matamaduranews.com-Saya awalnya dingin mendengar rencana PPKM Darurat. Tak peduli model apa yang akan diambil pemerintah dalam menekan penyebaran Covid-19.
Selain warga biasa. Ya… lazimnya orang Madura. Saya juga menilai wabah Covid-19 dari berbagai macam asumsi.
Maklum orang awam.
Berpikir cara menghadapi covid tentu sangat sederhana. Seperti wabah yang biasa terjadi di zaman dulu kala.
Kata ustadz yang mengutip Sabda Nabi Saw tentang thaun (penyakit menular).
Namun, beberapa hari PPKM berjalan. Hati mulai tersentuh. Saya terperanjat. Bingung hingga emosi membuncah.
Karena mendengar banyak orang sakit dengan gejala sama. Di desa-desa. Mereka berdiam diri tanpa sentuhan medis.
Mereka tak mau periksa di Puskesmas. Alasan umum orang awam di desa. Takut di-covid-kan. Lalu meninggal.
Bayangan mereka. Bahasa sederhananya, begini: Jika covid tak lama lagi meninggal.
Opsi berdiam diri baginya yang terbaik. Meriang. Batuk pilek hingga muntah ia anggap penyakit ringan.
Setelah sesak nafas. Baru ada keluarga yang ngajak periksa ke puskesmas terdekat.
Bila harus rawat inap. Beberapa hari terasa nyaman, dia minta pulang.
Lalu beraktivitas seperti orang sehat. Padahal, nafasnya masih ngos-ngosan jika lama beraktivitas.
Sehari kemudian terdengar tetangga sebelah rumahnya meninggal dunia.
“Tanpa sakit, hanya mengaku pusing. Tak lama lalu meninggal,” cerita warga menjawab penyebab kematiannya.
Sore itu, jenazah dikuburkan. Para pelayat beranjak pulang dari kubur.
Di jalan terdengar kabar. Istri almarhum juga meninggal dunia.
Suami istri di sebuah kampung di Sumenep ini tak terkategori pasien-covid.
Emang tak di-swab. Tak ada tracing.
Lalu, banyak warga di desa-desa bikin omongan anyar. Kesimpulan covid bikin orang cepat meninggal, mulai bergeser.
Entah apa namanya.
“Pokoknya banyak orang sakit dan meninggal mendadak,” begitu obrolan orang-orang desa.
Mereka bingung. Saat bingung terdengar pengumuman orang meninggal dunia.
Sehari lebih dari tiga nama didengar dari pengeras suara masjid.
Kamis sore kemarin. Saya ikut mengantar jenazah ayahnya teman.
Jenazah dimasukkan ke liang kubur. Tapi gundukan tanahnya masih dibiarkan. Sang kiai mimpin doa untuk almarhum.
Salah satu keluarga almarhum mencari si penggali kubur. Ada yang jawab, “tukang kuburnya belum selesai. Masih gali kuburan yang lain,”.
Sebelum jenazah itu datang. Beberapa meter dari kuburan itu. Ada jenazah baru yang dikubur. Pelayat masih melantunkan doa yang dipimpin seorang kiai.
Penggali kubur datang. Ada empat penggali yang siap dengan cangkulnya untuk memasukkan tanah. Proses menutupi liang lihat berlangsung.
Terdengar sirine ambulans lewat. Rupanya jenazah baru datang untuk dimakamkan di penguburan sebelah.
Kamis malam Jumat.Iseng buka grup WhatsApp. Banyak ucapan duka.
Saya lihat ada empat orang yang saya kenal. Sarkawi, Kades Rosong. Fawaid aktivis GP Ansor. Pak Riono dan Darsono, ASN Pengairan (SDA). Entah siapa lagi pengumuman orang meninggal.
Marah yang membuncah. Pelan-pelan turun. Saya berpikir tak ingin mencari penyebab keruwetan saat PPKM Darurat.
“Saya harus aksi nyata,” kembali bergumam.
Saya tak mau terus menerus mengabarkan kebingungan orang orang-orang desa.
Karena wartawan sudah bingung akibat akses informasi update Covid-19 tertutup.
Tak ada update. Berapa orang per hari yang terkapar karena Covid-19. Berapa yang meninggal tiap hari karena Covid-19.
Angka kematian tak diumumkan. Angka penderita juga disembunyikan ke publik. Termasuk berapa pasien Covid-19 yang sembuh per hari.
Selama PPKM Darurat berlangsung. Banyak orang meninggal yang saya dengar.
Mereka meninggal bukan karena covid. Tiba-tiba meninggal. Sebagian meninggal karena covid. Itu dilihat dari protap pemakamannya.
Pasien covid yang sembuh juga banyak.
“Tapi, orang lapar karena sulit nyari uang banyak,” begitu obrolan di grup-grup WhatsApp
Orang orang itu akibat lama tak beraktivitas ekonomi karena ruang geraknya dibatasi saat PPKM Darurat.
Para pedagang. Sopir angkutan dan pekerja harian lainnya. Persediaan unruk dimakan sudah menipis.
“Keluhan mereka harus dicarikan solusi,” pekik-ku.
Sebagai wartawan. Saya merasa punya beban moral jika tak ikut mengawal solusi yang diinginkan warga terdampak PPKM.
Saya abaikan dulu informasi yang berseliweran banyak hal terkait PPKM Darurat dan pandemi Covid-19.
Solusi nyata dari Pemkab Sumenep perlu ditagih.
Saya harus menemui Bupati Sumenep, Ach. Fauzi. Saya WA teman yang bisa mempertemukan dengan Bupati Fauzi.
Saya diberi jadwal siang di Ruang Kerja Bupati.
Saya lama tak bertemu Fauzi. Baru sekali ketemu sejak beliau dilantik sebagai Bupati Sumenep.
Kemarin siang. Pertemuan kedua.
Tak saya duga. Saya kaget. Dalam hati bergumam, “Bupati tumben cerdas. Lugas memberi penjelasan,”.
Karena penasaran. Saya ijin ke bupati sambil menoleh ke teman yang mendampingi pertemuan itu.
Agak berat sebenarnya menyela pemaparan Bupati Fauzi dalam penanganan warga terdampak PPKM.
Dengan berat hati karena diliputi penasaran, saya terpaksa bertanya, “Saporana. Penjelasan seperti ini kok baru saya dengar,”
“Khusus penanganan covid ada cara khusus. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini, aksi nyata. Kasihan masyarakat. Baru ke kamu saya jelaskan,” ucap Fauzi.
“Selama menjabat wabup. Sampean tak pernah memberi penjelasan sedetail dan struktur seperti ini,”.
“Hhhhh,” Fauzi hanya tersenyum langsung menjelaskan pertanyaan awal datang. Apa yang diperbuat Pemkab Sumenep untuk warganya.
Apa yang disampaikan Bupati Fauzi saya rekam dalam ingatan. Mumpung lagi fresh. Hanya beberapa nama dan angka saya tulis dalam aplikasi google keep di hp.
Dari pemaparan itu, saya kembali bertanya, “Kapan itu diwujudkan Pak Bupati?,”.
“Akhir bulan ini targetnya. Semua anggaran sudah ada karena mendahului perubahan APBD,”.
“Senin akan ada evaluasi terhadap Kades yang tak mengikuti instruksi,” ucapnya tegas.
Apa saja aksi nyata Pemkab Sumenep untuk warga terdampak PPKM Darurat? Ikuti tulisan besok….(hambali rasidi)
Bersambung….