Opini

Teladan Seorang Ulama Legendaris

×

Teladan Seorang Ulama Legendaris

Sebarkan artikel ini

Buku Pribadi dan Martabat Buya HamkaNurul Yaqin, S.Pd.IJudul : Pribadi dan Martabat Buya Hamka
Penulis : Rusydi Hamka
Penerbit : Noura Books
Terbit : Januari 2017
Tebal : 404 Halaman
ISBN : 9786023852406
Peresensi : Nurul Yaqin, S.Pd.I*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Di tengah karut marut nasib bangsa yang semakin beringas; minimnya teladan seorang pemimpin, sikap amoral kaum elite politik, maraknya ujaran kebencian, hingga pertikaian antar ulama, dibutuhkan seorag publik figur yang bisa dijadikan pijakan dalam membangun masa depan (building future). Salah satu putra terbaik bangsa yang patut diteladani  dan pernah dimiliki Negeri ini yaitu, Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih populer dengan nama Buya Hamka.

Nama Buya Hamka bukanlah sesuatu yang asing dalam jajaran tokoh nasional Indonesia. Sikapnya dalam acara Konferensi Islam Sedunia di Makkah pada 1975 adalah salah satu teladan yang relevan dengan hiruk pikuk bangsa saat ini. Ketika Syaikh Safwad Sakka (Wakil Sekjen Konferensi Islam) memfitnah Buya Hamka terlibat aktif dalam gerakan Kristenisasi, beliau berhasil mengendalikan diri dan emosinya walaupun tidak diberi kesempatan berbicara sedikitpun. Beliau tetap mengikuti acara konferensi hingga selesai dengan penuh ketenangan.

Jika para politikus saat ini berlomba-lomba menghalalkan segala cara untuk memperoleh kursi jabatan, berbeda dengan Buya Hamka ketika ditawarkan untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tatkala putranya, Rusydi Hamka (penulis buku ini) mengklaim ayahnya sebagai orang politik padahal Buya Hamka sering mengatakan bukan orang politik- dia berkata, kalau orang politik menginginkan jabatan dan kursi itu, karena empuknya kursi itu. Ayah sendiri melihat kursi Ketua Majelis Ulama itu sebagai sebuah kursi listrik, kita akan mati terkena aliran listriknya yang membunuh (hal: 209).

Meskipun pada masa rezim Soerkarno, Hamka pernah dijebloskan ke dalam penjara tepatnya pada tahun 1964, lantaran melanggar Penpres Antisubversif, yaitu dituduh mengadakan komplot hendak membunuh Presiden Soekarno. Tapi, dia adalah satu-satunya orang yang diwasiatkan oleh presiden pertama RI untuk menjadi imam shalat jenazah kelak bila dia meninggal. Terbukti, ketika Soekarno meninggal dunia, Buya Hamka segera berangkat ke wisma Yaso untuk bertakziah.

Belum lagi pertentangan beliau dengan Pramoedya Ananta Toer (Pram). Menurut penyair Taufiq Ismail, yang dikutip di Republika Online, Hamka telah difitnah dan buku-bukunya dibakar oleh Lekra, Lembaga Kebudayaan PKI, mereka juga membuat kampanye besar terhadap Hamka untuk menghancurkannya dengan tuduhan plagiat atas karyanya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan salah satu tokoh terpenting lembaga tersebut adalah Pram. Namun, Hamka bukanlah sosok pendendam, dia lebih memilih memaafkannya.

Bahkan, dalam buku berjudul “Ayah” (2013) karya Irfan Hamka disebutkan bahwa Pram menyuruh calon menantunya yang benama Daniel Setiawan (ditemani putri sulungnya) untuk belajar agama Islam kepada Buya Hamka. Beliau menerima mereka dengan senang hati. Tidak ada keinginan untuk membalas dendam walaupun Pram telah mencorengkan namanya secara membabi buta lewat surat kabar pro-PKI di masa demokrasi terpimpin seperti, Harian Rakjat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.

Selain seorang ulama, Buya Hamka adalah seorang penulis dan sastrawan otodidak yang luar biasa. Beliau tercatat sebagai penulis muslim paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Dalam usia 17 tahun beliau telah bisa menelurkan buku berjudul Khatibul Umat sampai 3 jilid. Karya-karyanya masih menjadi perbincangan hingga sekarang. Bahkan, karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck telah diangkat ke layar lebar.

Menurut Prof. Teew, Buya Hamka adalah seorang pengarang yang paling terkenal di antara pengarang Medan. Walaupun para kritikus modern Indonesia tidak banyak menggolongkan pengarang-pengarang Medan (termasuk Buya Hamka) dalam pembagian angkatan-angkatan, yang kriterianya dibuat sendiri seperti angkatan Balai Pustaka; Marah Rusli, Abdul Muis, dan Nur Sutan Iskandar. Dan tidak dimasukkan pula ke dalam angkatan Pujangga Baru; Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah (hal: 58). Tapi karya-karya Buya Hamka mencapai 118 jilid tulisan yang telah dibukukan. Sebuah jumlah yang fantastis.

Buku ini bukan sebuah biografi Buya Hamka yang sarat denga data. Tapi, buku ini adalah memoar yang ditulis oleh Rusydi, anak kedua Buya Hamka yang selalu menemani beliau dalam berbagi peristiwa. Banyak pelajaran (ibrah) dan hal baru yang dapat ditemui dari sosok Buya Hamka yang diungkap dalam buku ini. Sehingga bisa menggambarkan sosok ulama dan sastrawan legendaris yang patut untuk diteladani.

*Pendidik di MI Unggulan Daarul Fikri Cikarang Barat, Bekasi. Alumnus Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan, Sumenep, Madura. Email : mutiarayaqin@gmail.com.