Budaya

Di Sampang, Sangat Minim Geliat Literasi

×

Di Sampang, Sangat Minim Geliat Literasi

Sebarkan artikel ini
Di Sampang, Sangat Minim Geliat Literasi
GAIRAH MUDA: Toko buku Pustaka Madura dengan bangunan sederhana milik pemuda Sampang yang berlokasi di Desa Lomaer, Blega, Bangkalan. (Foto/Jamaluddin)

MataMaduraNews.comSAMPANG-Beberapa pihak menilai Sampang kehilangan semangat literer. Ditelisik hingga perbatasan dengan Bangkalan, geliatnya mulai tumbuh meski pemerintah nampak tak ada campur tangan.

Lokasi toko buku yang berada di tempat sepi dan dikelilingi area persawahan tak membuat semangat Jay untuk mengembangkan dunia literasi memudar. Pria kelahiran Tambelangan, Sampang ini bersama dengan tiga orang temannya mendirikan toko buku dan perpustakaan bernama Pustaka Madura di Lomaer. Meski secara administratif lokasinya berada di Bangkalan, namun gerakannya lebih banyak menyasar Kabupaten Sampang. Kepada Mata Madura ia mengatakan, lokasi tersebut dipilih karena harga tanahnya lebih terjangkau.
“Sebenarnya kami ingin membangun di Sampang, tapi tempat tidak ada dan kalau kesana itu mahal tempatnya,” katanya, pekan kedua Agustus lalu.

Tidak hanya membuat perpustakaan, Jay juga tergabung dalam Komunitas Pecinta Buku. Komunitas ini pernah menyuplai 700 buku secara cuma-cuma ke sejumlah perpustakaan, khususnya di wilayah Tambelangan, Sampang. Buku tersebut didapat dari para donatur yang sukarela menghibahkan bukunya. Ia menjelaskan, sebagian keuntungan dari Pustaka Madura juga akan dialokasikan untuk perpustakaan dan kegiatan penyaluran buku itu. “Untuk penyaluran buku kami minta ke teman-teman, baik berupa buku atau uang. Kalau sekarang sumbernya dua. Pertama masih minta ke teman, kedua dari Pustaka Madura,” terang Jay.

Penulis dan penyair Sampang, Umar Fauzi Ballah mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh Pustaka Madura. “Pustaka Madura itu untuk menyambung kegiatan perpustakaan pribadinya, mereka jualan buku. Beberapa buku dipamerkan untuk dibaca gratis, beberapa buku dijual. Artinya ekonomi dan ini jalan bareng. Karena mereka juga tidak dapat subsidi dari pemerintah yang notabene kewajiban itu ada di pemerintah,” ujar Fauzi saat ditemui di kantornya, Kamis, 11 Agustus lalu.

Di samping toko buku yang ia dirikan 3 bulan silam, terdapat perpustakaan sederhana dengan koleksi yang masih minim. Tujuannya agar orang-orang yang tidak bisa membeli buku, tetap bisa membaca di perpustakaan tersebut. Tiap minggu Pustaka Madura juga mengadakan diskusi kecil seputar literasi. Pengunjung yang datang ke toko buku tidak tentu. Terkadang dalam tiga hari tidak ada pembeli sama sekali. Namun menurut Jay, pemasukan dari toko buku ini masih cukup untuk menyambung hidup serta untuk perpustakaan dan kegiatan Komunitas Pecinta Buku. “Kami berjuang bukan hanya agar mereka terus membaca, tapi kita berjuang semaksimal mungkin agar mereka tidak membaca buku yang tidak penting. Itu yang sulit,” ungkapnya.

Saat ditanya mengenai geliat literasi di Sampang, Jay mengatakan, sastrawan dan penyair di Sampang lebih banyak hijrah ke luar. Sedangkan komunitas atau kegiatan yang berhubungan dengan dunia kepenulisan menurutnya tidak ada. Ia bercerita, di kampungnya tidak pernah ia menjumpai orang yang membaca buku selain buku pelajaran. Bahkan masyarakat menganggap bahwa buku itu tidaklah penting. “Saya saja kalau membeli buku sering diomeli orang tua. Beliau baru menyadari kalau buku ada manfaatnya ketika saya tampil di muka atau seperti sekarang ini,” katanya.

