Nasional

Sambo Dipecat, Rektor Kena OTT, Revolusi Mental Gagal?

×

Sambo Dipecat, Rektor Kena OTT, Revolusi Mental Gagal?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ferry Is Mirza DM

Revolusi Mental Gagal?
Sambo dan Prof Karomani

Yang satu namanya Ferdy Sambo. Bulan Juni lalu masih disebut perwira tinggi (Pati) dengan pangkat Irjen. Jabatannya mentereng yakni Kadiv Propam Polri.

Sejak Kamis malam 25 Agustus, Sambo otak pembunuhan Brigadir Yosua tak cuma dicopot dari jabatannya, juga kena Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari anggota Polri.

Keputusan PTDH = Dipecat ini diambil pimpinan sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) setelah bersidang selama 15 jam.

Sidang KEPP dipimpin Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Komjen Ahmad Dofiri, dengan anggota terdiri dari Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Agung Budi, Kepala Divisi Propam (baru pengganti Sambo) Irjen Syahar Diantono, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Irjen Pol Yazid Fanani dan Irjen Pol Rudolf.

Kisah pembunuhan Brigadir Yosua pada hari Jumat 8 Juli lalu yang bikin heboh seantero Nusantara juga mancanegara itu dikenal dengan peristiwa Duren Tiga, rumah dinas Kadiv Propam.

Ada 51 oknum Polri terdiri dari Pati, Pamen, Pama, Bintara dan Tamtama ikut terlibat kasus yang disutradarai Sambo. Para oknum itu sudah dinonaktifkan dari jabatannya.

Mereka ditempatkan di bagian pelayanan markas Mabes Polri tanpa jabatan alias masuk kotak.

Sambo dan cecunguknya Bharada Elizer, Brigadir Ricky dan MarKuat dikenai pasal 338 dan 340 KUHP jo 55 dan 56 ancaman hukuman mati, atau seumur hidup atau penjara selama 20 tahun.

Selain itu masih ada tersangka lain. Yakni, Putri Chandrawati istri Sambo yang diancam dengan pasal dan hukuman yang sama seperti suaminya.

Sedangkan satu lagi namanya Karomani bergelar profesor. Jabatannya Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila). Karomani dengan sengaja mencemari institusi pendidikan tak cuma Unila tapi dunia pendidikan se-Indonesia.

Pasalnya, ia kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Bandung, pekan lalu.

Peristiwa memalukan dunia pendidikan ini pun bikin heboh.

Karomani yang juga pimpinan ormas besar di Lampung itu, dicokok karena menjual “kursi masuk” untuk mahasiswa baru jalur mandiri.

Konon, perkursi masuk jadi mahasiswa Unila itu dipatok dengan harga Rp 100-350 juta. Dari hasil jualan kursi jalur mandiri itu, Karomani cs meraup sekitar Rp 5 Miliar. OMG

Karomani dikenal juga sebagai salahsatu tokoh forum rektor yang paling getol “teriak-teriak” kampus harus bebas dari radikalisme.

Menurut dia radikalisme adalah ancaman yang paling berbahaya di lingkungan kampus.

OTT yang dilakukan KPK ini layak diapresiasi. Kendati nilai korupsi Karomani tak sebanding dengan koruptor Apeng Surya Darmadi yang nilainya Rp 78 triliun.

Kenapa perlu diapresiasi ? Sebab, ditangkapnya kaum pendidik bergelar professor dari sebuah universitas itu merupakan simbolis penanganan kasus hancurnya moralitas bangsa kita.

Alasan lain, Karomani sebagai pendukung militan Jokowi, semestinya jadi contoh program Revolusi Mental Jokowi. Bukan merusaknya.

Kita semua mahfum, universitas sepanjang sejarah sebagai pusat peradaban manusia.

