Kiai Pekke (Faqih) Lembung; Guru Bindara Saut

×

Kiai Pekke (Faqih) Lembung; Guru Bindara Saut

Sebarkan artikel ini
Pasarean Kiai Pekke di Asta Lembung, Lenteng, Sumenep. (Foto/R M Farhan)

Nama Kiai Pekke dalam sejarah dinasti terakhir Keraton Sumenep, hampir sama dengan Kiai Raba di Pademawu Pamekasan. Sama di sini bisa dimaknai dalam hal tingkat penghormatan generasi dinasti terakhir yang dibuka oleh Bindara Saut ini. Keduanya memang memiliki garis kuat dengan tokoh-tokoh awal maupun cikal-bakal dinasti ini.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

matamaduranews.comSUMENEP-Kiai Raba misalnya adalah paman sekaligus guru dari Kiai Abdullah alias Bindara Bungso atau Entol Bungso, Batuampar; yaitu ayahanda dari Bindara Saut. Sedang Kiai Pekke statusnya juga paman sekaligus guru dari Bindara Saut sendiri. Kedua tokoh ini (Kiai Pekke dan Kiai Raba) juga memiliki beberapa kesamaan.

Pertama, dua ulama besar di masanya itu merupakan pembabat alas atau peletak batu pertama “lembaga” di tempat yang kini menjadi peristirahatan abadinya. Keduanya merupakan pendatang yang hijrah dari tempat kelahirannya, dan menempati tempat barunya dalam rangka menjalankan perintah sang guru.

Kiai Raba yang asli Sendir, Kecamatan Lenteng, Sumenep, menempati alas Raba di Pademawu, Pamekasan berdasarkan isyarah gurunya, Kiai Aji Gunung, Sampang. Sementara Kiai Pekke menempati daerah sunyi bernama Lembung itu juga berdasarkan titah sang guru.

Kedua, dua wali agung itu dikenal dengan banyak karomah dan kealimannya. Kedua tokoh yang banyak menempuh jalan sufi, meninggalkan keduniawian dan lebih menyibukkan waktunya dengan bersujud itu juga dikenal tidak dikarunia keturunan. Dan keduanya sama-sama mengambil anak keponakannya, sebagai anak, murid, dan sekaligus kadernya.

Kiai Raba alias Kiai Abdurrahman mengambil anak saudarinya, Nyai Asri, yang bernama Kiai Abdullah sebagai anak angkat. Sedang Kiai Pekke juga mengambil anak saudarinya, Nyai Nuriam (Nurima), yaitu Bindara Saut sebagai anak angkat.

Adanya kaitan nasab dan garis keilmuan tokoh-tokoh pembuka dinasti terakhir Sumenep ini pada kedua tokoh tersebut, menjadi wajar apabila keduanya lantas begitu diagungkan hingga detik ini. Sehingga bisa dikata warna peradaban Sumenep yang ditinggalkan dinasti terbesar dalam sepanjang sejarah Sumenep ini adalah warna yang berasal dari kedua tokoh agung ini, yang salah satunya kini menjadi tokoh sentral Jejak Ulama edisi saat ini.

Berasal dari Parongpong

Kiai Pekke merupakan sebutan atau panggilan pada tokoh yang dikenal juga sebagai budayawan di masanya ini. Nama beliau ialah Kiai Faqih. Beliau adalah putra Kiai Khathib Bangil, Parongpong, Kecer yang saat ini secara administratif masuk wilayah Kecamatan Dasuk. Keterangan asal-usul Kiai Faqih ini bisa didapat dari banyak sumber yang berkaitan dengan Sumenep tempo doeloe. Seperti catatan kuna silsilah Keraton Sumenep, buku Babad Songennep, dan tulisan-tulisan para sejarawan Madura yang membahas tentang Sumenep di dalamnya, seperti Kangjeng Zainalfattah, Drs Abdurahman, dan lainnya.

Meski ayahnya berasal dari Parongpong, tidak ada keterangan pasti bahwa Kiai Pekke dilahirkan di sana. Karena menurut beberapa riwayat, Kiai Khatib Bangil juga pernah bermukim di Bangil, Pasuruan, sebelum kemudian kembali ke Parongpong. Namun, kemungkinan besar Kiai Pekke besar di Parongpong yang merupakan tumpah darah ayah dan leluhurnya.

Kiai Khatib Bangil adalah putra Kiai Talang Parongpong. Dalam catatan silsilah, Kiai Talang Parongpong berputra juga Kiai Abdul Qidam (Larangan, Pamekasan), Kiai Kalong, dan Kiai Takong (Dasuk). Sedang Kiai Talang Parongpong ialah putra Kiai Abdullah Glugur, yaitu anak Kiai Astamana, Kecer. Kiai Astamana Kecer bersaudara dengan Kiai Andasmana Kecer, yaitu leluhur Kiai-kiai Sendir, Lenteng yang juga menjadi asal-usul Kiai Raba. Kiai Astamana dan Kiai Andasmana ialah anak-anak lelaki dari Pangeran Bukabu, Sumenep.

