Opini

Keluarga Berbasis Pendidikan Multikultural

×

Keluarga Berbasis Pendidikan Multikultural

Sebarkan artikel ini
Keluarga Berbasis Pendidikan Multikultural
Nurul Yaqin, S.Pd.I. (Foto for Mata Madura)

Oleh: Nurul Yaqin, S.Pd.I*

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Selain kekayaan alam yang melimpah juga terdiri dari berbagai bahasa, pulau, suku, dan keyakinan (agama). Tercatat, bangsa ini memiliki 6 agama yang diakui, 1211 bahasa (BPS 2010), 1340 suku (BPS 2010), dan 16.056 pulau yang terverifikasi.

Heterogenitas struktural bangsa ini harus tetap dilestarikan untuk menuju negara berdaulat dan bermartabat. Keterlibatan Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) di Bali 2014 lalu menjadi salah satu bukti bangsa ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keramahan dalam kebhinnekaan. Dunia internasional pun mengakui kedewasaan Indonesia dalam mengatasi perbedaan-perbedaan. Pertanyaannya, apa faktor yang yang menyebabkan negara yang sangat heterogen ini dapat menjaga keramahan dan toleransinya?

Jika diamati, semua bermuara dari peran keluarga. Formulanya sederhana, jika sejak lahir setiap anak dalam keluarga dididik untuk saling menghormati dan menyayangi sesama, maka sikap baik tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Dan masyarakat yang baik otomatis akan menjadikan negara yang kokoh dan berkharisma. Maka tak salah jika keluarga merupakan salah satu benteng utama pertahanan negara.

Keluarga merupakan cikal bakal dan tolok ukur pembentukan karakter manusia. Maka, pendidikan yang dikonsumsi oleh keluarga harus berada dalam koridor kebenaran. Setiap anak akan melihat segala tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Anak akan tumbuh menjadi pribadi luhur jika sikap positif lebih mendominasi dari pada sikap negatif. Begitu pun sebaliknya.

Dan pluralistis bangsa ini bukan hanya dalam bentuk skala besar, tapi juga dalam unit terkecil keluarga. Artinya, dalam satu keluarga bisa terdiri dari penganut dua atau tiga agama berbeda, atau mungkin juga terdiri dari suku, dan keturunan yang tak sama. Jika hal ini tidak dibekali dengan modal latar belakang (background) yang baik, maka akan mudah menimbulkan konflik.

 

Pupuk Persatuan

Menurut James Bank (1993) pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai suatu keniscayaan. Keberagaman yang ada merupakan sunnatullah (hukum alam) yang tidak akan terlepas dari kehidupan.

Pendidikan multikultural lahir pasca terjadinya Perang Dunia II yang melahirkan negara-negara yang menganut prinsip demokrasi. Bagi negara-negara demokrasi pendidikan multikultural adalah kekuatan yang akan membawa kejayaan. Era reformasi merupakan masa berkembanganya pendidikan multikultural setelah kebhinnekaan budaya bangsa ini cukup lama diabaikan.

Namun, dalam realita keseharian nasib bangsa belum selaras dengan yang dideskripsikan negara-negara lain, ternyata segala bentuk keragaman masih sering kali menyulut permasalahan. Mulai dari hal sepele hingga yang benar-benar serius. Masyarakat kita belum mampu menghargai perbedaan karena minimnya pengetahuan yang seharusnya (dalam hal ini) dimulai dari keluarga.

Orang tua zaman now hanya sibuk dengan aspek koginitif teoritis dari pada kompetensi interpersonal anaknya. Anak dicetak agar bisa lulus lembaga pendidikan ternama dengan mengabaikan pendidikan berempati, yang pada akhirnya anak tumbuh menjadi pribadi yang antipati.

Bahkan, akhir-akhir ini sering kali muncul gesekan dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat efek dari kontestasi politik. Drama politik yang penuh dengan intrik saling menjatuhkan menguatkan masyarakat semakin alergi dengan istilah perbedaan. Jika hal ini dibiarkan maka akan memupuk generasi yang apatis dengan kesatuan dalam keikaan.

