POLEMIK pengelolaan Asta Tinggi, Sumenep, kembali mencuat. Yayasan Panembahan Somala (YSP) meminta Pengadilan Negeri (PN) Sumenep, agar mengeksekusi hak pengelolaan Asta Tinggi yang selama ini dikuasai Yayasan Penjaga Asta Tinggi (Yapasti).
Eksekusi tersebut, dilakukan hari Kamis, 18 Juli 2019 berdasar putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, tanggal 22 Desember 2017 dengan Nomor 735/PDT/2017/PT.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Putusan PT yang menjadi dasar eksekusi itu mendapat perlawanan dari kuasa hukum Yapasti. Dia berdalih, putusan PT tidak membatalkan atau mencabut dan atau menyatakan tidak sah karena SK Bupati Sumenep dan SK Gubermur Jawa Timur tentang hak pengelolaan Asta Tinggi.
Dalam penjelasan kuasa hukum Yapasti, para penjaga Asta Tinggi sudah turun temurun mendapat SK Bupati. Tugasnya, mengatur, memelihara, membersihkan serta menjaga keamanan Asta Tinggi. Semua tugas itu, bertanggung jawab kepada bupati.
Polemik siapa yang berhak mengelola Asta Tinggi tentu berawal dari status tanah yang ditempati Asta Tinggi karena berstatus hibah dari Panembahan Sumolo. Putra Bindara Saod, Raja Sumenep.
Sementara, sebelum Bindara Saod ditempatkan di Asta Tinggi, sudah ada leluhur Raja Sumenep yang dimakamkan. Asta Tinggi menjadi tempat peristirahatan keluarga para Raja Sumenep.
Lebih mengejutkan lagi, tempat itu, konon, ada Asta Raja Pertama Sumenep, Arya Wiraraja. Berlokasi pendapa paling belakang. Nisan makam di ujung barat.
Kenapa dikata konon? Dalam daftar deretan nama makam itu, ada satu makam yang tak bernama. Makam lain, jelas namanya. Seperti, Pulang Jiwo, Nyi Arta, Angga Dipa dan lainnya. Sehingga dari pandangan bashirah seseorang, diketahui makam yang tak bernama itu, Arya Wiraraja.
Mencari kebenaran sejarah kehidupan para Raja Sumenep ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Sama halnya, dua kelompok yang kini berolemik anatara YSP dan Yapasti. Keduanya juga mengklaim paling berhak mengelola Asta leluhurnya..
Kehidupan para Raja Sumenep sejak berdiri hingga berakhir sistem kerajaan, tak ada dokumen sejarah lengkap. Para peneliti dan akademisi hanya mengakui sejarah Arya Wiraraja sebagai Raja Pertama Sumenep. Lalu, Bindara Saod sebagai Raja Sumenep yang menggantikan Raden Ayu Dewi Rasmana, 1750-1760 M.
Dalam kurun waktu pasca Arya Wiraraja hingga Bindara Saod tak terlihat dokumen sejarah kehidupan para Raja Sumenep. Padahal, kurun waktu itu, ada nama besar Jokotole yang menjadi bagian peran berdirinya gerbang raksasa Kerajaan Majapahit dan menjadi pemimpin perang melawan pemberontakan Raja Blambangan.
Selain Jokotole, ada Adi Poday yang menjadi Raja Sumenep mengganti kekuasaan Pangeran Bukabu. Jabatan Raja Adi Poday karena menikahi Dewi Saini alias Puteri Kuning, cucu Pangeran Bukabu berdasar cerita rakyat.
Para sejarawan tak memasukkan kehidupan Raja Jokotole dan Raja Adi Poday dalam refrensi sejarah. Kisah Adi Poday dan Potre Koneng (putri raja yang cantik) hanya di dapat dari cerita rakyat.
Padahal, Kerajaan Sumenep terus berkembang pasca Arya Wiraraja. Hanya di bawah kekuasaan Kerajaan di tanah Jawa.
Memang, Kerajaan Sumenep tak berdiri sendiri. Sejak awal berdiri, Arya Wiraraja sebagai Adipati Raja Kertanegara di Kerajaan Singhasari. Lebih kurang 24 tahun Arya Wiraraja memerintah sebagai Adipati Sumenep (1269-1293).
Lalu berganti pada Kerajaan Majapahit. Sebuah kerajaan yang berkuasa sejak 1293 sampai 1500 M. Sejarah mencatat, proses berdirinya Kerajaan Majapahit tidak lepas dari campur tangan Aria Wiraraja melalui strategi politik yang sangat brilian.
Dari alur sejarah ini jelas keberadaan Kerajaan Sumenep sepeninggal Arya Wiraraja. Bagaimana bisa, para peneliti sejarah luput mencari refrensi kehidupan para Raja Sumenep. Padahal kerajaan Sumenep menjadi bagian wilayaan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang berkuasa selama 200 tahun lebih (1293 sampai 1500 M).
Kerajaan Majapahit runtuh, Kerajaan Sumenep di bawah Kesultanan Demak yang berdiri sejak 1475-1554 M, menguasai wilayah Kadipaten Sumenep. Kemudian Kerajaan Sumenep beralih di bawah pengawasan langsung Kesultanan Mataram 1588-1681 M.
Pada tahun 1705 M, akibat perjanjian Mataram dengan VOC, wilayah Kadipaten Sumenep berada dalam kekuasaan penuh Pemerintahan Kolonial.
Rentetan sejarah yang belum lengkap dari awal Kerajaan Sumenep berdiri yang dipimpin Arya Wiraraja, 1269M. Hingga Raja terakhir, Sultan Abdurrahman pada tahun 1854, sebelum menjadi sistem pemerintahan Kadipaten Sumenep, menjadi pertanyaan besar. Sekaligus PR bagi bupati saat ini dan seterusnya.
Bukankah, Sumenep satu-satunya kabupaten di Jawa Timur yang masih lestari keraton peninggalan Kerajaan?
Pesona Satelit, 18 Juli 2019