Beliau merupakan salah satu tokoh yang hadir saat Sunan Cendana, Kwanyar, bertemu dengan Pangeran Cakraningrat I di Madura Barat. Mendampingi dan mengamini untaian doa keramat sang Mertua yang dikenal sebagai waliyullah agung kala itu. Kiai Lembung atau Pangeran Plakaran, demikian masyarakat ujung barat Pulau Garam menyebut sosok ini. Siapakah beliau gerangan?
MataMaduraNews.com–BANGKALAN-Nama Lembung bagi masyarakat Madura tidaklah asing. Namun karena tidak hanya di satu lokasi, terkadang antar warga Pulau Garam memiliki pemahaman berbeda. Sehingga tak ayal, beberapa warga ujung barat Madura bingung saat menyebut nama tokoh atau lembaga pendidikan misalnya, yang dikaitkan dengan tempat itu. Karena nama-nama yang disebut terasa asing di telinga sebagian orang.
Usut punya usut, ternyata yang dimaksud ialah Lembung di ujung timur bumi Raden Sagara. Begitu pun sebaliknya, warga Sumenep sedikit mengernyitkan dahi saat mendengar nama Kiai Lembung atau Nyai Lembung, yang ternyata berada di kawasan Bangkalan. Namun sebenarnya tidak semua orang tak menyadari akan banyaknya kesamaan nama tempat di empat kabupaten di Madura. Meski tak ada sensus tentang hal ini, namun diperkirakan hanya sebagian kecil saja warga Madura yang tak tahu bedanya Lembung Bangkalan dengan Lembung Sumenep.
Kembali pada Lembung. Di edisi kali ini Mata Madura mengangkat salah satu tokoh Madura Barat masa lampau dalam rubrik ini. Kiai Abdullah Lembung. Nama di belakang tersebut jelas mengacu pada tempat yang bernama Lembung. Yaitu sebuah dusun di Desa Somor Koneng. Sebuah desa yang secara administratif masuk dalam peta Kecamatan Kwanyar, di Kabupaten Bangkalan.
BACA JUGA: Jejak Sang Hulubalang di Pakondang; Kiai Abdul Karim bin Syits
Kiai Abdullah merupakan salah satu ulama besar di Kwanyar. Beliau adalah suami dari Nyai Aminah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Lembung. Nyai Aminah merupakan salah satu putri dari Waliyullah besar Madura, Sunan Cendana, Kwanyar. Lalu, siapakah Kiai Abdullah ini?
Dalam sebuah catatan yang bersumber dari Bangkalan, Kiai Abdullah Lembung adalah salah satu dari putra Pangeran Khathib Mantu alias Pangeran Pakebbunan. Pangeran Pakebbunan berasal dari Giri Kedaton. Beliau ialah putra Sunan Kulon bin Sunan Giri ke-I. Karena diambil menantu oleh Panembahan Lemah Duwur dari Bangkalan, maka Pangeran Pakebbunan dikenal dengan Pangeran Khathib Mantu. Setelah menikah dengan Putri Raja Bangkalan itu, sang Pangeran menetap di Madegan, Sampang. Makamnya terletak di sebelah utara Masjid Madegan sekaligus situs Ratu Ibu Madegan. Meski sayang, kijingnya sudah tidak original. Situsnya lenyap.
Kembali ke Kiai Abdullah Lembung. Dalam catatan silsilah Madura Barat, putra-putri Pangeran Khathib Mantu tak banyak disebut. Zainalfattah dalam bukunya, hanya menyebut satu orang. Catatan lain juga menyebut sepotong-sepotong. Meski dalam sebuah riwayat tutur (folklore), konon, sang Pangeran berputra lebih dari 60. Kemungkinan memang tidak dari satu isteri. Lalu dari mana riwayat yang menyatakan bahwa Kiai Abdullah Lembung ialah putra Pangeran Khathib Mantu?
Dalam sebuah pertemuan atau halaqoh nasab di Pamekasan, 03 September 2017, ditemukan catatan bahwa Kiai Abdullah adalah putra Pangeran Khathib Mantu dengan putri Panembahan Lemah Duwur. Catatan yang dipegang oleh Bindara Nurkhalis, Pasuruan, itu menyebut nama lain Kiai Abdullah ialah Pangeran Plakaran.