Sering kali terjadi keluarga hancur dikarenakan adanya perbedaan dalam satu atap. Orangtua tidak menganggap anaknya karena memeluk agama berbeda. Sesama saudara tidak akur lantaran perbedaan warna kulitnya. Lebih ironis, komponen keluarga berantakan karena partai yang diusung tidak sama.

Indikasinya, anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang tidak mengajarkan pentingnya rasa saling menghormati, akan menjadi pribadi angkuh dan temperamental. Mudah tersulut emosi, dan suka terlibat permusuhan. Terlebih lagi di media sosial mereka gampang tergoda dengan berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).

Sering terlihat di media sosial, para remaja kita saling menghujat yang disebabakan perbedaan-perbedaan. Maka, untuk mencegah tindakan negatif tersebut, sangat penting diterapkan pendidikan multikultural dalam keluarga. Tujuannya, menurut Clive Black dalam Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Ngainun Naim & Achmad Syauqi, 2010) bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku kebangsaan memiliki kebebasan yang sama.

 

Implementasi

Jika selama ini pendidikan multikultural hanya menggema di lembaga pendidikan an sich, maka sangat efektif metode ini dipraktekkan dalam ranah keluarga. Keluarga merupakan pendidik utama (tarbiyatul ula) untuk menanamkan benih kebaikan pada generasi muda.

Penerapan pendidikan mulitikultural dalam keluarga dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut. Pertama, pemahaman dari anggota keluarga. Memberikan pengertian kepada anak sedari dini bahwa kehidupan ini tidak lepas dari keberagaman dan perbedaan. Menurut Pederson dalam Gage & Berline (1992) karena kita adalah multi-kultur maka identitas budaya kita bersifat dinamis dan selalu berubah-ubah. Perbedaan agama, budaya, etnis dan lain-lain bukanlah hambatan untuk memupuk rasa persaudaraan. Jadikan perbedaan sebagai kekuatan untung saling menyatukan (integrating force).

Kedua, menjadi teladan (uswah) bagi anak-anaknya. orangtua adalah role model yang akan menjadi kiblat bagi pertumbuhan anak. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi contoh yang baik dan benar. Misalnya, saling menghormati dan menjaga kenyamanan kepada tetangga walapun berbeda etnis, agama, dan budaya. Ciptakan suasana lingkungan yang hangat walaupun berasal dari latar yang berbeda-beda.

Ketiga, membiasakan musyawarah dalam keluarga. Memang cara ini terkesan sangat sederhana, tapi efeknya sangat luar biasa untuk mencetak anak agar menjadi manusia saling menghormati. Ajak anak bermusyarawah dalam memecahkan berbagai problema. Biarkan mereka mengeluarkan pendapatnya. Pembiasaan seperti ini akan menjadikan anak menghargai pendapat, baik orangtuanya maupun orang lain.

Keempat, mengadakan kunjungan ke tempat-tempat yang berbeda budaya. Mengajak anak untuk melihat lingkungan yang tak sama dengan kehidupan kita. Ajarkan mereka berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama, etnis, dan bahasa dengan penuh kefatsunan untuk menciptakan keharmonisan. Selain itu aja anak kita ke tempat-tempat yang bisa menghargai perbedaan budaya seperti karnaval budaya, festival budayan, dan lain-lain.

Akhirnya, dalam rangka memperingati hari keluarga ini implementasi pendidikan multikultural dalam keluarga diharapkan menjadi solusi untuk menahan laju konflik yang terus berkelindan karena perbedaan, baik dalam dunia pendidikan maupun kehidupan sosial. Perbedaan bukanlah momok yang dapat memporak-porandakan persatuan, justru perbedaan adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lilÂ’alamin). Semoga!

* Guru SMPIT ANNUR. Alumnus Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura.

KPU Bangkalan