Jay beranggapan, minat baca tidak bisa sekedar dilihat dari toko buku. Yang lebih menonjol dan meyakinkan menurutnya adalah adanya aktivitas dan kegiatan yang berhubungan dengan buku. “Contohnya di Sumenep. Kalau ada buku baru mereka itu bahu membahu membedah, me-launching. Kalau di sampang tidak ada. Dan selama ini kegiatan literasi di Sampang memang tidak ada. Kalau kita ketemu sama teman-teman di forum buku atau literasi, Mas Fauzi itu sering diejek, Sampang itu kapan?” tutur Jay.

Hal ini diamini oleh Fauzi. Fauzi berpendapat, secara umum minat baca di Sampang bisa dikatakan rendah. Indikatornya bisa dilihat dari geliat taman baca dan komunitas literasi. Ia mencontohkan, tiga kabupaten lainnya lebih sering mengadakan acara kepenulisan seperti diskusi dan bedah buku. Ia sendiri mengaku lebih dikenal oleh jaringan di luar Sampang. “Nyaris hanya di Sampang yang tidak ada. Saya selaku putra daerah malu,” ujar pemilik buku himpunan puisi Jalan Kepiting ini.

Jika dilihat dari jumlah penulis, menurut Fauzi Sampang tidak kalah. Ia menyebutkan sejumlah nama penulis yang berasal dari Sampang seperti Edi Firmansyah, Hartoni, Faruk Mandangin, Ian Xavin, Alek Subairi, Hidayat Raharja dan yang baru muncul Dwi Ratih Ramadhani. Namun rata-rata mereka berproses, besar dan menetap di luar Madura. Jika bicara tentang kepenulisan, Fauzi melanjutkan, Sumenep memang paling bagus. Karena kaderisasinya hampir setiap tahun ada, terlebih dari komunitas pesantren.

Sebenarnya, 2013 silam ia juga ditunjuk sebagai ketua komunitas Rebba setelah sebelumnya bersama penyair lain membacakan puisi di Taman Bunga Sampang. Tapi karena visi-misinya tidak jelas, akhirnya komunitas tersebut bubar. Jauh sebelum komunitas Rebba ia bahkan mendirikan Komunitas Sastra Setinggil pada tahun 2010. Namun pergerakannya hanya sebatas di media sosial, karena hanya ia sendiri yang menetap di Sampang.

“Belakangan kami ubah menjadi Komunitas Setinggil. Sastranya dibuang karena harapan saya komunitas Setinggil itu menjadi komunitas kreatif, tidak hanya sastra saja. Memang rohnya tetap literasi kepenulisan. Namun modelnya bisa bermacam-macam. Misalnya kritik film, kritik teater, kritik seni rupa. Intinya masih berkaitan dengan dunia kepenulisan, namun lebih luas,” katanya, kepada Mata Madura.

Hal lain yang juga berperan penting dalam menggerakkan kegiatan literasi di Sampang, menurut Fauzi adalah pemerintah. Menurutnya pemerintah berkewajiban menggiatkan literasi, baik itu melalui dinas pendidikan, dinas kebudayaan atau perpustakaan. Kesadaran dari perpustakaan daerah untuk menggandeng komunitas literasi menurutnya sangat penting. “Saya ngasih contoh perpustakaan Mojokerto. Setiap bulan selalu ada bedah buku. Sumenep mulai bergerak menduplikasi apa yang dilakukan Perpusda Mojokerto. Perpusda Sumenep mengadakan bedah buku bekerjasama dengan Forum Bias,” ujar Fauzi.

Menurut Kepala Perpustakaan dan Arsip Daerah Sampang, Harunur Rasyid, perpustakaan berperan untuk menyediakan bahan bacaan kepada masyarakat. Dari waktu ke waktu Perpusda Sampang terus berusaha memenuhi kebutuhan pengujung melalui penampahan koleksi buku. Hingga saat ini, menurutnya, ada sekitar 6000 judul buku dan 32.000 eksemplar buku yang dimiliki oleh Perpusda Sampang. Di tahun 2016 ini juga akan dilakukan penambahan koleksi kurang lebih sebanyak 2000 judul. Jumlah pengunjung menurut pengakuannya juga mengalami peningkatan. Pengunjung mayoritas berasal dari kalangan pelajar. “Di tahun 2015 pengunjung bahkan meningkatnya 122% dibandingkan tahun sebelumnya,” katanya, Senin pekan lalu.

