matamaduranews.com-Resepsi pernikahan bagi masyarakat Madura merupakan acara yang sakral.
Perbedaan tradisi pernikahan di Madura dengan luar Madura terletak pada solidaritas. Kerabat dekat atau kenalan, seakan menjadi sebuah keharusan untuk datang menghadiri undangan pernikahan.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Calon pengantin harus mempersiapkan mental sebelum melangsungkan pernikahan. Sebab, ia dituntut ikut membiayai kebutuhan pernikahan yang terbilang mahal. Namun, besaran pembiayaan itu masih menjadi tanggungjawab keluarga mempelai perempuan.
Pesta pernikahan di Madura tergolong besar. Tanpa melihat strata sosial. Setidaknya, biaya pesta pernikahan paling kecil menghabiskan biaya berkisar Rp 50 juta.
Namun biaya tersebut menjadi ringan dengan banyaknya kerabat dekat yang ikut bantu nyumbang pembiayaan. Tidak tanggung-tanggung, sumbangan yang diterima jumlahnya mencapai jutaan.
Tradisi unik ini di berbagai tempat di Madura dikenal dengan istilah “Bubuh”. ‘Bubuh’-an atau sumbangan bisa berwujud beras, kue, gula dan kebutuhan makanan pada resepsi pernikahan. Namun lumrahnya mereka memberikan sumbangannya dengan uang dengan alasan lebih fleksibel.
Masyarakat Madura tidak asing lagi dengan buku catatan bubuan pernikahan. Catatan itu ditulis saat kondangan memberikan sumbangan.
Buku tersebut nantinya menjadi patokan untuk mengembalikan hasil sumbangan tersebut dengan jumlah yang sama saat kondangan yang menyumbang tadi mempunyai hajatan.
Makanya, tak perlu terkejut ketika orang-orang Madura kondangan dengan memberikan sejuta dua juta. Sebab, si penerima nanti punya kewajiban mengembalikan dengan jumlah yang sama.
Tradisi unik ini sudah berjalan puluhan tahun. Walaupun tradisi ini tidak tertulis, masyarakat mau tidak mau harus memahami dan menjalankannya. Jika tidak, siap-siaplah menjadi gunjingan tetangga.
Mata Madura merangkum dari berbagai sumber, setidaknya dua poin yang melatarbelakangi tradisi ‘Bubuh’-an ini:
Pertama, ingin membantu meringankan beban pemilik hajatan. Orang tua mana yang tidak mau anaknya bak raja dan ratu di singgasana pengantin. Pinjam dan hutang pun tak terhindarkan, agar resepsi pernikahannya tidak nispah (aib, red). Oleh karenanya, jiwa sosial masyarakat Madura yang kuat itulah mereka menyumbang pemilik hajatan untuk meringankan bebannya.
Kedua, ingin menunjukkan status sosialnya. Masyarakat Madura, pasti tidak asing lagi dengan pecahan uang 100 ribuan yang diapit bambu panjang kecil yang diletakkan pada sebuah pohon pisang di pintu masuk tamu undangan.
Ya, pecahan uang yang di rangkai seperti daun itu bukanlah sebuah mainan. Melainkan sumbangan/bubuh-an dari kondangan. Tingginya angka yang disumbangkan tersebut dapat mengerek status sosial di mata masyarakat.
Terlepas dari kedua faktor di atas, pernahkan kita berpikir bahwa prinsip utama dari tradisi nyumbang ini adalah karena adanya hubungan timbal balik antar masyarakat?. Kalau boleh menyebutnya dengan istilah sosiologi, konsep ini disebut sebagai resiprositas.
Mohlis, Mata Madura