matamaduramews.com, MADURA – Budaya Madura begitu luas. Ibarat sebuah pohon besar yang banyak dahannya, banyak ruasnya, dan sekaligus rindang. Namun kini, pohon budaya Madura mulai meranggas. Banyak dahan dan ruasnya yang patah, daunnya pun sudah berguguran. Berceceran dan berserakan di mana-mana.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Salah satu bagian dari budaya Madura yang kini sudah berserakan itu ialah sastra Madura. Padahal dulu, di Madura ada tradisi sastra tulis. Pada jaman Balai Pustaka, sekitar tahun 1920-an, lemari-lemari sekolah di Madura banyak dipenuhi buku-buku tulisan para pujangga Madura. Baik itu buku terjemahan, saduran, maupun karangan asli mereka. Para ahli, di antaranya doktor bahasa daerah, Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahwa bahasa Madura memiliki tradisi sastra yang karya sastranya tergolong bermutu, baik dari segi pandang kacamata sastra maupun dari sisi kandungan moralnya.
Ragam Jenis Karya Sastra Madura
Sastra berasal dari kata Sansekerta. Dari asal kata sas atau cas yang artinya ajaran, aturan, ilmu pengetahuan, nasehat, petunjuk, atau agama; dan tra yang bermakna alat. Sehingga jika digabungkan akan memberikan arti bahwa sastra adalah alat untuk menyampaikan ajaran, aturan, ilmu pengetahuan, nasehat, petunjuk, atau agama. Sedangkan secara umum, sastra dikenal sebagai karangan bahasa, atau cerita yang bermutu.
Sastra juga disebut susastra, yaitu karangan yang bagus, atau kitab yang indah, baik dan bermutu dari segi kata-kata yang digunakan, maupun isi karangan tersebut. Susastra atau yang juga dikenal dengan istilah kesusastraan ini juga disebut seni sastra, seni bahasa, dan seni kata.
Sementara di Madura, karya sastra banyak. Ada prosa (gancaran), syair (syi’ir), pantun, paparegan, tembang, puisi bebas. Dan salah satu yang paling digemari di Madura ialah sastra yang bernama tembang.
Tembang ini merupakan karangan yang sudah diikat dengan guru lagu dan guru bilangan. Di Madura tembang dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat yang merupakan mayoritas beragama Islam. Lagunya memiliki ketetapan tersendiri, meski banyak versi. Di Madura, tembang dikenal dengan istilah Macapat.
Macapat sendiri sejatinya merupakan salah satu macam dari tiga macam tembang, disamping tembang tengnga’an dan tembang raja. Macapat merupakan nama lain dari tembang keneâ Masyarakat Madura mayoritas hanya tahu dan menggemari tembang keneâ atau macapat tersebut.
Saking senangnya pada Macapat, di Madura sejak jaman lampau banyak didirikan perkumpulan Macapat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah kompolan mamaca. Karena buku-buku tembang macapat ini dulunya banyak yang ditulis dengan aksara carakan (gajang) dan banyak yang berbahasa Jawa, maka di perkumpulan tersebut ditunjuklah tokang tegges. Tokang tegges ini sama dengan penerjemah. Sehingga mereka yang mendengarkan tembang macapat ini bisa paham dan mengerti makna dari cerita yang ditembangkan tersebut.
Tembang Macapat atau tembang kene ada banyak macamnya. Ada literatur yang menyebutkan 9 tembang, dan ada juga yang lebih dari itu dengan menyebutkan 11 macam tembang macapat. Jika kedua pendapat itu disatukan maka nama tembang-tembang tersebut di antaranya, yaitu , tembang Salanget (Kinanti), tembang Pucung, tembang Mejil (Mijil), tembang Maskumambang, tembang Durma, tembang Kasmaran (Asmaradana), tembang Pangkor, tembang Senom (Sinom), tembang Artate (Dandanggula), tembang Megattro (Megatruh), dan tembang Gambuh.
Berikut salah satu contoh tembang Macapat:
Mejil
Langnge’ biru bintang tep-ngarettep
Sabanne Mancorong
Bulan bunter sonarra pote koneng
Tera’ ngatar ampon sasat are
Aneng panas ta’ andhi’
Paneka bida epon
Dihidupkan Lewat Sekolah
Bagi siswa-siswi atau generasi muda Madura, khususnya Sumenep, budaya Tembang Macapat sudah tidak lagi populer. Padahal, di periode awal kemunculannya, tembang macapat merupakan kesenian yang sangat penting. Karena melalui kesenian inilah para ulama tempo dulu, terutama di jaman Wali Songo, agama Islam bisa melebarkan sayapnya.
“Jadi dulu memang salah satu media para wali untuk menyebarkan agama Islam. Seperti Sunan Kalijaga dengan tembang Artate-nya atau Dandanggula. Sunan Giri dengan tembang Kasmaran dan Pucung-nya. Sunan Kudus dengan tembang Mejil dan Maskumambang-nya. Dan lainnya,†kata Rabiatul Adawiyah, S.Pd, salah satu pemerhati budaya Tembang Macapat di Sumenep, kepada Mata Madura.
Saat ini budaya tembang macapat, menurut guru Matematika SMPN 1 Saronggi yang mendapat tugas tambahan mengajar bahasa daerah ini, sudah sering terlewati. Meski dicantumkan dalam buku pegangan pelajaran bahasa Madura, terkadang bagian tembang macapat seringkali dilompati.
“Yang saya lihat memang seperti itu. Entah apa karena kurang diminati sehingga tak dianggap penting. Atau mungkin karena memang sulitnya literatur yang ada mengenai budaya ini,†tambahnya.
Oleh karena itu Rabiatul berharap agar budaya peninggalan para wali ini terus lestari. Ia bahkan saat ini mengajak siswa-siswinya untuk mengumpulkan naskah mengenai tembang macapat. “Ternyata para siswa antusias. Kami hanya ingin mengajak anak-anak itu menggali tradisi daerahnya yang saat ini sudah mulai terkubur, sekaligus memungut budaya Madura yang berserakan dan berceceran akibat perubahan jaman,†pungkasnya.
R B M Farhan Muzammily, Mata Madura