Religi

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (6)

×

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (6)

Sebarkan artikel ini
Kitab Al Hikam

Oleh: Ahmad Muhammad*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

matamaduranews.com-Ibn Atha’illah  ingin menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasannya, manusia seharusnya menginsyafi bahwa dirinya amatlah rapuh dan tak berarti apa-apa. Karena kelemahan diri tersebut, manusia hendaknya tidak memaksakan diri untuk ikut campur mengatur segala urusan duniawi. Apalagi sampai merisaukan nasibnya di dunia.

Ibn Atha’illah menganjurkan agar hal tersebut diserahkan pada Dzat yang mempunyai kekuasaan mutlak. Seperti tercermin dalam salah satu bait di Al-Hikam “Arih nafsak min al-tadbir. Fa ma qama biha ghairuka ‘anka la taqum bih linafsik”. (Istirahatkan diri dan pikiranmu dari kerisauan mengatur urusan duniamu. Sebab apa yang telah diatur oleh selainmu (Allah) tidak usah kau risaukan).

Penolakan terhadap konsep ini mengindikasikan masih terdapatnya kesombongan dalam diri manusia, sebab mereka mendapuk diri dapat mencapai tujuan dengan kemampuan sendiri. Terhadap orang semacam ini, menurut Ibn Athaillah dinyatakan sebagai orang-orang yang jauh dari rahmat Allah.

Sementara kesadaran akan ketidakberdayaan manusia di hadapan kemutlakan kuasa Allah ini yang kemudian melahirkan sikap pasrah terhadap ketentuan Allah. Kepasrahan total, dipahami Ibn Atha’illah adalah jalan untuk menghadirkan karunia Allah ke dalam diri. Diri yang telah berserah sepenuhnya berarti telah siap untuk menerima anugerah Allah yang berlimpah.

Namun, pasrah di sini tidak lantas diartikan tidak berbuat apapun sembari menunggu nasib baik berpihak. Sikap pasrah diartikan dengan sebaik mungkin berusaha serta menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba kepada Allah. Adapun perkara hasil adalah Allah yang menentukan.

Ibn Atha’illah mengingatkan: “Jangan menuntut Tuhan karena terlambatnya permintaanmu (taakhur matlabik) kepada-Nya, tetapi hendaknya kau koreksi dirimu supaya tidak terlambat melaksanakan kewajibanmu (taakhur adabik) kepada Tuhanmu”.

Hal ini berarti manusia tidak memiliki kebebasan penuh dalam menentukan nasib sesuai keinginannya sendiri. Allah-lah yang menentukan semua hal yang terjadi di muka bumi, termasuk nasib manusia. Dari ajaran ini, Ibn Atha’illah sendiri tidak menyuruh pengikutnya untuk keluar dari pekerjaan mereka agar bisa mendalami tarekat. Sebaliknya, ia menganjurkan agar mereka tetap di tempat mereka dan bekerja sebaik-baiknya sembari menambah ketaatan kapada Allah Swt.

Konsepsi tentang proses penyadaran akan kelemahan diri manusia merupakan pondasi utama dari bangunan pemikiran Ibn Atha’illah tentang tasawuf. Demikian pula konsep penyerahan diri kepada Allah, dipahami sebagai pengakuan akan absolutisme kekuasaan Allah. Keduanya menjadi dasar bagi seorang salik ketika mujahadah, yaitu latihan untuk pembersihan diri, penghilangan ego, dan berkonsentrasi menambah ketaatannya kepada Tuhan.

Proses ini kemudian diikuti dengan kepasrahan dan menyerahkan nasib diri kepada Tuhan. Adalah Allah yang Maha Kuasa, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya yang berhak menentukan seseorang dapat menggapai makrifatullah.

*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya

bersambung……