Budaya

Menghidupkan Tradisi Tong-Tong di Bulan Ramadlan

×

Menghidupkan Tradisi Tong-Tong di Bulan Ramadlan

Sebarkan artikel ini
Tradisi Tong-tong di Bulan Ramadlan. (Foto A. Warits/Mata Madura)

MataMaduraNews.comSUMENEP-Bulan Ramadlan memiliki banyak kekhasan. Hal ini bukan saja karena Ramadlan adalah bulan yang penuh dengan segala berkah, sekaligus bulan yang paling dimuliakan di antara sebelas bulan lainnya.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kekhasan yang terkadung dalam bulan diturunkannya al-Quranul Karim ini beragam. Tak hanya hal-hal yang identik dengan bertambahnya frekuensi ibadah dan jumlah kaum muslimin yang memadati masjid, mushalla, langgar, maupun surau di sudut-sudut kampung. Ataupun juga dikarenakan menu santapan buka yang tidak seperti hari-hari biasanya: penuh dengan aneka warna.

Dulu, sekitar lebih dari dua puluh tahunan yang silam, Ramadlan juga identik dengan yang namanya tong-tong. Di kalangan anak-anak, khususnya di kawasan Sumenep, tong-tong merupakan alat permainan yang menarik, apalagi saat dimainkan bersama-sama sambil mengitari luasnya kampung.

”Saya masih ingat dulu waktu masih usia anak SD, sering memainkan alat musik tong-tong ini bersama-teman. Biasanya selepas shalat tarawih. Sungguh menyenangkan dan penuh kekeluargaan,” kata R B Muh Muhlis, salah satu warga Kampung Arab, Desa Pangarangan, Sumenep, awal Puasa lalu.

Menurut Muhlis, kegiatan itu juga biasanya diulang saat hampir sepertiga malam, atau saat mendekati waktu sahur. ”Tujuannya juga untuk membangunkan warga agar tidak kehilangan waktu sahurnya,” kenang guru PNS itu.

Uswatun Hasanah, warga lainnya juga mengatakan hal serupa. Namun ibu satu anak yang biasa dipanggil Uus terebut merasa jika saat ini ada sesuatu yang hilang dalam Ramadlan akhir-akhir ini. ”Tradisi keakraban dan kekeluargaan jaman saya kanak-kanak dulu saat ini sudah tidak tampak lagi. Sekarang anak-anak suka menghabiskan waktu dengan gadget. Padahal media semacam itu bisa berakibat anak bersikap individual. Lebih dari itu tradisi setempat yang lebih mendidik seperti tong-tong dan lainnya itu bisa saja nantinya tidak akan akan dikenal lagi di masa yang akan datang,” tambahnya.

Oleh karena itu, Uus berharap ada pihak-pihak yang masih peduli dengan tradisi-tradisi lama yang sifatnya lebih mendidik, membuka ruang pergaulan yang lebih luas, dan lebih terkesan penuh kekeluargaan serta keakraban. ”Jadi belajar itu kadang dari pengalaman dan pergaulan, tidak melulu dari buku, tivi, ataupun internet,” tutupnya.

 

Sekilas Asal Mula Tong-tong

Kalau dilihat dari bentuknya, Tong-tong merupakan jenis alat musik asli dari bumi Indonesia. Tong-tong juga diperkirakan berasal sejak jaman kuna. Dari segi nama, tong-tong sepertinya memang berasal dari lidah orang Madura. Konon, hal itu diambil dari bunyi yang dikibatkan alat musik tersebut saat ditabuh. Singkatnya, secara praktis, nama tong-tong memang diambil dari bunyi yang ditimbulkan oleh alat ini.

Secara fungsi, tong-tong atau yang di wilayah Jawa orang-orang di sana menyebutnya kentongan adalah sejenis alat yang biasa digunakan sebagai penanda datangnya bahaya dalam suatu masyarakat tertentu. Biasanya tong-tong jenis ini berupa alat bunyi tunggal yang digantung di pos-pos ronda milik penduduk. Alat ini tidak dibawa ke mana-mana. Bahannya juga tidak sama dengan tong-tong yang biasa dimainkan anak-anak di bulan Ramadlan seperti yang diceritakan Gus Muhlis dan Uus di atas. Tong-tong atau kentongan penanda bahaya itu biasanya terbuat dari bahan yang lebih berat. Yaitu seperti tong-tong yang terbuat dari kayu, atau logam besi.

