Opini

Belajar dari Nabi Ayub

×

Belajar dari Nabi Ayub

Sebarkan artikel ini
Belajar dari Nabi Ayub
Ilustrasi Belajar dari Nabi Ayub. (By Design A. Warits/Mata Madura)

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego*

Di tengah merebaknya Covid-19, umat Islam di seantero dunia masih tetap melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Meski Coronavirus ini belum berakhir, umat Islam tetap melaksanakan perintah Allah SWT sebagai bulan yang mulia dan agung. Umat Islam percaya bahwa apapun situasi dan kondisinya puasa dan shalat tarawih tetap dilaksanakan, baik itu di rumah atau di masjid.

Semangat menjemput bulan suci Ramadan ini telah terpatri dalam jiwa umat Islam sejak dahulu hingga saat ini. Karena itu, terlihat jelas pada aktivitas umat Islam selama sebelas bulan mereka bekerja mencari kebutuhan hidup untuk mempersiapkan diri menjemput bulan suci Ramadan. Di bulan Ramadan ini mereka rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Ini adalah potret keimanan yang terejawantahkan dalam bentuk tindakan nyata.

Namun, tampak harapan dan kenyataan tidak berbanding lurus. Bagaimana tidak? Puasa yang dirindukan oleh umat Islam di Indonesia berbeda dengan puasa di tahun lalu. Pemerintah mengimbau agar pelaksanaan ibadah di bulan puasa tahun ini seperti shalat Jumat dan tarawih harus dipusatkan di rumah masing-masing bersama keluarga inti. Hal ini dilakukan pemerintah untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. Ketika imbauan ini dikeluarkan, masyarakat tidak sedikit yang menolak dan ada juga yang mengamininya berdasarkan dalil-dalil yang mereka sampaikan.

Berpijak dari hal tersebut, jika kita ditanya shalat di rumah atau shalat di masjid? Pertanyaan ini kadang membuat kita dilema ketika menjawabnya. Sebab, ada dua pilihan yang selalu berbenturan. Shalat di rumah seperti peribahasa “makan buah simalakama” dua pilihan yang sangat sulit untuk dipilh. Sontak, polemik pun terjadi di kalangan tokoh dan masyarakat. Perdebatannya pada seputar imbauan pemerintah tentang Physical Distancing dengan cara shalat tarawih dan Jumat di rumah.

Lantas apa sikap kita sebagai masyarakat dalam menanggapi polemik di atas? Pada kesempatan ini penulis ingin menarasikan sedikit kisah inspirasi yang pernah terjadi pada zaman dahulu tepatnya di masa Nabi Ayub AS Sejarah telah mencatat bahwa Nabi Ayub AS adalah seorang nabi dan rasul ke-12 yang pernah diutus oleh Allah SWT di muka bumi. Nabi Ayub AS adalah nabi yang kaya dan dermawan. Dikatakan kaya karena memiliki harta yang banyak. Dikisahkan bahwa Nabi Ayub AS, memiliki tanah yang luas, budak, hewan ternak di al-Butsaniyah, Hauran.

Nabi Ayub AS juga dikenal dengan nabi sangat sabar, karena ia pernah terpapar  penyakit kulit yang sangat mematikan selama delapan belas tahun. Hingga, keluarga dekat dan kerabatnya pun tidak sudi menjenguknya ketika ia sakit. Dan yang paling memilukan adalah orang-orang di sekitarnya mengusirnya dari kawasan permukiman warga.

Nabi Ayub pun meninggalkan harta, keluarga dan kaumnya, kemudian pergi mengasingkan diri dan ditemani istrinya. Ada riwayat yang menceritakan karena sakitnya yang semakin parah, seluruh tubuhnya telah dimakan belatung dan yang tersisa hanya lisan dan hatinya. Hal ini sesuai dengan permohonan Nabi Ayub agar Allah sisakan hati dan lisannya untuk tetap berdoa dan beribadah kepada-Nya.

