Catatan

Gus Miftah dan Gus Miek

×

Gus Miftah dan Gus Miek

Sebarkan artikel ini
Gus Miftah dan Gus Miek
Gus Miftah dan Gus Miek

Gus Miftah dan Gus Miekmatamaduranews.com KH Hamim Tohari Djazuli (1940-1993) mungkin tidak banyak dikenal di luar kalangan nahdliyin Jawa Timur. Tapi, kalau disebut nama Gus Miek, warga Jawa Timur akan mengenalnya. Gus Miek, adalah kiai karismatis yang sangat dihormati dan termasuk kategori ‘’kiai sejuta umat’’ di Jawa Timur.

Gus Miek adalah pendiri tarikat amalan zikir Jama’ah Mujahadah Lailiyah ‘’Dzikrul Ghofilin’’ dan majelis sema’an Alquran ‘’Jantiko Mantab’’. Puluhan ribu jamaah selalu mengikuti sema’an Gus Miek, dan pada zamannya jumlah jamaah sema’an Gus Miek tidak ada yang bisa menandingi.

Jamaah Mujahadah Lailiyah, kelompok tarikat Gus Miek, sesuai dengan namanya, mengamalkan doa dan zikir sepanjang malam. Uniknya, Gus Miek tidak melakukannya di masjid atau langgar, Gus Miek bisa melakukannya di tempat-tempat umum, termasuk klub malam.

Gus Miek dikenal sebagai kiai yang akrab dengan dunia malam, sehingga banyak yang mencibirnya secara negatif. Jauh sebelum Gus Miftah membuat heboh dengan berdakwah di klub malam, Gus Miek sudah melakukannya hampir tiap malam.

Di sebuah klub malam hotel berbintang di Surabaya Gus Miek hampir setiap malam hadir dan bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk perempuan yang bekerja di dunia malam. Gus Miek menjadi tempat meminta fatwa oleh berbagai kalangan dunia malam.

Dari cara dakwahnya itu Gus Miek bisa mengislamkan banyak orang, salah satunya ‘’lady rocker’’ Ayu Wedayanti yang menjadi salah satu penyanyi rock papan atas pada era 1990-an. Zaman sekarang, Gus Miftah mengislamkan selebritas youtuber Deddy Corbuzier

Dakwah bil-klub malam sudah dijalani Gus Miek puluhan tahun tanpa ada publikasi. Zaman itu memang ulama dan kiai lebih ikhlas karena belum ada media sosial. Meski begitu, Gus Miek adalah legenda yang punya pengikut sangat luas di Jawa Timur. Sosoknya penuh kontroversi dan misteri. Ia dicibir oleh penentangnya dan dihormati oleh para pengikutnya. Bahkan para pengritiknya pun menaruh hormat kepadanya.

K.H Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1940-2009) adalah kiai yang sepantaran dengan Gus Miek. Meski begitu, Gus Dur termasuk kiai yang sangat menghormati dan tawaduk kepada Gus Miek. Dua kiai itu sama-sama kontroversial, tetapi dikenal adem dalam menghadapi persoalan-persoalan khilafiyah.

Dakwah ‘’bil klub malam’’ ala Gus Miek membawa pengaruh penting dalam hidup Dorce Gamalama. Entertainer yang meninggal (16/2) itu menghadapi dilema besar dalam hidupnya karena memilih menjadi transgender. Dorce menganggap Gus Dur dan Gus Miek sebagai guru panutannya.

Salah satu yang menjadi kontroversi adalah wasiatnya supaya ketika meninggal dipulasara dan dimakamkan sebagai perempuan. Dorce memang pernah melakukan operasi transeksual yang mengubah gendernya dari laki-laki menjadi perempuan.

Ia menjadi salah satu selebritas papan atas yang berani melakukan operasi transgender itu. Dorce dikenal sebagai muslim(ah) yang taat dan mempunyai kesalehan sosial yang tinggi. Ia membangun rumah gadang besar dan menampung banyak anak yatim piatu dan duafa di rumah besarnya.

Sebelum meninggal, Dorce sakit berkepanjangan sampai membuatnya miskin dan tidak mampu membayar biaya pengobatan. Dorce sampai harus menulis surat kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk meminta bantuan biaya pengobatan.

Status Dorce sebagai transgender menjadi perdebatan dan kontroversi. Ketika ia berwasiat supaya dipulasara dan dimakamkan sebagai perempuan hal itu pun menimbulkan pro dan kontra. Sepanjang karirnya Dorce menghadapi kontroversi itu dengn caranya yang khas, tatag dan penuh humor.

Sebuah anekdot diceritakan oleh Dorce. Suatu hari ia berkencan dengan seorang bule. Setelah berkencan sang bule memberinya sejumlah uang dalam bentuk mata uang asing dolar. Dorce senang bukan kepalang. Tapi, begitu mau ia tukarkan ke money changer ternyata dolar itu palsu. Dorce pun balik dan protes ke si bule. ‘’Mister, mengapa saya dikasih uang palsu?’’ Si bule menjawab, ‘’You juga perempuan palsu…’’.