Kiai Khatib Bangil menikah dengan Nyai Salamah, putri Kiai Modin Teja, Pamekasan. Dari pernikahan ini lahirlah Kiai Pekke, Nyai Nuriam, dan Nyai Galuh. Di catatan Lembung, ada beberapa nama lain lagi.

Membabat Bumi Lembung

Daerah atau kawasan Lembung, bisa jadi baru dikenal semenjak Kiai Pekke membabatnya. Sang Kiai bersama isterinya menempati wilayah yang ditunjuk oleh guru Kiai Pekke. Dalam sebuah manuskrip yang berupa macapat di Raba Pademawu, dikisahkan jika Kiai Pekke berguru pada Kiai Raba.

”Menurut catatan di macapat Raba itu, beliau bersama dengan Kiai Pandian, yaitu Kiai Arsoji alias Kiai Abdul Qidam juga berguru ke Kiai Raba. Kalau dilihat dari nasab, Kiai Pandian ini masih paman Kiai Pekke, namun mungkin masih tidak jauh usianya,” kata Bindara Hamid, salah satu yang memelihara situs Raba, awal pekan ini.

Nah, bisa jadi dalam kaitannya dengan menempati Lembung itu merupakan isyarah dari Kiai Raba kepada Kiai Pekke. Meski tentu tidak bisa dipastikan, karena dalam tradisi kuna, para kiai tidak hanya berguru pada satu orang saja.

Gapura atau Pintu masuk Pasarean Kiai Pekke di Asta Lembung, Lenteng, Sumenep. (Foto/R M Farhan)

 

Kedatangan Kiai Pekke di Lembung mungkin tidak sedramatis kisah Kiai Raba. Hampir tidak ditemukan catatan tertulis mengenal awal dan proses hijrah dan kiprah Kiai Pekke di Lembung. Menurut cerita tutur, tak lama setelah itu, Kiai Pekke banyak didatangi orang yang ingin nyantri pada beliau. Sehingga lantas Lembung bisa dikatakan semacam pesantren, karena para santri sudah menempati bilik khusus.

Kiai Pekke juga dikisahkan mengambil anak keponakannya, yaitu Bindara Saut seperti yang disebut di atas. Konon, Bindara Saut juga ikut nyantri dan diperlakukan sama dengan santri-santri lainnya. Beliau juga menempati bilik santri dan tidak dikhususkan. Hanya saja, kisah beliau hampir sama dengan ayah dan para leluhurnya yang memiliki banyak keistimewaan semenjak kecil.

Apalagi, Bindara Saut sejak dalam kandungan ibunya juga sudah menunjukkan peristiwa luar biasa. Di masa kanak-kanaknya juga begitu. Hingga suatu waktu, datang tanda yang terjadi di bumi Lembung. Tanda yang merupakan isyarah langit akan adanya angin perubahan di Sumenep. Orang Jawa menyebut itu wahyu keprabon, atau isyarat adanya restu dari langit pada tokoh yang bakal menjadi Ratu Adil, pemimpin masyarakat yang bisa membawa banyak kebaikan. Orang Madura menyebutnya Teja.

Ramalan Tujuh Turunan

Di suatu malam yang tenang dan damai, Kiai Pekke yang terbiasa berjaga, keluar dari tempat khalwatnya. Firasat aneh membuat beliau keluar rumah. Langkahnya dituntun menuju bilik-bilik santri.

Tak lama kemudian, beliau mendongakkan pandangan ke arah langit. Di saat bersamaan beliau melihat sebuah bintang besar tiba-tiba semakin membesar dan melesat turun ke bumi tepatnya ke sebuah bilik santri. Cahaya yang melesat itu menerobos atap bilik. Kiai Pekke lekas bergegas mengejarnya. Sesampainya di sana, cahaya tersebut menghantam sosok anak kecil yang tengah tidur dan sekaligus menyelimutinya. Sosok itu seakan terbakar oleh cahaya yang menyilaukan. Kiai Pekke yang waskita itu tidak mampu menembus wajah sang anak. Sehingga lantas memberi tanda dengan membakar kain sarung sang anak. Saat itulah datang suara, bahwa anak yang diselubungi cahaya tersebut akan menjadi penguasa bumi Songennep selama berapa generasi.

Keesokan hari, Kiai Pekke menyuruh semua santri berkumpul di sebuah tempat. Beliau lantas memeriksa semua santri. Dan ternyata yang kain sarungnya ditandai ialah seseorang yang sangat dikenalnya dengan baik.

”Sudah kuduga,” gumam Kiai Pekke.

”Saut, kemarilah,” perintah sang Wali.

Saut kecil lantas maju. ”Dalem, Kiai.”

”Nak, ketahuilah, dan dengarlah sekalian semua di sini, saksikanlah kata-kataku. Murid dan anakku ini kelak akan menjadi Raja Sumenep selama tujuh turunan.” Semua mendengar ta’zhim.

Ramalan itu terbukti berpuluh tahun kemudian. Bahkan saat usia lanjutnya Kiai Pekke masih menyaksikannya saat 1750, Bindara Saut menduduki kursi singgasana Sumenep dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung Tirtonegoro.

| R B M Farhan Muzammily