Mengenal Konsep Mahabbatullah (6)
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Bagi al-Ghazali, tingkatan dzikir dilakukan bagi hamba yang benar-benar masuk dalam tingkatannya. Sehingga, hasil yang dirasa dalam berdzikir, melahirkan nilai cinta yang berujung dalam kemabukan asmara dengan nama yang selalu diingat. Semakin dalam tingkatan dzikir itu, semakin mudah merajut kemesraan dengan sang kekasih.
Dzikir yang dimaksud al-Ghazali adalah dzikir yang samar sebagai dzikir yang paling baik. Nabi Saw bersabda, dzikir yang baik adalah dzikir yang samar. Dalam dzikir samar (khafi) itu, tiada kata yang disebut, kecuali nama Allah. Dan dzikir (ingat) nama Allah Swt saja, menjadi media kemesraan hamba dengan kekasih yang dicinta (Allah Swt).
Dalam kondisi kemabukan asmara, hati dan pikiran pasti terserap oleh lezatnya komunikasi (munajat) dalam kondisi melebur (ittihad) dengan Allah Swt. Tidak mengherankan, para pemabuk asmara dengan Allah Swt memilih sedikit bergaul, banyak menyendiri, dan kerap berdiam walau berada di tengah-tengah banyak orang. Dalam kesendiriannya, ia merasa damai karena bersama kekasih yang dicinta.
Dalam keseharian, pecinta akan disangka kaya dalam hidupnya karena tidak pernah meminta-minta. Padahal dia tidak bisa bekerja dan tidak ikut berebut dengan para pecinta dunia. Waktunya banyak digunakaan bermesraan dengan sang kekasih, daripada mengejar duniawi.
***
AL-GHAZALI menempatkan riyadlah sebagai tangga maqamat yang ketiga setelah uzlah dan khalwat yang perlu dijalani bagi setiap salik (pejalan). Riyadlah berarti olah jiwa atau olah bathin yang memiliki makna luas karena menyangkut ibadah bathin. Riyadlah juga tergolong ibadah eksklusif karena berbeda dengan ibadah kaum eksotoris (fuqaha) yang masih melibatkan unsur raga (badan atau jasmani).
Ibadah bathin ini banyak dilakukan pengikut tarekat sebagai tingkatan ibadah yang banyak menggunakan qalb (hati). Kemudian diasah lewat memperbanyak dzikir (ingat) kepada Allah sebagai metode instan untuk meraih pengetahuan sejati (makrifatullah).
Kenapa dikata ibadah bathin? Karena ibadah yang dilakukan menggunakan bathin (hati). Sehingga, unsur raga, seperti telinga tidak mendengar. Jika ibadah masih melibatkan gerakan badan luar (dlahir), seperti lisan yang didengar telinga, tergolong ibadah dlahir.
Ibnu Athaillah menyebut dzikrullah sebagai inti ajaran tarekat meliputi tiga golongan. Pertama, dzikir dlahir yang masih melibatkan lisan, huruf bacaan dan gerakan. Kedua, dzikir badan (tubuh). Yaitu, sekujur tubuh digunakan hal-hal yang mengingat Allah Swt. Seperti, telinga untuk mendengar asma Allah. Tangan untuk berbuat kebaikan, dan lainnya. Ketiga, dzikir bathin yaitu dzikrullah menggunakan hati (dzikr al-qalb, dzikr al-ruh, dzikr al-sirr) sesuai kemampuan salik yang masih dalam bimbingan guru spiritual.
Dalam olah bathin (riyadlah) ini, al-Ghazali menggambarkan buah atau hasil dari laku bathinnya sesuai dengan maqam (tingkatan) salik. Buah itu dinamai pengetahuan hati karena bisa mengetahui apa yang tidak diketahui oleh mata telanjang. Dengan pengetahuan ini, al-Ghazali merasa bebas dari hegemoni syahwat yang selalu mengendalikan akal untuk melahirkan pengetahuan.
Apa yang dimaksud dengan pengetahuan hati? Al-Ghazali menjelaskan pengetahuan hati sebagai berikut: “Ilmu yang memperkenalkan seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tapi orang itu tidak meragukan kebenarannya. Ia tidak dapat mengajarkan ilmu ini pada orang lain, jika orang tersebut tidak menempuh jalan yang pernah ditempuh atau dijalaninya.â€
bersambung…