matamaduranews.com-Masjid Jamik Sumenep dibangun di pemerintahan Panembahan Sumolo, abad ke 18 M. Berdiri kokoh dan megah hingga saat ini tentu menyimpan sejarah dan cerita mistis.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sejarah Masjid Jamik
Sebelum dibangun Masjid Jamik. Sudah ada Masjid Laju. Masjid Laju dibangun Adipati Sumenep ke-21, Pangeran Anggadipa.
Karena kapasitas Masjid Laju tak mampu menampung umat Muslim, sekitar tahun 1779 Masehi, Pangeran Natakusuma alias Panembahan Sumolo membuat program bangun masjid berukuran besar. Sumolo menunjuk arsitek asli Cina, Lauw Piango, cucu Lauw Khun Thing. Salah satu dari imigran Cina pertama yang menetap di Sumenep.
Pembangunan masjid dimulai pada 1198 Hijriah atau 1779 Masehi. Pembangunan masjid baru usai pada 1206 H atau 1787 M.
Ide pembangunan Masjid Jamik berawal wasiat Bindara Saut, ayah Panembahan Sumolo. Berdasar riwayat sesepuh, sebelum ide itu terlaksana, Bindara Saut mangkat. Ide itu muncul melihat perkembangan penduduk sekitar keraton, dan masjid keraton (Masjid Laju) di Kepanjin sudah tak mampu menampung jamaah.
Keunikan Masjid Jamik
Salah satu keunikan Masjid Jamik Sumenep adalah peninggalan pedang. Letaknya di atas kubah. Selain itu, terdapat juga sebuah batu giok. Berat batu giok ini kabarnya 20 kilogram.
Sayangnya, keberadaan batu giok tersebut kurang terawat. Namun, tak begitu jelas sejak kapan batu giok itu berada, apakah bersamaan dengan proses pembangunan masjid atau hadir setelah masjid tersebut dibangun.
Arsitek Masjid Jamik
Masjid Jamik Sumenep memiliki gerbang utama yang menjadi icon. Bentuk gerbang layaknya sebuah kastil. Warnanya berpaduan warna kuning dan putih. Dari bentuk gerbang dan warna terlihat pengaruh gaya arsitektur Cina, India, dan corak lokal.
Khusus arsitektur gaya Cina, tecermin warna kuning. Dalam sebuah literatur disebut, kuning itu merupakan warna kerajaan pada kekaisaran Cina.
Pengaruh yang begitu dominan tersebut tak lepas juga dari sang arsitek Cina, Lauw Piango.
Masjid Jamik memiliki atap berbentuk limas persegi empat. Atap limas bertumpang dua. Model atap itu, menjadi salah satu ciri gaya arsitektur Jawa melalui atap joglo.
Pada bagian ujung atap terpasang mastaka berbentuk tiga bulatan yang menjadi identitas sebuah masjid lokal.
Di antara tiang-tiang penghubung masjid, dibuat bentuk lengkungan layaknya masjid-masjid yang ada di wilayah India.
Pengaruh budaya lokal tecermin dari ukiran yang menghiasi sepuluh bagian jendela dan bagian sembilan pintu besar.
Bagian jendela dan pintu tersebut terbuat dari material kayu. Ukiran-ukiran yang menghiasi kayu ini mengambil bentuk flora. Dimaklumi karena dalam Islam sangat tidak dianjurkan untuk menempatkan bentuk binatang ataupun manusia di dalam masjid.
Ukiran bunga ini dihiasi dengan pilihan warna hijau dan kuning. Dalam sebuah situs ditulis ukiran yang ada di pintu utama masjid ini sangat kental pengaruh budaya Cina.
Situs tersebut menulis, ukiran yang tersaji pada Masjid Jamik Sumenep ini memiliki kemiripan dengan ukiran yang jumpai di daerah Palembang yang notabene dipengaruhi cukup kuat oleh budaya Cina.
Tiang Masjid Jamik
Interior Masjid Jamik Sumene berdiri tegak 13 tiang seukuran 1,5 tangan orang dewasa yang dilingkarkan. Konon, jumlah 13 tiang ini menyimpan makna, yang merujuk pada arti rukun shalat. Tiang besar ini juga bisa ditemukan pada bagian selasar masjid. Jumlahnya ada 20 pilar.
Pada bagian mihrab, terdapat hiasan pedang. Kabarnya, pedang tersebut berasal dari Irak. Mengutip informasi yang ada di laman Wikipedia. Awalnya pedang tersebut terdapat dua buah, tetapi salah satunya sekarang ini telah hilang dan tidak pernah kembali.
Pengaruh Cina kembali menonjol pada bagian mihrab masjid. Ini tecermin dari pilihan warna yang mencolok. Paduan warna kuning emas, biru, dan putih memberikan kesan yang begitu ‘ramai’ pada bagian mihrab ini.
Pada bagian langit-langit, tak banyak ornamen hias yang ditampilkan. Terlihat dominasi kayu sebagai penopang atap masjid.
Aura Mistis Masjid Jamik
Pengalaman bathin tentu bersifat subjektif. Ini tak bisa dirasakan semua orang yang melaksanakan shalat di dalam ruang Masjid Jamik Sumenep. Jika pun merasakan, tentu tak sama.
Setidaknya, ini testimoni dari Kiai Badrun (nama samaran) yang istiqamah melaksanakan shalat jumat di Masjid Jamik Sumenep.
Menurut Kiai Badrun, melaksanakan shalat di dalam ruangan Masjid Jamik Sumenep ada nuansa tersendiri. Ada magnet bathin yang tidak bisa dibahasakan. Kecuali rasa khusyuk dan dan syahdu yang dirasanya.
“Ini yang beda jika shalat di lain Masjid Jamik Sumenep. Ada aura spiritual yang saya rasakan,†sebut Kiai Badrun, saat berbincang dengan Mata Madura, suatu waktu.
Singkat kata, walau terkesan sederhana. Pesona interior Masjid Jamik Sumenep tetap memikat.
Dan memiliki aura tersendiri dan tak tertandingi di Jawa Timur.
Hambali Rasidi