
Direktur Eksekutif Instforme Bangkalan
MENYENTAK meski bukan perkara baru. Kekerasan terhadap Pers masih terus menjadi polemik besar dalam proses membumikan Demokrasi di Kota Salak. Ironisnya, Pelaku konon mereka yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yang secara teoritik menjadi komunitas yang diandalkan sebagai aktor penting dalam Demokratisasi.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pers memainkan peran vital dalam Demokrasi. Setelah Partai Politik, Supremasi Hukum dan Stabilitas Ekonomi, Pers diandalkan mampu mengisi ruang-ruang publik yang tengah beku oleh berbagai hambatan-hambatan dalam proses demokratisasi disebuah Masyarakat.
Singkatnya, Pers adalah mesin pendorong Demokrasi yang daripadanya dinamisasi kehidupan publik diurai, dijabarkan kemudian menjadi diskursus dalam ruang diskusi publik yang berlangsung secara simultan dan integratif.
Tribalisme Di Abad Modern
Dibelahan dunia lain, kekerasan terhadap pers sejatinya telah bergeser dari pola-pola primitif kepada model baru yang lebih kompleks. Kekerasan terhadap Pers di beberapa tempat yang telah maju, berbentuk eksploitasi dan kekerasan non-fisik lainnya.
Apa yang dialami Ghinan Salman, Insan Pers dari Jawa Pos Radar Madura adalah Model Kekerasan yang paling primitif atau Kuno dalam sejarah Kekerasan terhadap Pers. Karena Pemukulan dan Penganiayaan terhadap Insan Pers bahkan muncul bersamaan dengan Pers itu sendiri.
Ini menuntut keprihatinan semua pihak. Tidak saja dalam konteks relasi dan Dunia Pers kita, namun keprihatinan itu juga menyangkut tentang betapa masih tribalnya masyarakat kita. Sungguh kesadaran demokratik yang sejarahnya tumbuh kembali dalam semangat reformasi 1998, masih terlampau jauh untuk kita rengkuh.
Ironis sekali bukan? Betapa gagalnya Demokratisasi (Subtansial) yang kita rayakan, ketika Aparatur Sipil Negara (ASN) justru menjadi perusak dan mempertontonkan tindakan-tindakan anti-demokrasi. Ini bukan lagi soal Oknum yang sifatnya Subjektif-Insidentil, namun sudah menjadi common-sense, jika benar Pelaku Pengeroyokan itu lebih dari satu orang dan disaksikan oleh banyak orang yang berstatus ASN.
Menjawab kejadian ini, Supremasi Hukum sebagai Pilar lain Demokrasi dituntut memainkan perannya. Kepolisian sebagai Penegak Hukum harus bekerja cepat, bukan sekedar memenuhi prosedur hukum tapi berbicara atas nama robeknya bendera demokrasi yang diwarnai oleh Darah dan Air Mata Para Pemuda Mahasiswa di masa lalu.
Hukum, Demokrasi dan Keadilan harus bekerja senyawa dalam penyikapan Kepolisian terhadap Kekerasan yang diterima Ghinan Salman. Tidak cukup permohonan maaf lalu semuanya selesai dimeja makan, ini tentang Wajah Demokrasi kita yang masih terlampau tribal ditengah kehidupan dunia yang sudah sedemikan postmo.
Adi Putra, Direktur Eksekutif Instforme Bangkalan