Budaya

Situs Aji Gunung Sampang, dan Beragam Cerita Mistis Yang Mewarnai

×

Situs Aji Gunung Sampang, dan Beragam Cerita Mistis Yang Mewarnai

Sebarkan artikel ini
Kolase Situs Aji Gunung, di Sampang, Madura, Jawa Timur. (Foto/Mata Madura)

matamaduranews.com-SAMPANG-Di Kota Bahari, dan Pulau Garam pada umumnya, nama Kiai Aji Gunung senantiasa harum. Beliau dikenal sebagai guru banyak ‘ulama sekaligus wali besar di Madura. Di antara santrinya yang terkenal adalah Kiai Agung Rabah Pamekasan (Kiai Abdurrahman), Kiai Abdul ‘Allam Prajjan Sampang, dan Kiai Abdul Jabbar alias Buju’ Napo Omben Sampang.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Tidak banyak riwayat yang menceritakan kenapa Kiai Aji Gunung menetap di Gunung Sekar Sampang, salah satu riwayat menyebut hal itu atas perintah ayahnya. Dan  julukan Kiai Aji Gunung didasarkan kepada kemampuan dan kealiman beliau dalam menguasai ilmu Agama.

Sebutan Aji biasa dipakai bagi kalangan tokoh agama masa lampau di wilayah Madura Barat. Aji atau lengkapnya Kiai Aji merupakan kependekan dari kiai atau guru mengaji. Sedangkan tambahan Gunung didasarkan pada nama tempat di mana Raden Qabul menetap, yaitu di Gunung Sekar  Kabupaten Sampang.

Kiai Aji Gunung wafat dan dimakamkan di Kelurahan Gunung Sekar Sampang. Pemerintah Kabupaten Sampang menjadikan Makam beliau sebagai Situs Resmi dan Cagar Budaya yang dilindungi, serta dijadikan Destinasi Wisata Religi. Setiap tahun selalu diadakan haul beliau dalam rentetan peringatan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Hingga kini makam Kiai Aji Gunung banyak didatangi peziarah dari berbagai daerah.

Kisah Santri Utama dan Cincin dalam Jamban

Di antara banyak santri Aji Gunung, Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Rabah merupakan santri yang lebih banyak mengabdi dan menjadi santre temmen (Khodam) keluarga Pesantren. Beliau sangat taat dan betul-betul mengabdikan diri kepada gurunya. Waktunya lebih banyak melayani apa yang diperintahkan gurunya ketimbang mengaji. Beliau lebih banyak berpuasa setiap harinya, karena tidak ada yang mengirim bekal untuk beliau. Tidak ada yang tahu secara pasti berapa lama beliau berguru kepada Kiai Aji Gunung.

Dikutip dari buku “Kiai Agung Rabah, Rabah dan Sejarahnya”, susunan Abdul Hamid Ahmad yang dieditori RBM Farhan Muzammily, diceritakan pada suatu hari, cincin milik Nyai Aji Gunung jatuh ke dalam jamban (WC). Kiai Aji Gunung memerintahkan pada semua santrinya untuk mencari dan mengambil cincin itu dari dalam jamban, semua santri tidak ada yang menyanggupinya. Hanya Kiai Abdurrahman yang menyatakan kesanggupannya untuk mencari cincin tersebut, atas dasar taat, takdim dan hormat pada guru. Maka ditemukanlah cincin itu dan diserahkan pada Kiai Aji Gunung.

Diceritakan pula, pada suatu hari Kiai Aji Gunung bingung dan heran karena telah beberapa hari tidak melihat Kiai Abdurrahman. Maka beliau bertanya kepada salah seorang santrinya dan menyuruh mencari keberadaan Kiai Abdurrahman.

Santri tersebut mencari dan akhirnya menemukan Kiai Abdurrahman berada dalam kamar pondoknya. Mengunci diri dan berdiam sendirian membuat Bubu (alat menangkap ikan). Kemudian santri tersebut melaporkan hal tersebut kepada Kiai Aji Gunung. Kemudian Kiai Aji Gunung memerintahkan untuk memanggil Kiai Abdurrahman.

Karena ketaatannya pada sang guru, Kiai Abdurrahman pun menghadap ke Kiai Aji Gunung walau pekerjaannya membuat bubu tidak selesai. Ketika sang guru bertanya apa yang dilakukan olehnya, Kiai Abdurrahman dengan jujur mengatakan bahwa dia membuat Bubu untuk menangkap ikan.

Kiai Aji Gunung lantas berkata kepada Kiai Abdurrahman, agar hasil tangkapan ikan nantinya diberikan pada sang guru. Kiai Abdurrahman menyanggupi permintaan gurunya tersebut. Kiai Abdurrahman lantas bersegera menyelesaikan pekerjaannya membuat bubu.

