Opini

Mengenal Seluk Beluk Pesantren

×

Mengenal Seluk Beluk Pesantren

Sebarkan artikel ini
Mengenal Seluk Beluk Pesantren
Mengenal Seluk Beluk Pesantren. (Foto Design by A. Warits/Mata Madura)

Buku yang tergolong langka ini ditulis oleh seorang alumnus pesantren yang bergelar doktor, karena penulis pernah mengenyam pendidikan di beberapa pondok pesantren di Pulau Jawa yakni Pondok Pesantren Wali Songo (Muallimin, 1979), Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo (lulus 1985/1986) dan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo (15 Juni 1987 s.d 1995) dan muqim Ramadan di beberapa pesantren lain.

Penulis juga pernah mengabdi sebagai guru di KMI Gontor (1 Tahun) dan Nurul Jadid; MTsNJ, MANJ, SMANJ, LPBANJ MAN Paiton, MAPKNJ, Mahad Aly, serta beberapa pendidikan di Situbondo, Bondowoso dan Jember. Sementara pendidikan akademisnya beliau tempuh yaitu jenjang Strata-1 di Fakultas Dakwah Jurusan BPM IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo (lulus 1991), Strata-2 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus, 1997) dan Strata-3 di kampus yang sama lulus Januari 2008.

Sebelum dekade 60-an sentra-sentra belajar (pendidikan pesantren) di Jawa lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah aktual pondok yang umum digunakan dalam bahasa arab adalah, al-mahad, berasal dari akar kata ahida-yahadu-ahdan. Bentuk plural dari kata tersebut adalah maaahid, dan dalam bahasa Inggris disebut Islamic boarding school.

Kata pesantren merupakan derivasi dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an, mengandung pengertian tempat tinggal para santri. Menurut para ahli, seperti dikutip Zamakhsyari Dhofir dalam Tradisi Pesantren bahwa Istilah santri diambil dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji dan berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang artinya buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.

Pesantren, termasuk Pondok Pesantren Nurul Jadid yang didirikan oleh KH. Zaini Munim adalah lembaga yang memenuhi elemen-elemen sebagai berikut: kyai, santri, masjid, asrama, dan pengajaran kitab klasik (kitab kuning). Kelima elemen ini memiliki peran yang sangat penting di pesantren.

Adapun ruh atau jiwa yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh komunitas pesantren. Ruh dan jiwa ini merupakan salah satu prinsip dari sekian prinsip yang harus dipegang dan diamalkan, di Nurul Jadid disebut Trilogi dan Panca Kesadaran Santri, yakni: 1). Memperhatikan kewajiban-kewajiban fardhu ain, 2). Mawas diri dengan meninggalkan dosa-dosa besar, 3). Berbudi luhur kepada Allah dan makhluk. Sedangkan Panca Kesadaran Santri adalah 1). Kesadaran Beragama, 2). Kesadaran Berilmu, 3). Kesadaran Bermasyarakat, 4). Kesadaran Berorganisasi.

Sisi lain yang dapat membuat pesantren selalu dikenang dan mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat adalah suasana kehidupan di dalamnya yang menarik dan unik. Nuansa khusus ini telah menjadi tradisi dan tata cara hidup sehari-hari, baik menyangkut manusia dengan Allah (Muaamalah maa al-Khaaliq) dan hubungan interaktif antar sesama manusia (Muaamalah maa al-Khalq) yang tetap mengacu pada nilai-nilai dasar dan jiwa-jiwa yang dikemukakan diatas. Nurul Jadid memiliki tradisi yang kuat untuk membentuk karakter komunitas di lingkungannya.

Sementara untuk dapat melaksanakan misi pesantren dengan baik maka harus mampu mengimplementasikan pola kepemimpinan dan manajemen yang baik, efektif dan efesien; yaitu sebuah program kerja yang dapat berjalan dengan lancar serta dapat mencapai sasaran yang lebih maksimal dan optimal. Manajemen pendidikan di pesantren secara umum dapat dikategorikan menjadi dua hal: kepemimpinan dan struktur organisasi pesantren.

Alumni pesantren adalah sosok yang diharapkan mandiri dan mewarnai lingkungan sekitarnya. Apa yang diperoleh ketika mondok semestinya menjadi pijakan baginya untuk melangkah. Maka alumni layaknya ilmuan, harus mampu melakukan generalisasi terhadap fakta dan data yang ditemukan, lalu identifikasi, klasifikasi, mengolah dan analisis kemudian menyimpulkan. Namun tidak demikian kenyataannya. Hanya satu-dua puluhan alumni yang mampu membuktikan peran dan kiprahnya. Seringkali sangat pragmatis duniawi (Madaniyah-Dunyawiyah)—bukan spritualis ukhrawi (Ruuhiyah-Ukhrawiyah).

Lalu apa yang harus dilakukan alumni? Nasehat kiai di pesantren dulu kepada santrinya agar ketika sudah menjadi alumni jadilah orang yang berguna dan tidak sombong, maka ia harus melakukan penguatan diri, yaitu mustamal (dipakai), mutamar (dikenal), mutabar (dianggap) dan muhtaharam (dihormati). Buku ini cocok dibaca oleh santri, pengurus, alumni pesantren dan masyarakat secara umum yang memiliki keingintahuan tentang seluk beluk pesantren. Sekian.

*Agus Hasan Mustofa, M.Pd.I adalah alumni PP. Nurul Jadid dan Pengurus P4NJ Sumenep

KPU Bangkalan