddin menjabat Raja Sumenep mendapat gelar Panembahan Sumolo. Atas jasa beliau. Bangunan Masjid Jamik Sumenep berdiri kokoh sampai saat ini.