matamaduranews.com-Dzun Nun al-Misri, seorang Sufi kelahiran pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M, memiliki kisah saat melaksanakan ibadah haji.
Dzun Nun bertemu dengan seorang pemuda telanjang. Pemuda itu seperti ‘gelandangan’ dalam kondisi sakit. Tubuhnya tanpa sehelai pakaian tergeletak di bawah salah satu tiang Masjidil Haram.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pemuda itu menyuarakan rintihan hati yang sangat pilu sambil menahan sakit yang diderita.
Dzun Nun sang pencetus paham makrifatullah, menghampirinya dan memberi salam ke si pemuda. â€Siapa engkau hai anak muda?â€.
Pemuda malang itu menjawab, “aku adalah pengembara yang sedang rindu,â€. Dzun Nun pun menjawab, “aku adalah orang sepertimu,â€.
Di luar dugaan, si pemuda itu menangis. Dzun Nun juga ikut larut menangis melihat isak tangis pemuda itu.
Si pemuda balik bertanya kepada Dzun Nun. “Kenapa engkau menangis?,†Dzun Nun menjawab, “aku adalah orang sepertimu,â€.
Tanpa disangka si pemuda itu menangis menjerit dengan suara paling keras dan berteriak melengking. Dalam jeritan memuncah, Dzun Nun melihat si pemuda itu menghembuskan nafas terakhir.
Kematian pemuda telanjang itu membuat Dzun Nun iba. Beberapa pakaian yang ia gunakan dilepas untuk menutupi tubuh si mayit.
Dzun Nun keluar masjid mencari kain kafan.
Setelah kembali dengan kain kafan, mayit si pemuda hilang.
Tersentak, Dzun Nun sadar bahwa si pemuda itu merupakan pengembara yang sulit digoda setan. Dan malaikat pun tidak bisa mencatat amal ibadahnya.
Kisah Dzun Nun ini mengingatkan dawuh Sang Kiai di Sumenep.
Sang Kiai bercerita, “ada seorang yang baru meninggal dunia. Dalam catatan malaikat, amal perbuatan si mayit banyak merahnya (jelek). Sehingga malaikat berkeinginan memasukkan ke dalam neraka. Namun Allah mencegahnya,”.
Malaikat bertanya, â€Kenapa ya Allah?,â€. Allah menjawab, “Aku ngerti dalam catatanmu orang itu memang banyak merahnya. Tapi kamu tidak mengerti catatan saya,â€.
Sang Kiai menjelaskan dialog antara Allah dan malaikat itu karena amal ibadah pecinta yang tidak bisa diketahui malaikat karena dzikir yang samar (dzikr khafi).
Dua kisah di atas menunjukkan begitu mulyanya seorang pecinta yang dicintai Allah Swt. Sehingga, bentuk kedekatan dirinya dengan sang Tuan (Allah Swt), tidak ada yang mengetahui. Baik manusia maupun malaikat.
Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub menerangkan kemabukan si pecinta terjadi setelah melewati dzikr qalb (hati) dan dzikr ruh.
Dalam kondisi ekstase, seluruh tubuh pecinta tidak merasa apa-apa kecuali menikmati kelezatan dzikir dalam kemesraan yang dirajut dengan sang kekasih. (redaksi)
Diolah dari berbagai sumber