Oleh: Siti Nurul Hidayah, S.Si*
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap nekat akan digelar di tengah angka pasien Covid-19 yang masih meningkat. Pasalnya, KPU mengatur tentang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19. Di mana pesta demokrasi ini akan berlangsung pada 270 daerah di Indonesia, sehingga pasti akan banyak orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Untuk itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020. “Kami sarankan ada revisi PKPU mengenai untuk menghindari potensi kerumunan sosial yang tidak menjaga jarak,” kata Tito dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (Galamedianews.com).
Dengan kebijakan tersebut, seluruh pelaksanaan kegiatan dalam tahapan-tahapan Pilkada bisa dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) dengan memanfaatkan sejumlah media teknologi yang membantu. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya pelaksanaan pertemuan-pertemuan dengan kapasitas orang terbatas masih bisa tetap diizinkan untuk daerah-daerah yang mengalami kendala jaringan dan teknologi.
Pilkada merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Tidak hanya pada saat pemungutan suara, tapi juga mulai dari pendaftaran calon, lalu kegiatan selama kampanye hingga penetapan hasil. Hal itu tidak akan bisa dihindari akan banyak peluang melibatkan kerumunan massa.
Alhasil, banyak pihak menyoroti kebijakan yang dipaksakan ini. Sejumlah tokoh dan dua organisasi masyarakat (ormas) besar di Negeri ini yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah dengan tegas meminta Pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada 2020.
Bukan hanya dari kalangan tokoh, masyarakat awam pun menyikapi heran dengan kebijakan ini. Karena di saat pasien Covid-19 kian bertambah dengan pendanaan yang semakin dibutuhkan pula, tentunya alangkah tepat jika anggaran Pilkada bisa dialihkan untuk penanganan di masa pandemi ini.
Selain untuk pasien yang langsung terpapar Covid-19, juga masih banyak masyarakat kecil yang merasakan makin sulitnya bertahan hidup di tengah wabah ini. Karena merema terdampak secara langsung oleh perekonomian yang kian hari kian terpuruk.
Sehingga, keberadaan para calon pemimpin pada Pilkada ini seharusnya bisa ikut andil meringankan beban hidup masyarakat di masa pandemi ini. Namun, bukan dengan tendensi motif politik yang ingin diraih. Tetapi memang karena menyadari kondisi sesungguhnya yang dialami masyarakat bahwa ekonomi kapitalistik telah membuat kehidupan rakyat makin miskin.
Maka, mereka seharusnya memiliki pandangan atau sikap sebagai calon pemimpin terhadap diskursus perdebatan tentang Pilkada di masa pandemi ini. Mengingat kaputusan ini berpengaruh terhadap keselamatan jiwa masyarakat dengan makin tingginya angka korban Covid-19 di Indonesia.
Sikap yang seharusnya dimiliki calon pemimpin adalah mengutamakan keselamatan jiwa masyarakat dengan menunda pelaksanaan Pilkada ini. Dan mendorong pemerintah untuk secara maksimal mengatasi wabah ini hingga berakhir.
Namun, sungguh ironi jika suatu daerah sampai tidak ada larangan terhadap kontestan Pilkada dalam menggelar kampanye dengan konser dangdutan di masa pandemi yang tak terkendali ini. Meskipun hal itu diungkap dengan mengikuti aturan protokol kesehatan. Tapi yang jelas kalau sudah menggelar dangdutan, pasti ada pentas dan tentunya akan ada kerumunan.
Jika dari perilaku saat kampanye saja tidak tercermin teladan sebagai sosok pemimpin untuk menjaga keselamatan masyarakat dari penyakit yang sedang mewabah ini, lalu bagaimana bisa diharapkan mampu menjadi tumpuan masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan yang akan terjadi? Maka, tentunya ini akan jadi pertimbangan dalam memilih sosok pemimpin mereka nantinya.
Dengan demikian, mengingat demokrasi dikenal sebagai sistem yang mengunggulkan suara rakyat, seharusnya mampu mengutamakan nasib keselamatan jiwa rakyat. Meskipun Pilkada sebagai pesta demokrasi yang dianggap menjadi ajang penting dalam pemilihan pemimpin.
Namun sejatinya pesta demokrasi yakni Pemilu atau Pilkada, menurut Ekonom Emil Salim, merupakan momentum ‘perkawinan’ antara kedua kelompok politikus dan pengusaha (Kompas.com, 3 Desember 2020). Sehingga, tidak heran jika Pilkada tetap kekeuh digelar meskipun dengan berbagai alasan seperti kekhawatiran kekosongan kepemimpinan karena jabatan kepala daerahnya berakhir.
Maka, hal ini makin menegaskan tentang wajah sesungguhnya sistem demokrasi. Bahwa kedaulatan di tangan rakyat, bukanlah di tangan rakyat biasa saja, tapi rakyat “kapital” pemegang kuasa modal yang menjadi pendukung para kontestan tersebut.
Saatnya rakyat mendamba pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat dengan mengurusi rakyat secara sungguh-sungguh dan melindungi rakyat dari segala ancaman kelaparan, bencana juga wabah penyakit seperti ancaman tertular dari virus Covid-19 di masa pandemi ini. Tidak hanya itu, pemimpin yang ada seharusnya juga mampu mengantarkan rakyat mendapatkan hidup dalam keberkahan yaitu dengan taat dan menjalani hukum-hukum dari Sang Pencipta.
Karena itu, Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits tentang seorang pemimpin. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.†(HR al-Bukhari).
Dengan demikian, masih adakah dalam sistem demokrasi ini pemimpin yang didamba rakyat untuk menjadi pelindung di tengah bahaya wabah mendunia ini, jika ajang pemikirannya saja berlangsung di masa pandemi? Wallahu a’lam bisshowab.
*Pemerhati Masyarakat