Dorce menyikapi persoalan eksistensial dengan humor. Kata Arthur Schopenhauer, humor adalah kualitas ilahiah yang ada pada diri manusia. Humor menunjukkan kematangan jiwa. Kemampuan menertawakan diri sendiri bukan tanda merendahkan diri, tapi tanda kebijaksanaan.

Dengan humor, persoalan seberat apa pun akan menjadi ringan. Humor adalah senjata yang paling ampuh sebagai ‘’ice breaker’’ untuk memecah kebuntuan komunikasi. Selera humor sudah terlalu lama hilang dari ranah publik kita, sehingga yang terasa setiap hari adalah hawa yang sumuk dan panas.

Dorce tentu risau dengan status eksistensialnya. Ia yang sangat religius mencari fatwa mengenai gender-nya kepada banyak ulama. Dorce mengatakan bahwa sebagaimana pandangan publik secara umum, ada di antara ulama yang mengharamkan perilaku transgender. Tentu para ulama itu mempunya dalil yang kokoh dalam menyikapi kasus Dorce.

Dorce terlahir di Solok, Sumatera Barat sebagai Dedi Yuliardi bin Ahmad (nama itu yang tertera di batu nisan). Mudah diduga, masa kecil Dorce tentu kental dengan nilai-nilai religius. Wilayah Sumatera Barat dikenal sebagai daerah basis Islam puritan. Perang Paderi pada 1821 adalah tonggak perlawanan dan kebangkitan kalangan Islam puritan melawan penjajah, sekaligus juga kebangkitan puritanisme melawan Islam mistisisme yang berkembang di Jawa.

Dengan latar belakang budaya semacam itu Dorce sudah terbiasa dengan cara-cara beribadah ‘’Islam modernis’’ yang biasanya diasosiasikan dengan Muhammadiyah, ketimbang Islam tradisionalis yang diasosiasikan dengan Nahdlatul Ulama.

Dorce melakukan pengembaraan spiritual yang membawanya bertemu dengan Gus Dur dan Gus Miek. Dua ulama asal Jawa Timur itu dikenal dengan keahliannya dalam sufisme dan mistisisme.

Dari dua kiai itu Dorce memperoleh keyakinan spiritual dan eksistensial yang lebih mantap. Kepada Gus Dur Dorce bertanya mengenai ibadahnya sebagai seorang transgender. Gus Dur mengatakan, kalau Dorce yakin dengan gender-nya sebagai perempuan, maka beribadahlah sesuai dengan keyakinannya. Dorce merasa adem oleh nasihat itu. Dari Gus Miek Dorce memperoleh pencerahan yang sama.

Belakangan ini muncul pendakwah yang meniru cara dakwah Gus Miek. Dia adalah Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah, yang punya branding khusus sebagai pendakwah klub malam. Di era digital seperti sekarang Gus Miftah juga menjadi kiai selebritas medsos, sama dengan kiai-kiai lainnya.

Gus Miftah berdakwah di klub malam dan kemudian menjadi viral di media sosial. Gus Miftah berpidato di gereja, menjadi viral, dan menjadi kontroversi. Sama dengan Gus Miek yang penuh kontroversi, Gus Miftah pun dipuji dan dicaci. Bedanya, Gus Miftah lebih berapi-api, dan Gus Miek lebih adem dan mengayomi.

Karena ‘’berapi-api’’ itulah sekarang Gus Miftah terlilit di tengah pusaran kontroversi. Ia membuat pertunjukan wayang bersama dalang Ki Warseno Slank. Salah satu episode pertunjukan itu menampilkan sebentuk wayang kontemporer yang berjenggot, mengenakan gamis dan peci putih. Tokoh fiksi itu diduga personifikasi dari Ustaz Khalid Basalamah.

Dalam episode berjudul ‘’Begawan Lumana Mertobat’’ itu figur wayang berjenggot itu berhadapan dengan tokoh Baladewa dalam sebuah perang tanding. Wayang Khalid kemudian dihajar habis-habisan sampai wayang itu rusak. Gaya mendalang ala Ki Enthus Susmono yang ‘’urakan’’ ini mungkin mengundang tawa. Tapi, personifikasi Khalid Basalamah dalam wayang itu menimbulkan protes luas.

Ustaz Khalid Basalamah sebelumnya terlebih dahulu berada pada pusaran kontroversi setelah dianggap ‘’mengharamkan’’ wayang dalam salah satu ceramahnya. Ceramah ini menimbulkan kontroversi luas dan Khalid sudah meminta maaf.

Kali ini gelombang berbalik dan giliran Ki Warseno yang meminta maaf. Ia memang tidak menyebut nama Khalid Basalamah, tapi figur wayang itu bisa dengan mudah diidentikkan sebagai Khalid Basalamah. Apalagi dalam dialog itu sang dalang menyebut ‘’ente’’ dan ‘’alhamdulillah’’.

Gus Miftah enggan meminta maaf. Tapi, setelah gaduh ia meminta maaf atas kegaduhan itu, bukan atas pergelaran wayang yang dibuatnya.

Wayang sebagai karya seni seharusnya menyatukan, bukan memecah belah. Mungkin kita semua harus banyak belajar, termasuk kepada Gus Miek, supaya dakwah bisa adem. (kempalan)

KPU Bangkalan