matamaduranews.com-Salah satu perjuangan KH Raden As’ad Syamsul Arifin, tokoh besar NU dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo dalam mempertahankan Kemerdekaan NKRI dari rongrongan kolonialisme (penjajah) adalah merekrut kelompok ‘hitam’ (para jawara, bajingan dan bandit).
Hal itu dilakukan Kiai As’ad setelah Nahdlatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Organisasi NU menempatkan perang terhadap kolonialisme sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Mempertahankan Tanah Air dari cengkeraman penjajah bagian dari iman.
Lalu, Kiai As’ad berkeliling ke sejumlah daerah dan pondok pesantren di kawasan Pulau Madura dan Tapal Kuda (Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan) merekrut para jawara, bajingan dan bandit yang biasa bergerak di dunia hitam menjadi anggota Pasukan Pelopor untuk diajak berjuang melawan penjajah Belanda.
Mereka dihimpun dengan seragam serba hitam, mulai baju, celana, hingga tutup kepala. Mereka kelompok hitam diberi senjata celurit, rotan, dan keris.
Kiai As’ad memberi pengertian kepada kelompok hitam itu untuk terlibat membela Islam sekaligus mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari kolonialisme.
Di mata para jawara, bajingan dan bandit, sosok Kiai As’ad menjadi guru.
Mereka mengikuti wejangan Kiai As’ad untuk berjuang mengusir penjajah. Sekaligus mengikuti ajaran Kiai As’ad untuk mendekat dan berserah diri kepada Allah Swt, Tuhan Semesta Alam.
Kiai As’ad memberi amalan (bacaan) kepada para bromocorah agar tahan tembakan dan senjata tajam. Serta amalan yang tak kelihatan musuh saat mencuri senjata dari gudang milik Belanda.
Untuk kebutuhan Pasukan Pelopor, Kiai As’ad mengeluarkan harta pribadinya dan minta bantu kepada para habaib yang menjadi pedagang.
Pasukan Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pasukan lain saling menguatkan untuk berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda, lalu mengamankan diri. Mereka menggunakan taktik serang dan lari.
Strategi ini dijalankan oleh para santri yang tergabung dalam pelbagai laskar, hingga Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada Desember 1949.
Bersama Pasukan Pelopor, menurut Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial Hartono Laras, As’ad pernah memimpin pencurian senjata milik Belanda di gudang mesiu Dabasah, Bondowoso, pada akhir Juli 1947.
“Senjata curian itulah yang digunakan untuk melawan laju pasukan Belanda,†ujarnya saat ditemui di gedung Konvensi, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur, Kamis, 10 November 2016, seperti dukutip detikX, situs detik.com.
Pada masa penjajahan, pabrik gula memegang peran vital sebagai lumbung ekonomi Belanda hingga mendapat akses langsung ke birokrasi pusat.
Di pabrik, para pekerja bagian keamanan diberi fasilitas senjata. Pencurian ini biasanya melibatkan sejumlah berandal dan preman yang beraksi pada malam hari.
Selama memimpin perang gerilya, Kiai As’ad sering menunggang kuda putih, warna kesukaannya.
Karena itu, Kiai As’ad juga dikenal dengan sebutan “Satria Kuda Putihâ€. Mengapa menggunakan kuda putih? “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” ujar Syamsul A. Hasan suatu ketika kepada Tempo edisi 15 Oktober 1983.
Bukan cuma kuda putih, kiai karismatik ini juga dikenal rajin mengurusi enam ekor ayam hutan, juga memelihara seekor burung beo yang pintar berbicara.
Dikutip dari buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, tulisan Syamsul A. Hasan, jika ada tamu Kiai As’ad, burung itu memberi salam: assalamualaikum. Dan bila membalas tegur sapa sang beo, biasanya sang tamu lantas tertawa lantaran si beo membalas dengan kata “aassooiiiâ€.
Burung beo itu pun, menurut santri, bisa melafalkan Allahu akbar bila bergema suara azan. “Burung ini pemberian orang sebagai hadiah,†kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Selain disegani kalangan bromocorah dan kalangan dunia hitam, pada bagian lain Syamsul memaparkan, sang kiai diakui karisma dan karomahnya oleh para santri dan kiai-kiai senior yang mengenalnya.
Pada era sebelum kemerdekaan, karisma kiai As’ad tecermin dari kerap berdatangannya tokoh Belanda ataupun Jepang. Van der Plas (Gubernur Hindia Belanda di Jawa Timur) dan Abdul Hamid Ono termasuk yang pernah menemui sang kiai untuk bernegosiasi selama mereka menjalankan tugas.
Berpuluh tahun setelah Indoensia merdeka, nama besar sang Kiai As’ad kian harum. Sampai dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2016. (redaksi/berbagai sumber)