Opini

Indonesia Berduka, Namun Aku Tetap Berjuang

×

Indonesia Berduka, Namun Aku Tetap Berjuang

Sebarkan artikel ini
Doa dan Tahlil untuk Randi dan Yusuf
Bella Dwi Indah Sari ketika membaca puisi ‘Mayat Politik Ditutupi Koran Pagi’ karya Afrizal Malna dan Puisi berjudul ‘Peringatan’ karya Wiji Thukul bersama Aldi Kurnia Sandi pada acara Doa dan Tahlil yang digelar PC PMII Situbondo untuk alm. Randi dan Yusuf, Minggu malam (29/9/2019). (Foto for Mata Madura)

Oleh: Bella Dwi Indah Sari*

SEJARAH mencatat bahwa gerakan mahasiswa dari dulu hingga sekarang memiliki peran yang begitu penting dalam kemajuan bangsa Indonesia. Sebagai mahasiswa yang memiliki sifat dan watak yang kritis, ketajaman berpikir, indepedensi serta memegang kultur idealis dalam beranalisis dan memiliki energi yang besar, maka kelompok mahasiswa selalu berkaitan dengan dinamika sosial yang terjadi di Indonesia.

Sebagai pemuda yang memiliki kesempatan lebih dibandingkan pemuda yang lain sehingga bergelar mahasiswa, kelompok mahasiswa menjadi penggerak utama dalam melakukan berbagai gerakan perubahan di Tanah Air Indonesia dari masa ke masa. Kegiatan mahasiswa yang tidak hanya sekadar kuliah pulang atau hanya belajar di bangku perkuliahan untuk merambah dunia yang lebih luas, ini yang disebut sebagai pergerakan mahasiswa.

Pergerakan mahasiswa dari masa ke masa sangat dinamis. Seperti yang kita ketahui bersama pergerakan mahasiswa identik dengan aksi menyikapi atau penolakan terhadap suatu rezim atau suatu kebijakan publik yang dibuat pemerintah, respon terhadap isu-isu lokal maupun Nasional. Berbagai cara dilakukan oleh mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah seperti halnya diskusi publik, penyebaran pamflet, audiensi, bahkan aksi turun jalan atau demonstrasi. Itu semua membuktikan bahwa mahasiswa yang merupakan bagian dari masyarakat dapat menepis anggapan, bahwa mahasiswa hanya sebatas civitas akademika yang jauh dari berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

Gerakan mahasiswa dapat dibagi dalam beberapa fase. Yang pertama fase Pergerakan Nasional tahun 1990 sampai 1945. Pada fase ini terdapat peristiwa heroik yang sangat bersejarah yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia dapat memproklamirkan kemerdekaannya. Fase selanjutnya pada tahun 1945-1965 yang kita kenal dengan Orde Lama. Yang ketiga yaitu Orde Baru dari tahun 1965 sampai 1998. Pada tahun 1998, peristiwa yang masih menjadi sejarah luar biasa ketika mahasiswa mampu meruntuhkan rezim Soeharto sehingga lahirlah fase Reformasi yakni tahun 1998 sampai sekarang.

Tahun ini, lagi-lagi pergerakan mahasiswa kembali nampak dibuktikan dengan berbagai aksi aliansi mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia. Tagar #GejayanMemanggil menjadi seruan aksi yang meramaikan jagat maya dan populer di Twitter Indonesia. #GejayanMemanggil merupakan seruan unjuk rasa damai yang viral dalam berbagai pamflet seruan aksi atas rentetan masalah yang dinilai banyak pihak telah mencederai demokrasi di Indonesia.

Gerakan tersebut dalam berbagai pamflet sengaja mengambil nama jalan Gejayan, karena jalan tersebut pernah menjadi saksi bisu perlawanan mahasiswa Yogyakarta terhadap rezim Orde Baru, 1998 silam. Pada aksi Gejayan 8 Mei 1998 yang menuntut Soeharto mundur memakan korban bernama Moses Gatotkaca. Nama Moses diabadikan sebagai nama jalan. Selain itu, peristiwa Gejayan juga mengakibatkan ratusan terluka. Tuntutan pada saat itu menginginkan Soeharto lengser, soal perekonomian yang mengalami krisis moneter serta protes kenaikan harga dan menuntut adanya reformasi.

Peristiwa Gejayan dikenang sebagai peristiwa gerakan semangat terhadap perlawanan Orde Baru. Sehingga patut kiranya, mahasiswa merefleksi gerakan perlawanan tersebut untuk peristiwa akhir-akhir ini mulai dari pengesahan Revisi Undang-undang KPK, hingga berbagai pasal bermasalah di RKUHP.

Sama halnya dengan peristiwa Gejayan silam, aksi aliansi mahasiswa terkait berbagai RUU yang menuai protes dari berbagai pihak  juga mengakibatkan 2 (dua) mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari tewas saat mengikuti aksi demonstrasi. Mahasiswa tersebut bernama Himawan Randi, tewas karena tembakan peluru yang mengenai ketiak kiri bagian bawah. Randi meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Selain Randi, Muhammad Yusuf Qardawi juga tewas karena mengalami benturan benda tumpul di bagian kepala. Yusuf sempat menjalani operasi, tetapi nyawanya tidak dapat tertolong.

Meninggalnya Randi dan Yusuf menjadi duka tersendiri bagi seluruh mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) turut berduka cita atas meninggalnya kader aktifnya di salah satu rayon Perikanan Komisariat UHO Cabang PMII Kota Kendari yang bernama Randi. Hal ini dibuktikan dengan surat intruksi Pengurus Besar PMII untuk melakukan aksi solidaritas atas kejadian tersebut. Menanggapi hal tersebut PC PMII Situbondo menggelar Doa dan Tahlil bersama atas dasar rasa kemanusiaan sebagai dukungan moral atas 2 (dua) mahasiswa yang tewas dalam aksi di Kendari.

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.”

Penggalan bait Sumpah Mahasiswa menggema pada saat acara Doa dan Tahlil yang diadakan oleh PC PMII Situbondo bersama Polri dan TNI padam Minggu tanggal 28 September 2019 bertempat di Alun-Alun Situbondo. Hadir dalam acara tersebut Kapolres Situbondo, Awan Hariono, SH, SIK, MH. bersama jajaran, juga Dandim 0823 Situbondo Letkol Inf Akhmad Juni Toa SE MI Pol.

Bait di atas disuarakan dengan kompak oleh seluruh pengurus bersama kader PMII Se-Situbondo sebagai bentuk kepedulian dan desakan kepada pihak yang berwenang agar segera mengusut tuntas pelaku penembakan Randi. Selain sumpah mahasiswa, dan lantunan lagu-lagu pergerakan, sebelum doa dan tahlil dimulai, pembacaan puisi ‘Mayat Politik Ditutupi Koran Pagi’ karya Afrizal Malna dan Puisi berjudul ‘Peringatan’ karya Wiji Thukul oleh Aldi Kurnia Sandi dan Bella Dwi Indah Sari yang diiringi instrumen ‘Gugur Bunga’ membuat suasa hening penuh makna. Kemudian doa dan tahlil berjalan khidmat dengan ratusan lilin yang menyala.

Keringat menjadi saksi bahwa perjuangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Darah selalu menjadi bukti bahwa dalam berjuang tidak main-main. Tangis menjadi gambaran bahwa setiap perjuangan penuh pengorbanan dan luka. Indonesia memang berduka, namun aku tidak tinggal diam. Kami akan meneruskan perjuanganmu, berjuang dan terus mengawal atas apa yang terjadi.

* Bella Dwi Indah Sari, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.

KPU Bangkalan