Selain itu untuk melahirkan dan mencetak manusia cerdas, berintegritas dan memuliakan tujuan kehidupan. Universitas tempat para cendekiawan membuat journal dan riset tentang hak-hak manusia, demokrasi, sistem pemerintahan, tentang alam semesta serta penemuan sains dan teknologi.

Universitas juga dipercaya oleh sebuah bangsa untuk menjadi referensi nilai bagi pembangunan bangsa tersebut.

Misalnya, universitas selalu diminta oleh negara dalam memproduksi atau mengevaluasi sebuah undang-undang. Sebab, tanpa kehadiran kaum cendikiawan dalam hadirnya sebuah produk hukum, moralitas hukum tersebut masih dapat dipertanyakan.

Kesuksesan sebuah bangsa seringkali diukur dengan suksesnya universitas di negara tersebut.

Atau setidaknya kita dapat melihat korelasi kesuksesan sebuah bangsa dengan majunya universitas di negara itu.

Dengan demikian, sangatlah wajar jika universitas menjadi tumpuan harapan manusia, keluarga dan juga sebuah bangsa. Sehingga, jika universitas itu terlihat gagal menjalankan misinya, kekecewaan besarpun akan datang.

Korupsi yang dilakukan rektor Unila ini adalah jenis yang paling sadis. Korupsi model rektor Universitas Lampung meminta uang kepada calon mahasiswa, telah menghancurkan prinsip-prinsip keutamaan moral.

Menghancurkan kepercayaan diri mahasiswa untuk menjadi SDM handal dikemudian hari dan merusak reputasi universitas itu sendiri.

Seorang rektor dan sebagai professor, Karomani sudah hidup lebih dari cukup. Karena sebagai professor masih mendapatkan tunjangan negara sampai usia tua.

Lalu apa motivasi rektor koruptor ini? Perlu penyelidikan serius. Bisa jadi karena rektor ini korban projek Revolusi Mental?

Jokowi membawa ide, semangat dan api “Revolusi Mental” ketika kampanye menjadi presiden. Menurut situs pemerintah,

Revolusi Mental” adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala nyala” (Kominfo.go.id)

Revolusi Mental” Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong.” (situs Kemendikbud). Pemerintah mengalokasikan biaya untuk ide ini terwujud, khususnya dalam pelatihan pelatihan dan pendidikan (Diklat) yang diberikan kepada aparatur negara.

PTDH Sambo dan 0TT Rektor Unila lantaran perbuatan dan tindakan yang menjijikkan ini menunjukkan kegagalan Revolusi Mental di lingkup aparatur penegak hukum dan dunia pendidikan.

Ini memang baru sebuah indikator. Namun, indikator ini sangat penting mengingat keterlibatan seorang Pati Polri dan Rektor pimpinan universitas perguruan tinggi negeri dengan model tindak kejahatan ala penjahat mafia dan korupsi yang biadab.

Bisa jadi, modus korupsi penerimaan mahasiswa baru ini sudah berkembang lama dan terjadi diberbagai perguruan tinggi negeri lainnya.

Ade Armando, misalnya, pernah mengatakan bahwa mahasiswa di kampus tempat ia mengajar, banyak yang berbayar. alias diterima masuk karena uang, bukan IQ dan kapasitas.

Kasus penangkapan rektor koruptor ini bukanlah satu-satunya indikasi kegagalan Revolusi Mental.

Kita melihat kasus Sambo penegak hukumnya alias Provos dari institusi utama penegakan hukum pun telah menunjukkan kegagalan Revolusi Mental ala Jokowi.

Belum lagi banyaknya deretan kasus-kasus korupsi dan moralitas kekuasaan saat ini. Untuk itu maka kita melihat Revolusi Mental ala Jokowi sudah gagal.

Kegagalan Revolusi Mental perlu ditindaklanjuti dengan adanya sebuah upaya baru dalam memperbaiki mentalitas bangsa yang sedang terpuruk ini. (*)

*Wartawan Utama

sumber: kempalan

KPU Bangkalan