MataMaduraNews.com-Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub menjelaskan, ketika seseorang dalam kondisi wujdu akan meraih cinta-Nya yang memuncak setelah merasakan manisnya berdzikir kepada Allah.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Dalam kondisi tersebut, seandainya ada salah satu anggota tubuhnya dipotong, ia tidak akan merasakan sakit serta tidak sadar jika ada bagian tubuhnya yang dipotong.
Al-Ghazali menjelaskan, sebelum kondisi wujdu tercapai, si pejalan akan mengalami isyqa. Yaitu, sebuah kondisi bathin yang merasakan cinta dan rindu mendalam (mabuk asmara) kepada yang dicinta. Sehingga, segala hijab yang membatasi dirinya dengan Sang Khalik akan hilang. Termasuk rahasia-rahasia Allah Swt juga ikut terbuka.
Kondisi-kondisi bathiniyah di atas, menurut al-Ghazali tentunya diawali dengan perasaan hubbi dari seorang salik. Hubbi, sebagai ungkapan kecenderungan perilaku si salik kepada sesuatu yang dianggap senang atau nyaman.
Jika kecenderungan itu terus di asah secara berkesinambungan dan sungguh-sungguh dengan perbanyak dzikirullah, nilai hubbi kian tambah kuat dan kokoh. Giliran berikutnya memasuki etape isyqa’ (mabuk asmara).
Dalam kondisi seseorang yang mengalami isyqa (mabuk asmara), kata Al-Ghazali, akan mengantarkan pada sikap yang siap menerima apa yang menjadi perintah dari kekasih. Al-Ghazali mengutip kisah cinta Zulaikha terhadap Yusuf as. Sehingga, Zulaikha rela kehilangan semua harta yang dimiliki seperti, mutiara dan kalung yang jika ditimbang seberat muatan 70 unta.
Semua barang yang dimiliki dan dicintai Zulaikha habis digunakan demi cintanya kepada Yusuf. Zulaikha menamakan segala sesuatu dengan nama Yusuf dan telah lupa segalanya selain nama Yusuf karena saking sangat cinta kepada Yusuf. Apabila Zulaikha mengangkat kepala ke langit, melihat nama Yusuf tertulis pada bintang-bintang di langit.
Menurut al-Ghazali, dalam kondisi isyqun lil-lah (mabuk cinta kepada Allah), si pecinta selalu ingin bersama kekasih (Allah) dalam keasyikan bersama yang dirindu melalui lezatnya dzikrullah. Walau rintangan duniawi menghadang, tidak menyurut kegilaan cinta untuk terus menjalin asmara dengan kekasih yang dicinta. Sebab, kebahagiaan bathin yang direngguh begitu lezat dan tidak bisa terlukis dalam bahasa.
Dalam kitab yang beliau tulis, banyak memberikan resep bagaimana dapat terus merajut kemesraan dengan kekasih yang dicinta (Allah Swt). Salah satunya, al-Ghazali mengutip dialog Nabi Muhammad Saw bersama Allah ketika sedang Mi’raj.
Allah Swt bertanya kepada baginda Nabi Muhammad Saw, Hai Ahmad, kalau engkau ingin menjadi orang yang paling wira’i, jadilah orang yang mengasingkan duniawi dan mencintai akhirat,â€. Nabi Saw bertanya, Ya Tuhanku, bagaimana caranya aku bisa mengasingkan dunia? Allah Swt berfirman kepada Nabi Saw, “Ambillah dari dunia ini sekedar makan, minum dan berpakaian. Janganlah engkau menimbun untuk hari esok dan lenggengkan dzikir kepada Ku..
Nabi Saw bertanya lagi, Ya Tuhanku, bagaimana caranya aku harus melanggengkan dzikir kepada Engkau? Allah Swt kembali berfirman, “Dengan cara menyendiri dari manusia dan jadikanlah tidurmu adalah salat dan makananmu adalah kelaparan.
Dari dialog tersebut, Nabi Saw bersabda kepada sahabat bahwa mengasingkan duniawi akan memberikan istirahat kepada hati dan badan. Sedangkan rakus terhadap duniawi itu akan memperbanyak keprihatinan dan kesusahan. Termasuk cinta dunia pangkal dari segala kesalahan.Sedangkan mengasingkan duniawi itu adalah pangkal segala macam kebaikan dan ketaatan.
Al-Ghazali menjalani kehidupan sebagaimana pesan Nabi Saw. Setelah menjalani uzlah, al-Ghazali kembali kepada keluarganya di Thus. Meski hidup dan tinggal di tengah keramaian, hati dan sepanjang nafasnya tetap berdzikir menyebut nama-Nya.
Al-Ghazali tidak larut dalam hiruk pikuk kehidupan dunia. Tiada waktu baginya untuk terus bermunajat (komunikasi) melalui peleburan diri dan merasakan manisnya dzikir bersama kekasih yang dicinta.
*) diolah dari berbagai sumber
bersambung…