Sebuah cerita rakyat di Sumenep, khususnya di wilayah Kecamatan Ambunten, tong-tong di abad 19 begitu legendaris. Cerita itu mengisahkan karomah seorang tokoh ulama besar Ambunten yang sekaligus dikenal waliyullah, Kiai Demang Singaleksana alias Kiai Macan. Konon, Sang Kiai dikenal dengan kebiasaannya menabuh tong-tong saat mendapat laporan pencurian atau perampokan barang berharga dari rakyatnya.

”Begitu tong-tong ditabuh oleh Kiai Macan, tanpa sadar pencuri itu datang sekaligus dengan barang curiannya. Di masa itu lantas wilayah Ambunten aman dari segala macam pencurian dan perampokan. Pintu-pintu rumah tak perlu dikunci rapat, atau barang berharga tak perlu disembunyikan. Diletakkan di mana saja, kendati di jalanan, tak ada satu orang pun yang berani mengambil selain pemiliknya,” kata R. Imamiyah, salah satu warga Ambunten, beberap waktu lalu.

Lambat laun, fungsi tong-tong mengalami metamorfosis menjadi instrumen musik yang bisa menampilkan irama sebagaimana alat musik pada umumnya. Bahkan lebih dari itu, tong-tong mulai menjadi ikon kesenian musik tradisional di Madura. Tentu dengan kemasan yang berbeda dan inovasi dari hasil kreativitas putra-putri Madura sendiri.

”Tong-tong saat ini juga sudah menjadi salah satu tanda kebangkitan kesenian musik lokal ke kancah nasional,” kata salah satu pemerhati budaya Madura, R. Nurul Hidayat, S.Pd.

Sebagai orang Madura sendiri, Nurul merasa bangga karena keberadaan seni musik tong-tong mampu menjadi salah satu media promosi Madura. Ia berharap ke depan, budaya-budaya lain yang saat ini banyak berserakan, bahkan terkubur bisa segera diinventarisir dan dikembangkan akan terus lestari. ”Masih banyak warga kita yang peduli. Jadi hanya perlu menyatukan ide, kerjasama dan sama kerja,” pungkasnya sambil tersenyum.

 

Tong-tong dan Sahur

Seperti yang disebut di atas, tong-tong di masa 1990-an masih digunakan sebagai media yang sifatnya seperti alarm waktu sahur di bulan Ramadlan. Biasanya, yang menabuh terdiri dari rombongan anak-anak di kampung-kampung.

”Saya masih cukup ingat saat sekitar jam setengah tiga pagi, bunyi tong-tong yang dimainkan anak-anak sekitar sini, yang notabene merupakan teman-teman kecil saya,” kata Hj Zahratul Laila, pada Mata Madura beberapa waktu lalu.

Begitu juga di sekitar kawasan Kelurahan Karangduak, Desa Pandian, dan Pamolokan, kebiasan membangunkan orang-orang agar tidak kehilangan waktu sahur. Namun, suasana khas tersebut selama beberapa tahun setelahnya mulai memudar sedikit demi sedikit.

”Sejak saya kuliah, sekitar tahun 2000-an sudah mulai jarang ada kebiasaan membangunkan orang sahur dengan tong-tong,” kata Rabiatul Adawiyah, warga Desa Pamolokan.

Belakangan ini, ketika tong-tong sudah menjelma menjadi seni musik tradisional dalam kancah nasional, beberapa kalangan kemudian mulai membangkitkan lagi tradisi membangunkan orang sahur dengan media tong-tong. Namun dalam pantauan Mata Madura, masih belum merata alias belum massif. Kalangan yang menghidupkan kembali tradisi ini memang beragam, dan kebanyakan dari kalangan pemuda, atau komunitas tertentu.

”Eman kalau tradisi ini tidak dihidupkan lagi. Rasanya seperti ada sensasi dari masa lalu yang sukar dilukiskan. Namun lebih dari itu, ini adalah bagian dari budaya dan tradisi yang harus dijaga dan dilestarikan,” tutup Rabiatul.

R B M Farhan Muzammily