Religi

Mengenal Rabi’ah al-Adawiyah; Sufi Perempuan Pencetus Mahabbatullah

×

Mengenal Rabi’ah al-Adawiyah; Sufi Perempuan Pencetus Mahabbatullah

Sebarkan artikel ini
Mengenal Rabi’ah al-Adawiyah; Sufi Perempuan Pencetus Mahabbatullah
ilustrasi

Salah satu sufi yang kental dengan kehidupan asketisme (zuhud) adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Sufi perempuan kelahiran Basrah, Irak ini, lahir sekitar abad kedelapan, tahun 713-717 Masehi atau akhir abad ke dua Hijriyah.

Rabi’ah al-Adawiyah memang populer sebagai pencetus konsep mahabbatullah.

Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat.

Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbatullah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M.

Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep mahabbah melalui sya’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Sepanjang sejarah, konsep Cinta Ilahi (mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan.

Meski konsep dan ajaran cinta Rabi’ah sebatas untaian kata penuh makna dan hakikat dari sekadar kata cinta.

Selain itu, Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk  sya’ir-sya’ir Cinta Ilahi yang kerap ia senandungkan.

Namun  begitu, sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain:

  1. J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini)
  2. Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’y an (Obituari Para Orang Besar)
  3. Yafi’i asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh),
  4. Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar  dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin.

Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasa.

Saat Rabi’ah menginjak dewasa, Ismail, ayah Rabi’ah dan ibunya meninggal dunia. Jadilah ia sebagai anak yatim piatu bersama tiga saydara lainnya.

Sementara, ayah dan ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi’ah untuk mencari nafkah membantu menghidupi tiga saudaranya.

Rabi’ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain.

Sementara ketiga saudara perempuan bekerja dirumah menenun kain atau memintal benang.

Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup.

Dalam pengembaraanya, Rabi’ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri.

Pada saat itulah Rabi’ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang.

Pedagang yang membeli Rabi’ah memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi’ah harus selalu bekerja keras sepanjang hari.

Pada suatu malam, Rabi’ah bermunajat kepada Allah, jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah.

Ketika Rabi’ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun.

Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah.

Melihat peristiwa tidak biasa sang majikan ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi’ah.

Sebelum Rabi’ah pergi, si majikan menawarkan Rabi’ah untuk tinggal bersama dan akan menanggung segala kebutuhan Rabi’ah.

Namun karena kezuhudannya, Rabi’ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi’ah akan mengabdikan hidup hanya untuk beribadah. (redaksi)

diolah berbagai sumber                       

KPU Bangkalan