Namun, cara ini kelihatannya tidak akan sukses. Sebab, koalisi pendukung Anies, yang dimotori Surya Paloh, semakin kemari semakin solid.
Ada tiga hal penting memotivasi penjegalan Anies. Pertama, survei-survei pilpres tentang Anies. Kedua, pandangan geostrategis Anies. Ketiga, trauma kekalahan Ahok 2017.
Soal survei-survei kita harus membagi survei yang tergolong kredibel dan propagandis. Dari semua survei dengan jenis manapun, Anies masuk dalam 3 besar. Artinya, sulit menyingkirkan Anies dari survei.
Nah, selanjutnya adalah survei kredibel. Kredibel bukan dalam pengertian Reasearsch (Validitas dan Reliabilitas), tapi lembaga surveinya.
Yang ingin saya bahas adalah CSIS (Center for Strategic and International Studies) terbaru. Lembaga ini didirikan oleh Order Baru, dengan tujuan pembangunan, free market capitalism, dan penghilangan politik ideologis. Terutama penihilan Islam politik. (Anomali terjadi ketika pimpinan CSIS, Dr. Rizal Sukma, menduduki jabatan pimpinan di Ormas Muhammadiyah, beberapa tahun lalu).
Pada saat pertemuan tokoh-tokoh oposisi nasional, di Blok M, 20/9, yang diselenggarakan Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI), Rizal Dharma Putra, pimpinan Lesperssi, lembaga “Think-Tank Pertahanan†(Lembaga ini diundang terbatas bertemu dengan Jenderal Mark Milley, The United States Joint Chiefs of Staff, pada kunjungan ke Jakarta, Juli lalu memetakan CSIS saat ini pro Tiongkok.
Perjalanan panjang CSIS, terlepas dari misinya, lembaga ini adalah lembaga Think-Tank tertua dan terbesar. Sehingga, kepentingan lembaga ini untuk mempertahankan kredibilitas cukup tinggi.
Nah, CSIS mengeluarkan survei terbaru yang mengagetkan. Jika terjadi Head to Head antara Anies, Ganjar maupun Anies-Prabowo, Anies menang. Anies vs. Ganjar 47,8 % vs. 43.9 % (7, 6 % belum tahu), Anies vs. Prabowo 48, 6 % vs. 42,8% dan Ganjar vs. Prabowo, 47,25 % vs 45%.
Kenapa kaget? Dari sisi metodologi, konsep survei dengan metode “general to focus†mulai 14 capres, pengecilan ke 7 capres, lalu ke 3 capres dan diakhiri ke head to head adalah metode reiterasi dan penegasan, di mana responden berjenjang tanpa keraguan memilih calonnya. Hasil ini sulit diragukan, karena konsistensi responden dapat menunjukkan reliabilitas alat survei tersebut.
Survei CSIS ini mengambil responden milenial dan generasi Z (umur 18-39 tahun). Jumlahnya diperkirakan 60% pemilih kita saat ini. Meskipun kita tidak bisa menarik ekstrapolasi dan membangun kesimpulan untuk seluruh populasi, namun suara milenial dan suara generasi Z ini adalah suara masa depan Bangsa Indonesia. Ini merupakan bukti pembusukan terhadap Anies selama ini, baik dengan isu hukum, identitas Arab/non Jawa, gagal membangun Jakarta, tidak mampu menghancurkan Anies.
Alasan lain penjegalan Anies adalah pandangan Geostrategis Anies. Selama ini Anies terlihat sangat dekat dengan barat. Berbeda dengan Jokowi yang dekat ke Peking. Terakhir terlihat Anies Baswedan menjadi tamu keluarga Lee, penguasa Singapura, selama 5 hari, beberapa minggu lalu.
Menjadi tamu keluarga Lee berbeda dengan beberapa elit kita yang hanya diundang oleh Rajaratman Institute, Nangyang Technology University atau lembaga lainnya di Singapura. Diundang keluarga Lee artinya Anies tidak diragukan oleh barat dan “Chinese Overseas Networkâ€.
Kedekatan Anies dengan barat tentu mencemaskan Peking yang selama ini berusaha mengendalikan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.
Menurut Rizal Dharma Putra, pengangkatan mantan Duta Besar China di Indonesia menjadi direktur Asia Kementerian Luar Negeri Peking, merupakan simbol keseriusan China untuk tetap mendominasi politik Indonesia.
Artinya, kehadiran Anies menjadi sebuah kecemasan, khususnya ketika pertarungan Barat vs. China semakin menegangkan di kawasan ini, dan laut China Selatan.