Religi

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (1)

×

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (1)

Sebarkan artikel ini
Kitab Al Hikam

Nama Ibnu Atha’illah masih kalah populer dengan Kitab Al-Hikam. Padahal, tak kurang dari 20 karya Ibnu Atha’illah, meliputi tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam.

Oleh: Ahmad Muhammad*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

matamaduranews.com-Memang, Kitab al-Hikam seakan menjadi primbon bagi mereka yang ingin berjalan mendekat kepada Allah Swt. Untaian mutiara katanya memberi petunjuk, bagaimana beribadah yang  bisa meraih ridlo Ilahi. Lewat kolom ini, biografi dan pemikiran Ibnu Atha’illah diturunkan secara bersambung. Semoga menjadi oase di tengah hegemoni syahwat dunia.

Ibnu Athaillah as-Sakandary berkata:

“Kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah (farrigh qalbaka min al-aghyar), maka Allah akan memenuhi hatimu dengan ma’rifat dan rahasia-rahasia (yamla`uh bi al-ma`arif wa al-asrar)”.

Menurut Ibnu Athaillah, ma’rifatullah merupakan tujuan dari tasawuf, bahkan agama itu sendiri. Allah menegaskan bahwa tujuan dari penciptaan jin dan manusia tiada lain adalah untuk bersujud dan mengenal Allah (ma’rifatullah). Segala macam taklif ibadah yang dibebankan Allah kepada hamba-Nya tak lain adalah sebagai perantara untuk mengenal lebih dalam Sang Khalik. “Dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku”, sabda Sang Pencipta dalam surat Thaha.

Hakikat semacam ini nyaris terlupakan oleh penulis kitab “al-Hikam” yang legendaris tersebut. Sebelum menempuh jalan spiritual hingga menjadi penerus tongkat estafet master sufi (mursyid) ketiga dalam ordo Syadziliah, Ibnu Athaillah adalah seorang ahli fiqh (faqih) yang tidak menaruh minat pada sufisme, bahkan cenderung sinis. Dalam pada itu ia berujar, “Aku tidak melihat sesuatu dari apa yang mereka (ahli sufi) lakukan kecuali membuat-buat (sesuatu) terhadap Allah”.

Kealpaan demikian terus berlanjut hingga setelah perenungan mendalam ia memutuskan untuk menghadiri majelis Syekh Abi al-Abbas al-Mursi, mursyid kedua tarekat Syadziliah. Ibn Athaillah terkesima dengan penjelasan-penjelasan al-Mursi dan merasa ucapan tersebut lahir dari samudera Ilahiah. Hal tersebut membuatnya memutar haluan dan menekuni dunia tasawuf. Ibnu Athaillah sadar, bahwa selama ini ia terlalu menekankan diri pada aspek dhahir dari ibadah, sehingga melupakan samudera kedalaman makna yang luas. Pada perkembangannya, Ibnu Athaillah menjadi salah seorang sufi yang paling cemerlang dan menulis lebih dari 20 kitab bercorak tasawuf.

Sebagai seorang pencari Allah (salik), Ibn Athaillah mengajarkan bahwa pada mulanya adalah dengan mengeliminir segala sesuatu selain Allah dari hati. Dalam untaian hikmahnya ia berpesan, “ Kaifa yashruqu qalb shuwar al-akwan munthabi’ah fi mir`atih (Bagaimana hati seseorang dapat tersinari sementara gambar dunia ini terlukis dalam cermin hatinya?)” Seorang salik harus menyadari bahwa dunia beserta segala isinya tidak layak untuk dipatri dalam hati. Seorang salik tidak layak bersedih ketika kehilangan sesuatu dari dunia; apakah itu harta, kedudukan, atau anggota keluarga. Pun sebaliknya, tidak terlampau senang ketika mendapatkan anugerah duniawi.

*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya

bersambung…..

KPU Bangkalan