Religi

Kiai Abdul Kamal; Kiai Prajjan ke-II

×

Kiai Abdul Kamal; Kiai Prajjan ke-II

Sebarkan artikel ini
Kiai Abdul Kamal; Kiai Prajjan ke-II
Pasarean K. Abdul Kamal, di Prajjan, Camplong, Sampang. (Foto: K. Rawa)

Prajjan, nama sebuah desa di Kecamatan Camplong, Sampang. Sebuah kawasan yang menjadi salah satu pusat lentera ilmu di bumi Bahari.

MataMaduraNews.Com-SAMPANGKonon, yang pertama kali membabat Prajjan ialah seorang alim besar dari Madura Barat.

Kiai Abdul Allam atau Kiai Prajjan pertama. Beliau diceritakan bertapa di atas bukit Sumber Prajjan.

Dari sanalah lentera ilmu memancarkan cahayanya di bumi Kota Bahari. Kiai Abdul Allam juga disebut sebagai peletak dasar Pesantren Prajjan.

”Pesantren Prajjan ini merupakan salah satu pesantren tertua di Madura,” kata seorang santri Pondok Pesantren Fatihul Ulum, Prajjan.

Pesantren tersebut berada di kawasan pasarean Kiai Abdul Allam. Lokasi pasarean sekaligus pesantren itu tepat di pinggir sungai besar. Namanya sungai Prajjan.

Di kawasan pasarean yang dipagari batu batu tanpa pintu gerbang itu terdapat puluhan makam.

Mulai dari makam Kiai Abdul Allam dan isteri beliau, juga keturunannya. Di sana juga ada makam yang diberi keterangan nama. Makam kuna. Seperti makam Kiai Abdul Allam yang tanpa keterangan. Hanya saja makam-makam kuna itu kijingnya sudah dibaluti keramik.

Hanya nisannya yang masih original. Nah, makam yang ada keterangan nama huruf latin itu bertuliskan Kiai Abdul Kamal. Sosok sentral jejak ulama edisi kali ini.

Kiai Abdul Kamal adalah salah satu putra Kiai Abdul Allam. Tentang berapa jumlah putra-putri Kiai Prajjan ke-I itu ada beberapa versi.

Catatan Prajjan menyebut tiga anak. Yaitu pertama ialah Nyai Sayyidah, Jaranguan. Lalu yang kedua ialah Nyai Syaibah, Langgar Tana, Prajjan. Dan yang ketiga ialah Kiai Abdul Kamal, Langgar Genteng, yang disebut penerus estafet pesantren Kiai Abdul Allam. Pesantren itu kini bernama Nazhatut Thullab, Prajjan.

Namun di catatan lain, ada yang menyebut empat orang. Salah satunya catatan yang dipegang oleh Bindara Muhsin dari Bangkalan.

”Itu di catatan Bangkalan,” kata pria asal Bangkalan yang kini menetap di Kalimantan itu kepada Mata Madura.

Muhsin menyodorkan empat nama yang kesemuanya laki-laki. Yaitu Kiai Abdul Alim (Langgar Somber), Kiai Abdul Kabir (Langgar Tana), Kiai Abdul Qomar (Langgar Genteng), Kiai Abdul atau Abdullah (Langgar Temor).

Dari keempat nama itu tak satupun ada nama Kiai Abdul Kamal, sehingga seandainya tidak ada keterangan tambahan “langgar genteng”, maka dipastikan catatan yang dimiliki Muhsin ditulis ulang dan menjadi data keluarga Bani Tokolong Bangkalan perlu dikaji lagi.

”Mungkin salah ejaan. Karena catatan saya ini informasinya didapat dari Prajjan juga,” jelas Muhsin, pekan lalu.

Sedang menurut pemerhati silsilah tokoh-tokoh Madura, Bindara H Ilzamuddin, putra-putri Kiai Abdul Allam memang berjumlah 3 orang. Yaitu yang dilahirkan oleh isterinya Nyai Prajjan, putri Nyai Aminah binti Sunan Cendana.