Catatan itu lantas membantah beberapa versi tentang asal-usul Kiai Lembung. Salah satu yang menguatkan lagi bahwa Kiai Abdullah adalah putra Pangeran Khathib Mantu ialah status perkawinannya. Kiai Abdullah adalah menantu Sunan Cendana. Sedang Sunan Cendana ialah putra Ratu Gede Kedatun, saudara kandung Pangeran Khathib Mantu. Jadi, antara Sunan Cendana dengan Kiai Abdullah adalah sepupu. Sehingga, masih wajar terjadi pernikahan dari keluarga dekat. Sebagaimana tradisi keluarga keraton dan tokoh agama di masa kuna untuk menjaga kafaah nasab.
***
Bindara Nurkhalis mengklaim juga memiliki beberapa catatan pendukung. Salah satu di antaranya ialah yang disebutnya silsilah Bani Ya’qub keluarga Kyai Yasin Kepang, menantu Syaikhona Kholil bin Abdul Latif.
”Catatan silsilah beliau tertulis begini, Kiai Yasin bin Ya’qub bin Nasiron bin Ja’far Sodiq bin Amin Buju’ Buker bin Sorof/Musyarrof Toronan bin Abdurrahman/Ismail Buju’ Angsokah, Blega bin Abdullah Lembung bin Khotib Mantoh bin Panembahan Kulon bin Sunan Giri,” kata Nurkhalis.
Sumber pendukung lainnya ialah silsilah Buju’ Pereng di Blega, Bangkalan. Buju’ ini bernama asli Kiai Sobahul Khoir. Di catatan yang dikantongi Nurkhalis juga tertulis, Kiai Sobahul Khoir bin Jafar Sodiq (Buju’ Tokotoh) bin Buju’ Tokkang Tandes Konang Timur bin Buju’ Gumbing Nung-gunung Blega bin Mas Abdullah Plakaran bin Khotib Mantoh bin Panembahan Kulon bin Sunan Giri.
BACA JUGA: Pangeran Musyarrif Arosbaya; Ulama Madura Pertama Yang Gugur Di Ujung Bedil Kompeni
”Menurut keterangan Bani Ya’qub, Abdullah Lembung memang disebut juga Abdullah Plakaran. Hal itu dikarenakan sang ibu berasal dari kerajaan Plakaran, Arosbaya. Yaitu Raden Ayu Khathib Mantu binti Panembahan Lemah Duwur, penguasa Madura Barat,” tambah Nurkhalis.
Meski begitu, Nurkhalis tidak menampik data lain yang memiliki versi beda. Namun, ia mengaku tidak bisa menerimanya karena memiliki kelemahan. Seperti yang mengatakan putra Kiai Aji Gunung, dan menyatakan berasal dari keluarga Basyaiban.
”Di Morombuh, Bangkalan, ada yang mengatakan Bin Khothib Pakebbunan alias Aji Gunung. Padahal Aji Gunung dan Khothib Pakebbunan beda orang. Ada lagi yang menyatakan cucu Sayyid Sulaiman Mojoagung, tapi ini sangat lemah. Sayyid Sulaiman itu bahkan masanya jauh setelah Kiai Abdullah Lembung,” imbuh Nurkhalish.
***
Meski dikenal sebagai ulama besar dan tokoh besar di Madura Barat, sekaligus menantu Wali Agung di Kwanyar, tidak banyak diketahui peri kehidupan Kiai Lembung. Cerita tutur mengenai masa awal kehidupannya, seperti riwayat lahir, masa kecil, keilmuan, kiprah, dan peninggalannya juga bisa dikata langka.
Hanya ditemukan sebuah naskah kuna yang menyebut pertemuan Sunan Cendana dengan Pangeran Cakraningrat I dalam rangka mendoakan Madura Barat, dengan disaksikan Kiai Lembung. Naskah itu sebenarnya menyebut Cakraningrat II. Hanya karena menyebut angka tahun peristiwa yang bertarikh 1044 Hijriah, jelas pemerintahan Madura Barat belum di bawah kendali Cakraningrat II (Seding Kamal). Karena ketika dikonversi ke tahun Masehi maka diperkirakan itu terjadi di antara 1624 hingga 1634 M.
Dalam sejarah pemerintahan Madura Barat, Cakraningrat I memerintah sejak 1624 hingga 1648. Dengan demikian, peristiwa itu kemungkinan di masa Cakraningrat I masih belia, atau di bawah perwalian Pangeran Santamerta, paman dari pihak ibunya. Isteri pertama Cakraningrat I, Syarifah Ambami masih dari keluarga Giri Kedaton, dan terhitung cucu keponakan Sunan Cendana.
R B M Farhan Muzammily, Mata Madura
Komentar