matamaduranews.com-SUMENEP-Sepintas, Pondok Pesantren Loteng yang berlokasi di JL HP Kusuma, Kelurahan Karangduwak, Kecamatan Kota, Sumenep, Madura, nyaris luput dari amatan peniliti.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Maklum, keberadaannya, saat ini, bisa dikata kurang memenuhi ketertarikan jika disebut lazimnya sebuah pondok pesantren. Padahal, ponpes ini memiliki akar sejarah dan jejak kehidupan yang mempengaruhi keberadaan Keraton Sumenep tetap lestari hingga saat ini.
Pengakuan sejumlah keturunan pendiri Ponpes Loteng, awal pertama berdiri Ponpes Loteng setelah banyak masyarakat yang hendak menuntut ilmu kepada Raden Bagus Hasan. Salah satu santri yang tercatat di periode awal adalah KH Zainal ‘Arifin Tarate, Pandian. KH Abisyuja’ Kebunagung, KH Ahmad Bakri Pandian, dan sejumlah kiai di Lenteng, Bluto, Saronggi, Talango, Batang-Batang, Dungkek, Batuputih, Rubaru dan kecamatan lain di Sumenep. Santri Gus Hasan tercatat sebagai ulama besar di Sumenep. Salah satunya, KH Zainal Arifin, ayah KH Usyuni Tarate, Pandian.
Gus Hasan, beliau biasa dipanggil, diperkirakan hidup di paruh kedua 1800-an hingga 1933 M. Gus Hasan tercatat keturunan ke 4 dari Kiai ‘Ali Barangbang (Sayyid ‘Ali bin ‘Ubaidillah Kiyai Khathib Paddusan bin Sayyid Ahmad Baidlawi Pangeran Katandur). Salah satu putri Kiiai ‘Ali bernama Nyai Tengghina (Muthmainnah) menikah dengan Sayyid Kiyai ‘Abdul ‘Alim. Perkawinan itu melahirkan Kiai Daud, kakek Gus Hasan.
Dari garis ibu, Gus Hasan merupakan cucu dari Pangeran Letnan Kolonel Hamzah Kusumosinerangingrono, salah satu putra Sultan Abdurrahman yang terkenal dengan berbagai karomah dan kesaktiannya. Ayahnya, Kiai Muharrar bin Daud menikah dengan Raden Ajeng Zuwaidah binti Pangeran Letnan.
Gus Hasan memperisteri Raden Ajeng Ruqayyah putri Raden Ario Prawiringrat bin Panembahan Muhammad Shaleh bin Sultan ‘Abdurrahman. Ibu Gus Hasan bernama Raden Ajeng Syansuriyah, putri Pangeran Kolonel.
Sejak resmi menerima santri dari luar keluarga, santri Gus Hasan sengaja sedikit. Beliau menyeleksi yang bisa nyantri. “Gus Hasan tidak bisa menerima santri kalau tak mendapat petunjuk. Waktu itu beliau membatasi santri hingga 10 orang. Pernah ada yang memaksa nyantri, nah, yang kesebelas itu lantas jadi gila. Begitu seterusnya, sehingga tak ada yang berani nyantri kalau tanpa ijin Gus Hasan, ” kata R. B. Ali Rahmat, salah satu pengasuh saat ini, bercerita suatu waktu kepada Mata Madura.
Ponpes Loteng di masa Gus Hasan dikenal dengan kedalaman ilmu tasawuf dan fiqh. Di masa itu, salah satu putranya, R. B. Muharrar yang dikenal zahid, dikenal juga dengan kedalaman ilmu tauhidnya. Gus Hasan diganti oleh adik Gus Muharrar bin Hasan, yaitu R. B. Abdul Latif, lalu R. B. Murtadla bin Hasan, kemudian R. B. Abdullah bin Abdul Latif.
Selepas Gus Hasan, santri sudah tak lagi dibatasi. Setelah Raden Bagus Hasan wafat di gantikan oleh Raden Bagus Abd Latif. Dilanjutkan Raden Bagus Murtadha lalu Raden Bagus Abdullah. Di masa Gus Abdullah, Pesantren Loteng mulai dibangun sekolah modern.
Setelah Gus Dullah wafat digantikan oleh Raden Bagus Sakti beliau adalah pensiunan kepala pertamina Magelang Jawa Tengah. Di masa beliu didirikanlah podok pesantren putri dan sekolah SMP Islam Al-Aksan. Tapi apa mau di kata. Hanya segelintir santri yng mau sekolah. Mungkin karena doa para pendahulunya yang tidak ikhlas dengan adanya sekolah.
Sepeningalan Gus Sakti, lalu di gantikan oleh Raden Bagus Ali sampai sekarang.
Farhan Muzammil, Mata Madura