Religi

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (4)

×

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (4)

Sebarkan artikel ini
Kitab Al Hikam

Oleh: Ahmad Muhammad*

matamaduranews.com-Mendengar kabar tentang kegigihan Ibn Atha’illah menentang tasawuf, al-Mursi yang ketika itu menjadi mursyid Syadziliah memperoleh visi mistis, bahwa hal sebaliknya akan terjadi; penentang tasawuf yang gigih tersebut akan berbalik menjadi seorang ahli tasawuf besar.

Syech al-Mursi berkata bijak kepada pengikutnya, “Kalau anak seorang alim fikih Iskandariah (Ibn Atha’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”. Keyakinan al-Mursi ini lantas menjadi kenyataan. Tak dinyana, Allah menghendaki Ibn Atha’illah diliputi rasa bimbang yang luar biasa, batinnya tergoncang dan jiwanya tertekan.

Ibn Atha’illah bertanya dalam hati: “apakah sudah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah sudah benar jika aku membenci al-Mursi? Diliputi kecemasan tak terkira, akhirnya ia beranikan diri untuk menghadiri majlis al-Mursi, melihat sendiri apa sebenarnya yang ia ajarkan.

Ibn Atha’illah bergumam, “Jika memang al-Mursi adalah orang baik pasti akan terlihat. Kalaupun sebaliknya, maka biarlah aku meniti jalan hidup sebagai pengingkar tasawuf”.

Ketika menyimak untaian hikmah yang keluar dari lisan al-Mursi, Ibn Athaillah terkesima, dan merasa ucapan-ucapan tersebut tidak lain keluar dari kedalaman samudera ilmu Ilahiah. Ia bergumam, “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang menghilangkan rasa bimbang dalam hatiku”. Sampai pada titik ini, Ibn Atha’illah memutuskan berputar haluan dan mantap berguru ilmu tasawuf kepada al-Mursi.

Ibn Atha’illah sadar bahwa selama ini ia terlalu menekankan diri pada aspek dzahir dari ibadah. Sehingga melupakan samudera kedalaman makna yang luas. Ia juga yakin bahwa ilmu yang didapat oleh para sufi bersumber langsung dari Allah. Untuk semakin memperdalam pengetauan tentang tasawuf, Ibn Atha’illah memutuskan pindah dari Iskandariah ke Kairo dan mengabdi (mulazamah) pada gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi.

Semakin intens Ibn Athaillah bergelut dengan dunia sufi, hatinya semakin tertambat oleh manisnya pengetahuan Ilahiah. Dia tenggelam ke dalam samudera kelezatan maknawi. Terbersit dalam benaknya untuk menyelam lebih dalam lagi. Dan berpikir bahwa ia tidak akan menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan memasuki dunia tersebut secara total. Menghabiskan seluruh waktu untuk sang guru dan meninggalkan semua aktivitas lain.

Ibn Atha’illah berkata, “setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata, “demikianlah para al-shiddiqin, mereka tidak keluar dari keadaan yang telah ditakdirkan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”.

Mendengar penjelasan tersebut Ibn Atha’illah sadar, “aku bersyukur kepada Allah yang telah menghapus kebimbangan dalam hati, seakan aku baru saja menanggalkan pakaian lamaku. Kini aku rela dengan ketentuan yang diberikan Allah kepadaku”.

*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya

bersambung

KPU Bangkalan