Religi

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (3)

×

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (3)

Sebarkan artikel ini
Kitab Al Hikam

Oleh: Ahmad Muhammad*

matamaduranews.com-Kitab al-Hikam merupakan salah satu kitab tasawuf yang paling berpengaruh di dunia Islam selama hampir 800 tahun. Kitab ini menjadi rujukan utama para pelajar di banyak perguruan tinggi Islam serta menjadi buku panduan bagi para pencari Tuhan. Mengingat besarnya pengaruh al-Hikam, terdapat lebih dari 20 kitab-kitab yang ditulis sebagai penjelas (syarh) atas kitab ini.

Dari sini, layak untuk mensejajarkan al-Hikam dengan karya-karya tasawuf monumental seperti, Risalah al-Qusyairiyah, Qut al-Qulub, dan lain-lain.

Di Indonesia, kitab ini juga menjadi salah satu referensi utama yang diajarkan di masjid, madrasah dan pesantren hingga saat ini. Untaian-untaian hikmah yang ditorehkan penulis dalam al-Hikam terajut indah. Menyejukkan jiwa, dan relevan untuk diterapkan dalam rangka membenahi kehidupan moral-spiritual masyarakat.

Tak berlebihan jika Abdul Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar memandang kitab ini memberikan ilmu dan cahaya. Kitab al-Hikam adalah karya masterpiece Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Abdurrahman ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain Atha’illah al-Judzami al-Maliki al-Syadzili al-Iskandari. Merupakan ulama Mesir kelahiran Iskandariyah pada sekitar 658 H /1260 M. Beliau mendapat gelar “Quthb al-Arifin”, “Turjuman al-Washilin”, dan “Mursyid al-Salikin”. Ibn Atha’illah memiliki asal-usul Arab, nenek moyangnya berasal dari Judzam, salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah (Arab kuno yang dianggap murni).

Ibn Atha’illah dilahirkan di tengah-tengah keluarga ahli ilmu. Kakeknya, Syekh Abi Muhammad bin Abd al-Karim adalah seorang alim fikih (faqih) di masanya, dan diteruskan oleh ayahnya. Sejak muda, Ibn Atha’illah menampakkan kecerdasan yang luar biasa sehingga ia sudah mampu belajar pada ulama-ulama besar di Iskandariah seperti Syekh al-Faqih Nasiruddin al-Judzami. Di usianya yang belia, Ibn Atha’illah telah menguasai berbagai disiplin ilmu semisal tafsri, hadis, fikih, ushul fikih, bahasa Arab dan sebagainya.

Karena dibesarkan di lingkungan ulama ahli fikih, tidak mengherankan bila Ibn Atha’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sesuai harapan dari kakeknya. Kesibukannya bergelut dengan ilmu-ilmu ‘dzahir’ syariat, dan pengaruh lingkungan terdekatnya yang anti tasawuf, menjadikan Ibn Atha’illah sosok yang gigih mengingkari tasawuf.

Pada masa itu di Mesir sedang berkembang tarekat Syadziliah, sebuah ordo sufi yang didirikan oleh Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili dan dilanjutkan oleh Syekh Abu al-Abbas al-Mursi. Sebagai penentang tasawuf, Ibn Atha’illah berpandangan bahwa yang ada hanyalah ulama ahli dzahir, tapi para ahli tasawwuf mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya. Karena itu ia berujar, “Aku tidak melihat sesuatu dari apa yang mereka (para sufi) lakukan kecuali membuat-buat (kebohongan) terhadap Allah”.

*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya.

bersambung….

KPU Bangkalan