Dalam waktu dekat Fauzi ingin mengadakan acara Jambore Sastra Sampang, yang bertujuan supaya menjadi ledakan pertama geliat kegiatan literasi di Sampang. Ketika mengutarakan niatnya, pihak Perpusda hanya mampu menyediakan ruangan. Padahal menurut Fauzi acara besar seperti itu butuh dana. “Jujur untuk acara ini kita butuh dana. Sedangkan untuk lanjutannya, nanti setiap bulan ada diskusi. Saya punya channel banyak penulis yang mau saya undang ke Sampang tanpa honor,” ungkapnya.
Sementara Perpusda menyambut dengan tangan terbuka apabila ada komunitas yang ingin melakukan kerjasama dengan perpustakaan. Namun menurut Harunur Rasyid Perpusda tidak bisa memberikan bantuan berupa dana. Karena Perpusda memang tidak mempunyai anggaran untuk memberikan dana. Bantuan yang ditawarkan berupa penggunaan tempat untuk kegiatan yang positif.

Untuk meramaikan perpustakaan, Perpusda Sampang mengirimkan dua mobil perpustakaan keliling, setiap bulan satu kecamatan. Selain untuk memberikan pelayanan ke daerah, juga untuk sosialisasi. Hal itu, menurut Rasyid, untuk menarik minat baca masyarakat. Setiap hari minggu perpustakaan keliling juga mendatangi dua lokasi car free day yakni di Monumen dan lapangan Wijaya. “Sabtu minggu Perpusda Sampang kami tetap buka, ada pelayanan, itu untuk bisa memberikan pelayanan pada masyarakat. Karena bisa jadi jam-jam efektif dan dinas seperti ini banyak orang sekolah dan bekerja,” jelas Rasyid.

Menurut Fauzi, pandangan birokrasi tentangg perpustakaan itu masih sangat konservatif. “Mereka tidak punya kreativitas. Paling mentok ada perpustakaan keliling,” ungkapnya. Seharusnya, ia melanjutkan, Perpusda sering melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, mengadakan bedah buku, diskusi dan workshop kepenulisan. “Ya harus ada dong alokasi APBD tiap tahunnya untuk itu,” katanya. Lokasi Perpusda yang strategis, menurut Fauzi harus dimaksimalkan dengan merangkul masyarakat dan ikut menumbuhkan komunitas literasi.
Hanurur Rasyid mengaku, anggaran yang hanya berjumlah 1,3 miliar membatasi ruang gerak Perpusda untuk pembelian buku baru apalagi mengadakan kegiatan. Sehingga harus pintar-pintar mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga yang tidak terikat. “Kami tidak mau kalau ada ikatan. Contoh kayak pameran buku, kami lakukan tidak ada anggaran, tapi kami kerjasama dengan pihak luar yang tidak terikat,” katanya. Menurutnya, secara struktural kerjasama tetap dilakukan dengan perpustakaan provinsi. Namun Perpusda juga mengadakan kerjasama dengan sejumlah penerbit dalam bentuk pameran buku.

“Saya sudah sering kali mengajak komunitas, gunakanlah sarana yang ada disini. Kita punya rumah pintar. Rumah pintar itu kan segmennya untuk anak muda bisa. kemudian kita juga kerjasama dengan Karang Taruna. Tentunya kerjasama semacam ini kan kita sudah memberikan peluang kepada mereka untuk bergabung dengan kami,” kata Rasyid.

Rumah Pintar, ia melanjutkan, bisa ditempati oleh kegiatan masyarakat. Menurutnya, tidak hanya terbatas kegiatan literasi. Bahkan mahasiswa pernah menggunakannya untuk diskusi. Ada pula komunitas stand up yang menempati. “Kalau memang ada komunitas lain, silahkan gunakan. Asalkan saya juga akan mengawasi mereka. Asalkan mereka memanfaatkan fasilitas yang ada di sini sesuai dengan fungsinya. Jangan sampai mereka kumpul disini untuk kegiatan lain. Makanya selalu saya tanya untuk kegiatan apa,” katanya.

Bagi Fauzi, pembangunan itu tidak hanya pembangunan fisik, tapi juga pembangunan mental serta pikiran yang didapat dari diskusi dan membaca. Ia juga menyinggung tentang gagasan Anies Baswedan ketika masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kabudayaan tentang membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Menurutnya itu adalah gagasan yang luar biasa, asalkan yang dibaca bukan malah buku pelajaran. Sedangkan Jay berpendapat, pengetahuan itu bisa didapat dari mana saja, tidak hanya di kelas. “Di mana saja kita bisa membaca,” ucapnya.
Reporter: jamal

KPU Bangkalan