Di tengah pengasingan dan kesendiriannya Nabi Ayub berdoa kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kami kabulkan (doa)-nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan sebagai suatu rahmat bagi Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (QS. al-Anbiya’: 83-84).

Setelah Allah mengabulkan doanya, akibat penyakit yang ditularkan Iblis kepada Nabi Ayub AS, akhirnya ia pun sembuh dari penyakitnya. Dan ia kembali menjadi orang kaya lalu berkumpul dengan keluarganya dan umat yang dahulu pernah meninggalkannya.

Berangkat dari rekam jejak perjalanan Nabi Ayub tersebut, memberikan spirit dan motivasi kepada kita umat Islam saat ini yang sedang menghadapi ancaman Covid-19. Berikut ini penulis jelaskan beberapa ibrah atau hikmah di balik kesabaran Nabi Ayub AS.

Pertama, beratnya ujian Allah terhadap Nabi Ayub AS. Ujian yang diberikan Allah kepada Nabi Ayub sangat berat dan tidak main-main. Hal demikian dijalani selama delapan belas tahun berada di tempat pengasingannya di luar permukiman warga.

Kedua, kesabaran Nabi Ayub dibalas dengan kenikmatan yang besar. Bisa dibayangkan, betapa besar kesabaran Nabi Ayub AS. Semua tubuhnya telah hancur dimakan belatung akibat penyakitnya, namun ia tetap sabar menghadapinya. Karena ia percaya kesabaran pasti membuahkan hasil yang indah.

Ketiga, pelajaran bagi para istri-istri yang harus selalu sabar mendampingi suaminya. Ketika Nabi Ayub ditinggalkan pengikutnya, saudara dan kerabatnya, yang membawa Nabi Ayub keluar dari kampungnya adalah istrinya. Semua harta Nabi Ayub habis untuk biaya makan dan pengobatannya. Sampai pada akhirnya, istrinya bekerja menjadi pembantu untuk bisa menafkahi suaminya yang sedang sakit parah. Inilah potret istri shalehah yang didambakan lelaki shaleh.

Keempat, Allah memberikan jalan keluar dan kelapangan bagi umat yang bertakwa. Nabi Ayub adalah nabi yang paling bertakwa. Selama ia sakit, selalu beribadah kepada Allah. Bahkan ketika ia melaksanakan shalat, ia mengambil seluruh belatung yang menempel di tubuhnya, dan setelah shalat ia mengambil kembali belatung itu dan menaruh kembali ke tubunhnya. Ia meyakini bahwa ujian yang dialaminya adalah bagian dari ujian keimanan.

Kelima, umat Islam harus menghindari wabah penyakit. Hikmah dari kisah Nabi Ayub ini adalah umat Islam harus menghindari wabah penyakit. Kalau di zaman Nabi Ayub saja, nabi pernah dibawa keluar dari permukiman warga agar tidak menularkan penyakitnya kepada masyarakat yang ada di sekitarnya. Seharusnya apa pernah terjadi dan dipraktikkan oleh Nabi Ayub AS bisa dilakukan di tengah pandemi Covid-19 ini.

Keenam, isolasi pernah terjadi di masa Nabi Ayub dan para nabi yang lain. Mungkin di zaman dahulu istilah isolasi dan karantina belum dipakai atau belum populer, tapi sudah pernah dilakukan pada masa itu. Seperti Nabi Ayub pernah diisolasi keluar daerah untuk menjalani pengobatan dari istrinya.

Begitupun di masa Rasulullah SAW, pernah terjadi merebaknya wabah penyakit. Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Anda mendengar bahwa wabah ada di suatu tempat, jangan masuk ke sana. Jika wabah itu ada di tempat Anda, jangan tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhari). Ini adalah contoh dari praktik isolasi diri dan karantina wilayah dalam konteks kekinian yang pernah terjadi pada zaman nabi. Wallahu a’lam bishawab!

*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah  dan Ilmu Keguruan IAIN Ternate, Maluku Utara.

KPU Bangkalan