Opini

Bupati Bogor Merias Rapor Keuangan

×

Bupati Bogor Merias Rapor Keuangan

Sebarkan artikel ini
Bupati Bogor Korupsi
Bupati Bogor Ade Yasin membantah telah menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Oleh: Taufik Lamade*

JENIS kasus dugaan korupsi yang menjerat Ade Munawaroh Yasin, bupati Bogor, terbilang jarang terdengar. Yakni, terjaring saat dia ”merias” rapor keuangan.

Rupanya Ade ingin membuat laporan keuangan Pemkab Bogor terlihat cantik dan rapi. Tida ada bopeng-bopeng. Bupati perempuan itu pun diduga memberikan gratifikasi kepada para auditor BPK.

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut Ade ingin kembali mendapat predikat opini WTP (wajar tanpa pengecualian). Penilaian tertinggi dalam audit keuangan.

Itulah sebabnya, dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung 27 April 2022 itu, bukan hanya Ade yang ditangkap. KPK juga menjaring para auditor BPK. Ada delapan orang yang terjaring. Pemberi suap empat orang, termasuk Ade. Dan empat orang penerima, semuanya para auditor BPK.

Bisa dibilang, jarang terdengar kasus korupsi di simpul itu (hias rapor). Paling banyak saat anggaran digunakan atau operasional. Yang populer dengan istilah penyunatan anggaran.

Sejatinya, semua tahap anggaran sudah jadi titik korupsi. Anggaran masih embrio pun sudah dinodai. Contohnya, gubernur dan bupati memberikan ”hadiah” kepada para anggota DPRD untuk meloloskan anggaran yang dibutuhkan. Misalnya, kasus korupsi Abah Anton, wali kota Malang, 2015. Saat itu sejumlah anggota DPRD Malang pun diadili karena menerima suap untuk memuluskan pembahasan APBD perubahan.

Kasus seperti itu juga terjadi di Sumatera Utara. Gatot Pujo Nugroho yang menjadi gubernur kala itu (2009–2014) ditangkap karena menyuap 19 anggota DPRD Provinsi Sumut agar anggaran yang diajukan lolos. Para anggota dewan juga diringkus. Korupsi berjamaah.

Kasus embrio anggaran yang dikucurkan dari APBN juga banyak. Bahkan, bupati atau gubernur yang menjemput langsung ke Jakarta. Biasanya itu kongkalikong dengan anggota DPR RI atau pejabat pusat. Para elite di pusat bertugas memuluskan agar dana turun sesuai dengan keinginan daerah.

Contohnya, kasus 2016, Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan divonis enam tahun karena menerima suap dari Bupati Kebumen Yahya Fuad dan Bupati Purbalingga Tasdi. Taufik Kurniawan menerima total Rp 4,85 miliar agar dana alokasi khusus (DAK) bisa turun dengan lancar.

Namun, yang paling banyak, kasusnya, ya saat operasional angggaran itu. APBD disunat lah, di-mark up lah, atau proyek diberikan ke kelompok tertentu yang kemudian para kepala daerah dan pejabatnya mendapat hadiah dari pemenang proyek. Paling banyak di proyek infrastruktur dan pengadaan barang.

Contohnya, kasus mantan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah yang menerima suap Rp 600 juta dari kontaraktor dalam pembangunan infrastruktur. Ia divonis tiga tahun.

Mantan Bupati Malang Rendra Krisna juga divonis enam tahun penjara oleh pengadilan tipikor karena mendapat hadiah dalam mengatur pemenang proyek.

Setiyono, mantan wali kota Pasuruan, juga divonis enam tahun. Ia terbukti menerima suap proyek dinas koperasi dan UKM. Korupsi yang terkait suap proyek dan perizinan juga menyangkut mantan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa.

Korupsi kepala daerah memang sudah sangat masif. Berdasarkan situs KPK, sejak lembaga antirasuah itu didirikan hingga Januari lalu, sudah 148 bupati/wali kota yang terjaring karena korupsi. Itu termasuk Ade Yasin yang terjaring paling baru.

Di level gubernur, sudah 22 kepala daerah yang terjaring. Padahal, jumlah provinsi 34.

Bila digabung dengan kepala daerah yang diusut kejaksaan dan kepolisian, jumlahnya makin besar. Berdasar riset ICW, pada era 2010–Juni 2018 saja, ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka (diusut Kejagung, Polri, dan KPK). Kita memiliki 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi.

Sudah ratusan yang masuk penjara, tapi para kepala daerah tak pernah kapok. Contoh, Ade Yasin yang paling hangat. Tak mau belajar. Padahal, kakaknya sendiri, Rahmat Yasin, juga tertangkap KPK. Rahmat juga bupati Bogor, sebelum Ade. Iya tersangkut kasus suap perizinan.

Kasus yang menimpa Ade Yasin itu perlu penyidikan yang mendalam. Yang menjadi pertanyaan, mengapa dia ”merias” laporan keuangannyi? Berarti, banyak bopeng dan lubang.

Secara logika, pasti ada problem besar. Mengapa harus meyuap para auditor BPK? Mengapa harus dipoles. Itu bisa menjadi pintu bagi KPK untuk lebih dalam mendeteksi sekaligus mengungkap kasus lain.

Para kepala daerah sangat mendambakan opini WTP (wajar tanpa pengecualian) dari laporan keuangannya. Status tersebut dikeluarkan BPK setelah melakukan pemeriksaan.

Begitu mendapat status WTP itu, sejumlah kepala daerah menjadi euforia. WTP dibanggakan ke mana-mana. Dipamerkan. Tak jarang diumumkan, baik lewat berita maupun iklan, di media massa. Sekaligus sebagai pengumuman bahwa tidak ada penyimpangan dan korupsi dalam pengelolaan anggaran.

Tapi, adanya OTT Ade Yasin mengindikasikan ada juga titik korupsi dalam memburu status opini WTP. Membuka mata publik, ada juga modus menghias rapor keuangan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pun pernah mengusulkan agar lembaganya memiliki unit yang bekerja seperti BPK. Yakni, mempunyai wewenang menghitung kerugian negara. Tapi, terbentur dengan SEMA (Surat Edaran MA) No 4 Tahun 2016 yang menyebut lembaga yang menghitung kerugian negara hanya BPK.

Yang menjadi problem dalam kasus Ade Yasin itu, auditor BPK yang harus memeriksa malah ikut terjaring.

Kalau BPK juga masuk angin, jangan harap lantai bisa bersih kalau sapunya juga kotor. (hariandisway)

*Guest Editor Harian Disway

KPU Bangkalan