Oleh: Jazuli Muthar*
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!matamaduranews.com-Al-GHAZALI terperanjat saat ditunjukkan guru tasawuf adiknya, di dalam pasar yang bekerja sebagai penjahit sepatu. (Kepada siapa al-Ghazali berguru tasawuf sehingga merubah total kehidupannya di tengah bersanding gelar dan kekayaan, tidak ada sumber yang jelas. Margaret, Ebrahim Moosa menyebut al-Ghazali dan sanga adik, Ahmad pernah belajar tasawuf saat muda di Thus kepada teman ayahnya, Syekh Ahmad bin Muhammad Radhkani (w. 477/1082). Kemungkinan sang adik menunjuk guru tasawufnya di Thus).
Al-Ghazali sadar bahwa apa-apa yang selama ini dilakukan dengan status guru besar dan tokoh yang dihormati penguasa dan rakyat, hanya senda gurau. Tidak mengantarkan dirinya dekat kepada Allah Swt. Ilmu-ilmu yang dipelajari sebatas ilmu wacana, bukan ilmu yang mengantarkan dirinya dekat dan dicintai oleh Allah Swt.
Al-Ghazali bertekad meninggalkan status selebritisnya demi kehidupan yang sejati. Dalam curahan bathin yang ia tulis di Munqidz min al-Dhalal, selama enam bulan Al-Ghazali terombang-ambing antara mempertahankan dan keluar dari dunia yang mengantarkan dirinya sebagai tokoh intelektual yang dihormati menuju dunia Sufi. Selama pergulatan bathin itu, nafsu makan al-Ghazali hampa. Dipaksa untuk mengajar, mulutnya tidak bisa keluar kata-kata.
Keinginan al-Ghazali untuk meninggalkan Sekolah Nidzamiyah sempat dihalangi sang karib yang juga perdana menteri Saljuk, Nidzam al-Mulk. Sang penguasa mengirim dokter pribadinya untuk memeriksa penyakit yang diderita Al-Ghazali. Sang dokter tak sanggup menyembuhkan karena penyakit al-Ghazali tergolong penyakit bathin, tiada obat luar kecuali dirinya sendiri. Sehingga pada suatu waktu, al-Ghazali berpamitan ke sang penguasa dan teman-temannya di sekolah Nidzamiyah untuk pergi haji ke Makkah, sebagai alasan untuk kabur dari kehidupan yang menipu dirinya.
Sebelum pergi, seluruh kekayaan Al-Ghazali disedakahkan kepada para fakir miskin. Tersisa hanya untuk kebutuhan keluarganya. Dia menuju Syria dan menetap selama dua tahun untuk tafakur, mengasah hati dengan menyepi. Pada tahun 489/1096 al-Ghazali pergi ke Damaskus dengan identitas baru, berpakaian orang miskin demi mencari guru Sufi. Suatu waktu, Al-Ghazali duduk di emperan pintu Khangah Samisatiyah (Padepokan Samisat di tepi sungai Eufrat). Di tempat itu, ada orang tidak dikenal menyilakan Al-Ghazali masuk ke tempatnya. Ternyata al-Ghazali diterima sebagai murid. Tapi al-Ghazali di uji kesabarannya dengan tugas sebagai pelayan padepokan.
BACA JUGA: Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (1)
Begitu gigihnya al-Ghazali mencari guru spiritual, dia rela meninggalkan kebesaran dirinya sebagai orang kaya dan terhormat menjadi pekerja kasar yang bertugas menyapu dan membersihkan halaman sekaligus menyediakan kebutuhan para tamu di padepokan barunya. Al-Ghazali rela mengabdi demi ilmu sejati yang dicari. Belum ada penjelasan berapa waktu Al-Ghazali menempati padepokan itu.
Suatu hari, Al-Ghazali duduk di emperan Masjid Umayyah, dalam masjid ada sekelompok mufti sedang berdiskusi. Ketika ada orang minta nasihat, para mufti tidak mampu menjawab, merasa tidak puas dengan jawaban mufti, orang itu minta nasihat kepada al-Ghazali. Jawaban al-Ghazali mengagetkan orang asing itu dan diketahui para mufti, sehingga meminta Al-Ghazali datang ke masjid untuk diskusi. Al-Ghazali menyanggupi keesokan harinya. Namun pada malam harinya, Al-Ghazali meninggalkan Damaskus menuju Makkah dan Madinah melewati Yerussalem dan Hebron.
Sekembali dari menunaikan ibadah Haji, Al-Ghazali merasa rindu kepada keluarganya yang menetap di Thus, kota kelahirnya. Dia melewati Baghdad sebelum ke Thus, pada tahun 1097. Setelah itu, dia kembali lagi ke Damaskus dan menetap di menara masjid Umayyah yang dikenal dengan Menara al-Ghazali (Minaret of al-Ghazali) untuk menyepi. Masjid Umayyah memiliki tiga kamar sebagai tempat meditasi. Satu kamar di bagian barat menyerupai menara tinggi. Kamar-kamar tersebut tertutup dan dihuni para petapa dari Maghribi. Menara tertinggi dihuni oleh Al-Ghazali. Kehidupan ini, dilalui Al-Ghazali tiada tujuan lain kecuali membersihkan hati dari ujub, riya’ menuju kehidupan yang sederhana (zuhud) dan berharap ridha-Nya.
Setelah itu, Al-Ghazali kembali mengembara mengunjungi sejumlah padepokan Sufi dan makam-makam suci. Selama pengembaraanya, al-Ghazali tetap berpakaian sangat sederhana dan membawa bekal seadanya selama perjalanan.
Pada tahun 439/1099-1100 Al-Ghazali berhenti mengembara dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Thus serta mendirikan padepokan Sufi (khanaqah). Al-Ghazali menyebut selama 10 tahun dirinya mengembara mencari ilmu sejati. Mendengar al-Ghazali sudah menetap di Thus, Fakhr al-Mulk (w. 499/1106) penguasa Saljukah di Khurasan yang juga Putra Nidzam al-Mulk memaksa al-Ghazali mengajar di sekolah Nidzamiyah cabang Nishapur. Pada bulan Dzulqaidah/Juli-Agustus 1106, Al-Ghazali kembali mengajar di sekolah tempat dia belajar saat muda. Ebarim Moosa menyebut al-Ghazali mengajar tidak lama, sekitar tiga tahun. Saat mengajar ini, Al-Ghazali mencurahkan kegelisahannya rekam jejak kehidupannya dalam buku yang berjudul Al-Munqidz min Al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).
Bersambung…
* Dosen tinggal di Sumenep