Budaya

BERBAGI KEARIFAN LOKAL LEWAT FILOSOFI KUNA MADURA

×

BERBAGI KEARIFAN LOKAL LEWAT FILOSOFI KUNA MADURA

Sebarkan artikel ini
Seni Topeng yang mulai pudar ditengah kehidupan masyarakat Madura.
Madura memiliki bermacam ungkapan atau “parebasan” (peribahasa) yang mengandung makna filosofi tinggi. Namun seiring dengan perubahan jaman, hanya sedikit orang Madura yang tahu banyak mengenai berbagai budaya yang sudah hampir menjadi “orang asing” bagi generasinya sendiri itu.

matamaduranews.comMADURA-Budaya Madura hampir menjadi puing-puing. Sebagian sudah mulai tercecer dan berserakan akibat digilas roda jaman. Masing-masing jaman, mulai dari jaman feodal, neofeodalisme, hingga saat ini; menyumbang efek tercerai-berainya budaya Madura, sekaligus memberikan peluang masuknya pengaruh budaya asing.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

“Ya, begitulah kondisinya saat ini. Jangankan budayanya yang beragam, bahasanya saja sekarang sudah bercampur baur dengan bahasa lain. Jadi sudah tidak original,” kata salah satu pemerhati budaya di Sumenep H. Ahmad Baisuni, kepada Mata Madura, beberapa waktu lalu.

Menurut mantan Kasi Kebudayaan Kantor Dikbud (Pendidikan dan Kebudayaan) Kabupaten Sumenep di tahun 1990-an ini, kondisi tersebut semakin diperparah dengan mulai banyaknya para praktisi bahasa dan budaya Madura yang telah dipanggil ke hadhiratNya. Kalaupun masih ada, itupun sudah banyak udzur. Kurangnya referensi tertulis mengenai kekayaan berbagai khazanah kuna dari tradisi lisan ini juga ikut ambil bagian secara dominan.

“Apalagi saat ini banyak generasi saat ini yang tidak bisa menyatukan persepsi. Seperti masalah ejaan misalnya. Sampai saat ini masih belum bisa bertemu. Ini efeknya kompleks. Tidak bertemunya pemikiran masing-masing praktisi bahasa Madura saat ini menimbulkan konsekuensi mandeknya perkembangan bahasa ini,” tambahnya.

Meski begitu, menurut Baisuni hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dengan “asingnya” budaya dan bahasa Madura di kalangan penuturnya akan membuat hilangnya identitas atau jati diri warga Madura.

“Tetap harus diperkenalkan sejak dini. Mulai dari ungkapan-ungkapan Madura yang penuh dengan filosofi. Banyak makna-makna yang bisa dipetik di dalamnya, yang berguna sebagai bahan pelajaran dalam kehidupan,” imbuhnya.

Padana Dangdang
Perubahan jaman merupakan suatu hal yang mesti dan bersifat alamiah. Segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu berubah, karena hidup ibarat roda yang bergerak dinamis. Sehingga kesimpulan yang bisa ditarik ialah tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Namun, tradisi dan budaya merupakan dua hal yang beda. Tradisi dan budaya justru tidak boleh tergerus dan luntur akibat perubahan. Mereka harus dilestarikan. Mengapa?

Kondisi budaya Madura yang sudah tidak lagi original menurut Baisuni di atas, selaras dengan yang diungkapkan salah satu pemerhati pendidikan di Sumenep, Rabiatul Adawiyah, S.Pd. Menurut salah satu guru di SMPN 1 Saronggi ini, budaya Madura sudah bercampur baur dengan budaya-budaya luar. Sehingga banyak generasi sekarang sudah mulai bingung, bagaimana sebenarnya yang merupakan budaya asli Madura.

“Kalau kata peribahasa Maduranya ‘padana dangdang’ atau seperti burung gagak,” ujar ibu dari tiga anak ini, sambil tersenyum.

Bagaimana yang dimaksud “padana dangdang” itu? Rabiatul menjelaskan, Gagak atau mano’ dangdang kata orang Sumenep menurut legendanya dulu merupakan burung yang memiliki suara paling bagus dan cara berjalan yang paling baik. Namun dalam kesehariannya, dangdang sering meniru suara dan cara berjalan binatang-binatang yang lain. Sehingga pada akhirnya, dangdang pun jadi lupa cara berkicau yang baik dan cara berjalan yang baik, yang dimilikinya selama itu.

“Suara dangdang lantas jadi serak dan begitu menakutkan, serta berjalannyapun berubah menjadi meloncat-loncat ,” imbuhnya.

Guru Matematika yang juga diberi tugas tambahan pengampu pelajaran Bahasa Madura ini berharap peribahasa-peribahasa ini terus lestari. Seperti peribahasa yang terkenal selama ini, “mon bagus pabagas, mon soghi pasoga’, mon kerras akerres” menunjukkan karakter orang Madura yang tegas.

“Indikator lainnya ialah dalam bahasanya. Bahasa Madura itu selalu dilafalkan tegas. Seperti kata Haji itu mesti diucapkan Hajji. Juga kata Mekah, diucapkan Mekka,” pungkasnya.

“Padana Embi’ Kacang ban Embi’ Dhuba”
Melestarikan budaya, sejatinya untuk menjaga identitas suatu bangsa. Tentu tidak lucu saat pengetahuan tentang sejarah Sumenep ditulis dan dikuasai oleh orang di luar Sumenep. Dan yang paling tidak lucu, saat orang Sumenep mempelajari sejarah ibunya berdasar literatur yang dibuat orang asing. Masyarakat yang seperti ini bisa dikatakan seperti masyarakat dangdang.

“Ya, tentunya jangan sampai yang dimaksud parebasan itu benar-benar terjadi pada masyarakat Madura secara luas,” kata H. Baisuni.

Baisuni juga menilai saat ini juga banyak timbul fenomena terbiasa mengkritik orang semaunya. Merasa paling pintar, dan gampang menyalahkan orang lain. Orang yang seperti ini disebut Baisuni sangat cocok dengan peribahasa Madura yang berbunyi padana embi’ kacang, atau seperti kambing yang kerdil.

“Ada lagi, peribahasa ‘padana embi’ kacang’, atau seperti kambing yang kecil tapi sok merasa paling pintar. Ini sebuah pelajaran bagi orang yang selalu mengkritik orang lain, tapi ketika disuruh memimpin malah tidak bisa apa-apa,” kata warga Jalan Widuri Kelurahan Bangselok ini.

Fenomena embi’ kacang ini disebutnya sudah mulai merata, jadi tak hanya ada di Sumenep. Bahkan tak hanya jaman ini, jaman dulu juga ada. “Ya, peribahasanya ‘kan bukan produk sekarang, tapi produk kuna. Berarti memang sudah dari dulu ada,” tambahnya sambil terkekeh.

Menurut Baisuni, orang-orang Sumenep kuna dulu bisa dikatakan golongan pemikir yang besar. Hal itu terbukti dengan adanya ungkapan-ungkapan yang bermakna dalam tersebut.

“Nah, leluhur kita dulu juga bilang bahwa sifat yang baik diibaratkan padana embi’ dhuba, sebagai lawan dari embi’ kacang. Apa itu embi’ dhuba? Embi’ dhuba atau kambing yang berbadan besar itu merupakan binatang yang tidak banyak bicara, namun selalu bisa ditempatkan di mana saja. Disuruh mimpin bisa, menjadi anak buah juga loyal, jadi pembawaannya selalu disenangi orang banyak,” tutupnya.

R B M Farhan Muzammily