Religi

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (7)

×

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (7)

Sebarkan artikel ini
Kitab Al Hikam

Oleh: Ahmad Muhammad*

matamaduranews.com-Sesaat setelah menyelesaikan al-Hikam, Ibn Athaillah menyerahkan draft tulisan tersebut kepada al-Mursi. Setelah membacanya beliau berkata: “Anakku, apa yang engkau tulis dalam kertas ini (al-Hikam) sederajad dengan kitab Ihya Ulumuddin”.

Dawuh sang mursyid dapat dimaknai sebagai pengakuan atas keistimewaan karya sang murid. Sekaligus pertanda bahwa Ibn Athaillah layak menjadi penerus estafet mursyid Tarekat Syadziliah sepeninggalnya.

Sebagaimana Ihya Ulumuddin yang menjadi masterpiece al-Ghazali berpengaruh luas kepada perkembangan tasawuf, kitab al-Hikam merupakan karya monumental yang dijadikan rujukan utama para pencari Tuhan (salik).

Imam Muhammad Abduh menyimpulkan kitab al-Hikam ini hampir seperti wahyu. Dan diriwayatkan Ibnu Ujaibah, bahwa seandainya boleh membaca selain al-Quran dalam sholat, maka itu adalah kalam al-Hikam.

Seperti halnya al-Ghazali dan gurunya al-Mursi, Ibn Athaillah mempraktikkan genre tasawuf sunni-amali. Berbeda dengan tasawuf falsafi yang lebih menekankan pada pencurahan rasio dalam menggapai pengetahuan tertinggi.

Genre tasawuf sunni-amali menitikberatkan perjalanan untuk mencapai Allah dilakukan via ibadah, mujahadah, dan akhlakul karimah.

Menurut Ibn Athaillah, rasio tidak dapat secara sempurna menemukan dan memahami ma’rifah, dan hanya laku eksperimental batin-lah ma’rifat bisa tercapai, dan tentu dengan anugerah Allah.

Ibn Athaillah menghargai proses pencarian pada Allah. Penekanannya pada proses tersebut nampak lebih menonjol daripada sufi-sufi lain yang banyak membahas hasil dari ma’rifat seperti; kemampuan adikodrati (khariq lil adah), penyingkapan alam malakut, dan sebagainya.

Ini dapat dipahami bahwa Ibn Athaillah menulis karya-karyanya berdasarkan pengalaman personal yang lantas diformulasikan menjadi sebuah metode sufistik tertentu.

Ibn Athaillah memformulasikan 9 maqamat (stasion) yang perlu ditempuh para salik agar bisa sampai (wushul) kepada Allah. Tidak seperti para sufi lain yang memandang bahwa masing-masing maqam tersebut merupakan hasil mujahadah seorang salik.

Ibn Athaillah melihat bahwa proses perjalanan dari satu maqam hingga ujung disebabkan anugerah Allah semata.

Adapun salik, hendaknya berkonsentrasi dengan mujahadah secara kontinyu sembari mengarahkan jiwanya untuk terus menghamba dan meminta kepada Allah.

Dari sini terlihat bahwa Ibn Athaillah menegasikan kehendak dan kemampuan manusia dalam mencapai sesuatu (fana’ al-iradah).

Hal ini merupakan inti dari pemikiran Ibn Athaillah. Dalam pembicaraan apapun -termasuk mengenai maqamat-, ia selalu tidak lepas dari pemikiran isqath tadbir wa al-iradah, sampai-sampai ia mengarang kitab khusus dengan judul yang sama.

*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya.

bersambung…

KPU Bangkalan