Nama ketiganya sesuai dengan keterangan catatan Prajjan yang disebut di muka. Tapi ada lagi putra Kiai Abdul Allam yang lahir dari isteri pertama. Konon isteri pertamanya itu ialah bangsa peri atau jin.

”Dari isteri peri itu lahir anak bernama Ringgit. Ada yang menyebut namanya Abdun Nashir. Hanya menurut kisah kuna di Prajjan, anak itu tidak kelihatan jasad kasarnya. Kadang menampakkan diri. Konon Ringgit ini malah bermusuhan dengan anak-cucu Kiai Abdul Allam yang lahir dari Nyai Prajjan binti Nyai Aminah,” kata Bindara Ilzam.

Terlepas dari benar atau tidak kisah itu, versi yang menyatakan bahwa Kiai Abdul Allam punya anak tiga orang itu lebih banyak. Dan yang membuat lebih kuat karena berasal langsung dari catatan Prajjan sendiri.

Dengan demikian, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa satu-satunya anak lelaki Kiai Abdul Allam ialah Kiai Abdul Kamal.

Namun untuk memastikan bahwa itu versi yang paling benar, tentu suatu hal yang mustahil. Karena terpaut masa yang cukup lama.

Hampir dipastikan tak ada satupun tokoh terdekat dengan masa hidup Kiai Prajjan ke-I dan ke-II yang masih hidup hingga saat ini.

Bindara Harits, salah satu keturunan Kiai Abdul Allam di Prajjan mengatakan, Kiai Abdul Kamal adalah anak bungsu Kiai Prajjan ke-I.

Sejak kecil, menurut cerita Harits, Kiai Abdul Kamal tidak tinggal dengan kedua orang tuanya. Beliau diasuh oleh orang lain.

”Kiai Abdul Kamal diasuh oleh seorang pertapa,” kata Bindara Harits, beberapa waktu lalu.

Pertapa ini tidak jelas siapa. Namun dimungkinkan seorang arifbillah yang jadzab.

Hal itu lantas berpengaruh pada pola pikir dan keilmuan yang diserap oleh Kiai Abdul Kamal. Konon, Kiai Abdul Kamal perilaku dzahirnya dikenal ‘nyeleneh’ dan melenceng dari syari’at. ”Amalan beliau justru banyak bertentangan dengan syari’at yang biasa kita anut,” jelas Harits.

Kiai Abdul Kamal dikenal sebagai penerus ayahnya Kiai Abdul Allam. Beliau dikenal sebagai Kiai Prajjan ke-II. Meski secara dzahir keadaan beliau terlihat banyak “menyimpang”, namun beliau dikenal sebagai alim besar.

Tidak sedikit yang nyantri pada beliau. Salah satu murid beliau ialah Kiai Zubair Sumber Anyar, Pamekasan.

 

Pintu Masuk Kompleks Pasarean Kiai-kiai Prajjan. (Foto: R. M. Farhan)
Pintu Masuk Kompleks Pasarean Kiai-kiai Prajjan. (Foto: R. M. Farhan)

Kiai Abdul Kamal diriwayatkan menikah dengan putri Kiai Asyhar, Penghulu Bagandan yang wafat di Bulangan bersama Raden Tumenggung Ario Adikoro IV (bupati Pamekasan) dalam peristiwa Ke’ Lessap.

Isteri Kiai Asyhar bersaudara dengan ibu Kiai Abdul Kamal, yaitu sama-sama putri dari Nyai Aminah binti Sunan Cendana. Sehingga, hubungan Kiai Abdul Kamal dengan isterinya sekaligus saudara sepupu.

Pada waktu peristiwa perang dengan Ke’ Lessap, menurut Bindara Harits, Kiai Abdul Kamal ikut membantu mertuanya dalam perang di Bulangan. Konon, baju Kiai Asyhar yang berlumuran darah masih tersimpan di Prajjan.

Sepeninggal Kiai Abdul Kamal, estafet pengasuh pesantren Prajjan jatuh pada putranya, Kiai Masajid. Hingga kini, dimulai dari Kiai Abdul Allam, sudah mencapai generasi kesepuluh, sebagai pengasuh pesantren yang kemudian diberi nama Nazhatut Thullab.

em farhan muzammily

KPU Bangkalan