Opini

Melejitkan Kembali Ghiroh Guru Sebagai Pahlawan Tak Dikenal

×

Melejitkan Kembali Ghiroh Guru Sebagai Pahlawan Tak Dikenal

Sebarkan artikel ini
Melejitkan Kembali Ghiroh Guru Sebagai Pahlawan Tak Dikenal
Ainul Yaqin, M.Si

Oleh: Ainul Yaqin, M.Si*

Terkikisnya public figure akibat perubahan peradaban kini mulai kita rasakan  dampaknya. Dampak yang paling kentara bisa kita lihat dari perubahan pola pikir dan tingkah laku masyarakat keseharian yang kurang mencerminkan nilai moral. Pola pikir pragmatis dan sikap kehidupan yang kurang mencerminkan nilai moral merupakan bagian dari danpak terkikisnya figur panutan yang baik (uswatun hasanah). Guru yang termasuk public figure bagi siswa juga menghadapi masalah ini.

Status guru sebagai salah satu public figure yang difungsikan masyarakat untuk digugu dan ditiru semakin tidak diminati. Keberadaan guru hanya sebagai mitra belajar dan tidak lagi berperan sebagai sosok yang patut digugu dan ditiru. Di samping itu, perhatian pemerintah kepada para guru, terutama guru swasta berkurang. Terbukti, salah satunya terlihat dari kurang profesionalnya pembayaran tunjangan profesi. Ada guru yang bahkan harus berhutang, sehingga memicu guru untuk menambah kesibukan di luar sekolah demi mencari tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dampak tersebut mengakibatkan kurangnya perhatian kepada anak didik.

Di sisi lain, tinjauan realitas profesi guru telah mulai ditinggal. Terbukti, para siswa/i alumni 2016/2017 jenjang menengah di sekolah favorit dan unggulan khususnya di kota-kota besar lebih memilih berkuliah di universitas yang non pendidikan seperti UGM, UI, Unpad, ITS, IPB, UNS termasuk UIN non Pendidikan. Pernyataan ini diamini oleh Satriwan Salim, seorang guru di Labschool Jakarta.

Alumni Pasca sarjana UI tersebut menulis dalam blognya, selain perhatian pemerintah yang kurang, ternyata banyak guru yang belum memberikan inspirasi sebagaimana kata pakar pendidikan William Arthur: “Guru biasa itu memberi tahu, guru baik itu menjelaskan, guru super itu mendemontrasikan dan guru yang agung itu yang memberikan inspirasi”.

Profesi guru mulai diabaikan dan tidak diminati hanya ketidakpuasan dengan gaji yang hanya berkisar Rp 400 ribu per bulan untuk sejenis honorer tingkat SD. Sementara peranan guru sebagai komponen strategis dalam menentukan kemajuan pradaban bangsa sejak dulu telah diakui oleh semua kalangan, mulai masyarakat bawah hingga masyarakat elit, dari negara tertinggal hingga negara berkembang bahkan negara maju. Maka, gaji seperti tergambar diatas sungguh bertolak belakang dengan isi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di pasal 14 ayat (1.a) UU tersebut dinyatakan: “Guru berhak mendapat penghasilan di atas kebutuhan hidup minimal dan jaminan kesejahteraan sosial”.

Seorang tokoh pendidikan Daoed Yoesoef (1980) mengatakan, “Sebagai guru mempunyai tiga tugas yaitu tugas Profesional, Kemanusiaan, dan Kemasyarakatan”. Ironisnya, realita sekarang tidak berfungsi sebagaimana hakikat awal sebagai guru yang difigurkan. Maka, di sini terlihat adanya indikasi ketimpangan sistem di dunia pendidikan. Termasuk sistem renovasi kurikulum yang selalu berubah atau penentuan kebijakan lain yang terkadang mengdepankan “misi partai atau golongan lainnya”, bukan misi kemajuan bangsa.

Belum lagi realita dampak kebijakan terhadap guru dan stakeholder pendidikan yang disibukkan dengan berbagai macam pengisian aplikasi. Sehingga, para stakeholder pendidikan mudah melupakan amanatnya seperti yang tertera dalam undang-undang dasar yakni “mencerdaskan bangsa”. Perhatian terhadap murid pun berkurang.

Patologi pendidikan  terhadap sistem tersebut menjalar dan menggerogoti guru sebagai public figure yang seyogianya jadi panutan, tingkah laku dan sikap. Maka, melalui peringatan hari Guru Nasional tahun ini, mestinya dijadikan momentum mengembalikan status prestise dan karisma guru terhadap publik sebagai patologi klinik di dunia pendidikan. Bagi guru, harus dimulai dari personal. Guru juga perlu berbenah diri dengan mencari kembali figur guru yang pantas ditiru dan dipragakan kepada anak-anak didiknya. Sebaliknya bukan sekedar ikut berkompetisi dan terlena dalam kemajuan tekhnologi.

Seperti apakah guru yang pantas difigurkan? Mereka yang berhasil mencetak generasi bangsa dan mampu ikut serta membangun negeri dengan memberi contoh dengan perilaku yang baik, mulai sikap, bicara dan gaya bicara, kebiasaan bekerja, berpakaian, hubungan kemanusiaan, proses berfikir, perilaku neurotis, bijaksana dalam mengambil keputusan, menjaga kesehatan, gaya hidup secara umum. Harus diakui perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik.

Guru yang baik adalah mereka yang menyadari apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya. Kemudian menyadari kesalahannya ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulangi, karena guru sebagai agen  perubahan bukan hanya berfungsi sebagai alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), namun juga menanamkan nilai (value) serta membangun karakter (Character Building).

Untuk membangun karakter itu, seorang guru perlu memperkaya khazanah model dan tipe dari beberapa guru yang diseniorkan dengan mencontoh gaya hidup sederhana dan ke-tawadlu’an-nya, tetapi mempunyai ruhul jihad kependidikan yang penuh dedikatif. Itulah yang dimaksud penulis, bahwa guru perlu berguru terhadap para guru sesepuh yang telah terbukti berhasil menanamkan nilai dan karakter hingga anak didiknya mampu dan berhasil. Dengan bahasa lain, “Bergurulah pada sang Guru yang difigurkan oleh semua Guru”.

*Ainul Yaqin, Guru di MA Mashlahatul Hidayah Sumenep, Dosen Stiqnis Sumenep, Ketua Lembaga Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di STIDAR Sumenep.

KPU Bangkalan