Oleh: Nurfitriana Busyro*
Sejarah mencatat bahwa santri mempunyai peran yang sangat penting dalam merebut kembali kedaulatan Negara Republik Indonesia dari tangan penjajah. Salah satu bentuk kontribusi nyata kaum santri adalah ketika peristiwa 10 November yang terjadi di Surabaya yang banyak melibatkan kaum â€sarungan†dalam pertempuran melawan tentara Inggris yang di pimpin langsung oleh Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby yang dalam perjalanannya, Jenderal Mallaby justru tewas secara mengenaskan setelah salah satu santri Tebuireng yang bernama Harun berhasil meledakkan bom di mobil yang dinaikinya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratussyech KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 adalah bukti nyata kontribusi NU, Pesantren, Kiai, dan santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maka ketika pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, itu artinya Negara mengakui peran dan jasa santri dalam perjuangan bangsa ini. Sejak dulu hingga sekarang, santri banyak memberikan warna tersendiri bagi sejarah perjalanan Indonesia. Pesantren sebagai pendidikan khas Nusantara, adalah wadah bagi santri-santrinya untuk membakar ghiroh perjuangan dalam menuntut ilmu maupun mengamalkan ilmunya.
Namun dalam perjalanannya, sering kali kita melupakan peran dan jasa perempuan-perempuan, khususnya yang berlatar belakang santri putri atau santriwati. Eksistensi santri perempuan terkesan lebih inferior dibandingkan santri laki-laki. Akibatnya ruang gerak perempuan pesantren agak terbatasi oleh hukum tradisi pesantren itu sendiri. Padahal faktanya, santri-santri perempuan tidak kalah penting sumbangsihnya dalam perjuangan memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam pesan Resolusi Jihad Hadratussyech KH. Hasyim As’ari menyebutkan bahwa “Bagi setiap individu†itu artinya tidak hanya kaum laki-laki tetapi juga berlaku bagi kaum perempuan. Dalam tulisan ini, setidaknya ada tiga tokoh perempuan berlatar belakang santri yang memiliki peranan penting dalam sejarang perjuangan bangsa ini khususnya dalam memperjuangkan kepentingan perempuan Indonesia.
Pertama, Nyai Siti Walidah Dahlan. Dalam kiprah hidupnya, perjuangan Nyai Siti Walidah Dahlan adalah melawan kebodohan dan diskriminasi. Merujuk pada surat An-Nahl ayat 92, mengingatkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki tugas yang sama dalam menyebarkan agama. Nyai Walidah Dahlan dengan semangat mengajar kaum perempuan untuk membaca Alquran, terutama sekali mengamalkan pesan dalam Surat Al-Ma’un, yang mengajarkan kepekaan muridnya atas kemiskinan di kalangan umat Islam. Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam organisasi Muhammadiyah dimulai saat ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada 1914. Kegiatan yang dirintis dalam pengajian itu adalah pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh pasangan suami-istri tersebut. Nyai Ahmad Dahlan berpandangan bahwa perempuan juga harus diberikan perhatian. Dia selalu bercita-cita perempuan muslim tak hanya tahu tugas berumah tangga, tapi juga tahu tugas mereka dalam kewajiban bernegara dan bermasyarakat.
Kedua, Raden Adjeng Kartini adalah seseorang perempuan berasal dari kelas bangsawan. Raden Kartini putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. RA.Kartini belajar agama kepada seorang ulama besar bernama KH. Sholeh Darat di Semarang. Selain menjadi guru spiritualitas RA. Kartini, Kiai Saleh Darat juga tercatat sebagai guru dari ulama-ulama besar Nusantara seperti KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Kiai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Salah satu jasa besar KH. Shaleh Darat yang mendorong RA. Kartini untuk terus berjuang menempatkan perempuan pada posisi di depan. Hal itu pula yang memotivasi RA. Kartini mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan. Buku berjudul “Habis Gelap TERBITLAH terang†karya RA Kartini terinspirasi dari tafsir Al fatihah yang diajarkan oleh Kiai Saleh Darat.
Ketiga, Nyai Hajah R Djuaesih. Sedikit yang mengenal sosok Nyai Duaesih ini. Tapi kiprah dan perjuangannya menjadi latar belakang lahirnya organisasi perempuan terbesar di Indonesia yaitu Muslimat NU. Perempuan kelahiran Juni 1901 ini memiliki keberanian yang besar dan rasa percaya diri yang tinggi. Pada Muktamar NU ke-13 di Banten menyuarakan hak-hak kaum perempuan. Nyai Djuaesih memandang bahwa dalam Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Untuk mendirikan organisasi Muslimat NU sering sekali mendapatkan penolakan, bahkan harus terjadi perdebatan yang alot diantara para kiai NU. Hal ini tidak lepas dari karakter NU sendiri yang dikenal sebagai organisasi tradisional yang sangat patriarkis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi saat itu masih di dominasi pandangan yang menampik kehadiran perempuan di pentas organisasi karena alasan syar’i. Nyai Djuaesih inilah yang berkontribusi besar terhadap gerakan perempuan di lingkungan NU, seorang pendakwah yang lugas dan penggerak emansipasi yang otodidak yang kemudian menginspirasi lahirnya Muslimat NU.
Untuk itu dalam momentum Hari Santri Nasional ini, harus menjadi momentum yang tepat bagi perempuan-perempuan yang berlatar belakang santri untuk terus bergerak mengubah stigma tentang Perempuan. Ini momen yang tepat untuk menyatukan pemahaman bahwa perempuan memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Perempuan harus menuangkan wawasan dan pengetahuannya untuk dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
* Ketua TP PKK Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.