Keesokan harinya, dengan membawa bubu, Kiai Abdurrahman naik ke atas pohon besar yang ada di lokasi pondok. Semua santri heran karena Kiai Abdurrahman mau menangkap ikan di atas pohon dengan meletakkan Bubu tersebut di atas pohon dengan posisi tengadah ke atas langit.

Tak lama kemudian beliau naik ke atas pohon untuk mengambil bubu itu. Dengan izin Allah, bubu itu penuh dengan ikan yang masih hidup. Para santri yang melihat kelakuan Kiai Abdurrahman dan kejadian itu terheran-heran.  Dan ikan-ikan itu beliau bawa untuk dihaturkan pada Kiai Aji Gunung. Ketika ditanya menangkap di mana ikan-ikan itu, Kiai Abdurrahman mengatakan kalau menangkap di atas pohon dengan bubu yang beliau buat.

Melihat kelebihan yang dimiliki Kiai Abdurrahman, kemudian Kiai Aji Gunung memanggil santri lainnya, yaitu Kiai Abdurrahim. Kiai Aji Gunung kemudian memberikan beberapa butir biji jagung dan memerintahkan kepada mereka berdua untuk ditanam waktu itu juga.

Keduanya pun mematuhi perintah gurunya. Keesokan harinya mereka berdua dipanggil oleh Kiai Aji Gunung untuk melihat jagung yang mereka tanam. Dengan izin Allah, jagung milik Kiai Abdurrahman berbuah dan tua menguning, sedangkan jagung milik Kiai Abdurrahim hanya berbunga, masih mau berbuah.

Melihat hal itu, Kiai Aji Gunung kemudian memahami adanya kemampuan lebih pada Kiai Abdurrahman walaupun tetap diperlakukan sebagai santri. Kiai Aji Gunung lalu berkata pada Kiai Abdurrahman, bahwa sudah cukup menjadi santri dan diperintahkan untuk bertapa di sebuah tempat, dengan mengikuti arah lidi yg dilempar Kiai Aji Gunung ke arah timur.

Di mana lidi itu menancap, di tanah itulah dia diminta bertapa dan menetap.  Sedangkan Kiai Abdurrahim disuruh pulang ke tempat asalnya di Toket yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Proppo Pamekasan.

Kisah Kolla Rabah dan Ikan Emas

Keberadaan Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Rabah di Pesantren Kiai Aji Gunung meninggalkan jejak yang sampai saat ini masih ada. Di antaranya bekas tempat di mana Kiai Abdurrahman mengambil wudlu’ dan mandi, yaitu Kolla Rabah. Sebuah cekungan tanah yang berisi air yang mirip seperti kolam, masyarakat Madura biasa menyebutnya Kolla.

Tidak ada yang tahu sejak kapan penamaan Kolla Rabah ini disematkan, tapi nama itu konon diambil dari nama tempat beliau menetap, yaitu di Rabah, yang masuk wilayah Kecamatan Pademawu Pamekasan. Dan sejak dahulu masyarakat di sekitar memang menyebutnya sebagai Kolla Rabah.  Di dalam Kolla Rabah ini sedari dulu hidup banyak ikan, dan sering ditangkap oleh masyarakat sekitar.

Bahkan ada kepercayaan, di kolla Rabah itu terdapat ikan emas, yang sesekali menampakkan wujudnya di kolla Rabah. Dan apabila para pemancing mendapat ikan emas tersebut harus dilepas kembali, karena jika diambil dan di makan akan kena kualat (tola). Kepercayaan itu sangat melekat hingga sampai saat ini.

Pemerintah Kabupaten Sampang kemudian mengambil inisiatif mengeruk dan memperlebar Kolla Rabah. Kini, kolla itu menjadi tempat wisata memancing, dan pemkab mengganti nama Kolla Rabah menjadi Kolam Pemancingan Aji Gunung.

Bahkan menurut Kiai Abdul Raqib, sesepuh desa/kelurahan setempat, yang turun temurun menjadi pemangku penjaga Makam Kiai Aji Gunung, mengatakan bahwa kampung yang dihuni Masyarakat di seputar Kolla Rabah dan Makam Kiai Aji Gunung  disebut Kampung Rabah hingga sekarang. Kampung Rabah ini masuk Kelurahan Gunung Sekar Sampang.

Sedangkan bekas jamban (septi tank) milik keluarga Pesantren Aji Gunung, tempat di mana Kiai Abdurrahman mengambil cincin Nyai Aji Gunung, sekarang dijadikan sumur memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar. Banyak cerita mistis tentang khasiat air sumur bekas Jamban (Patenja’an, dalam bahasa Madura) Kiai dan Nyai Aji Gunung ini. Dan warna air seringkali berubah-ubah sesuai dengan macam khasiat yang diyakini.

Tempat di mana jamban itu berada, oleh masyarakat pun dijadikan nama sebuah kampung, yaitu Kampung Teja, yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Rabah. Nama Teja di ambil dari tempat jamban yang kalau dibahasa Madurakan halus menjadi  Patenja’an.

RM Farhan