matamaduranews.com-PAMEKASAN-Jika mengitari kota Gerbang Salam alias Pamekasan, kita akan menemukan sebuah jalan yang diberi nama Balai Kambang. Seperti ruas-ruas jalan lainnya di belahan bumi yang dulu bernama Pamelengan ini, Jalan Balai Kambang tidak menunjukkan tanda-tanda khusus, apalagi istimewa.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Setiap orang biasa saja menelusuri sepanjang jalan itu, seperti halnya di jalan-jalan manapun. Sungguh, benar-benar biasa. Bahkan biasa-biasa saja. Sama sekali tidak terbayangkan, bahwa di sana pernah terjadi kejadian luar biasa. Yang mungkin hanya satu-satunya terjadi di nusa Garam.
Nah, di edisi kali ini, Mata Madura kembali mencoba menyuguhkan sebuah kisah yang bersifat seni dalam dunia sejarah. Kisah tutur yang diriwayatkan turun-temurun dan menjadi sebuah legenda yang tak pernah kering. Meski pada kenyataannya, tak semua orang tahu. Khususnya di kalangan generasi milenial.
Kisah kali ini menambah deretan cerita tentang asal usul beberapa nama tempat di Pamekasan. Di beberapa edisi sebelumnya, Mata Madura menyuguhkan kisah asal usul Ombaran, Oberan, dan Karangtonon. Ketiga nama tempat itu terkait dengan peristiwa kemarau panjang di sekitar abad 17 Masehi. Di mana kala itu, hujan enggan turun. Langit sepertinya enggan mengganggu dua waliyullah asal negeri Sumenep yang berkhalwat di alas Raba, Pademawu.
Kedua tokoh itu ialah Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Rabah, dan anak keponakannya yang bernama Kiai Abdullah alias Entol Bungso. Kedua tokoh itu tengah menjalani laku tapa. Menjauhkan diri dari keramaian, dan segala macam kenikmatan dunia.
Kembali pada kemarau panjang, situasi itu disikapi Raja Ronggosukowati dengan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa atas musibah yang melanda kerajaan dan rakyat Pamelingan. Hingga akhirnya beliau didatangi wangsit bahwa hujan tak turun di negerinya karena ada dua pertapa sakti di bawah pohon dalam hutan, sebelah timur laut (tenggara) dari ibu kota kerajaan. Dalam wangsit itu diisyarahkan hujan tak turun karena kedua pertapa tidak memiliki tempat berteduh dari hujan.
Riwayat lain mengatakan, saat kemarau panjang terjadi, Rato Ronggosukowati lantas mengumpulkan Patih, punggawa dan para penghulu agama di keraton untuk membahas kondisi alam Kerajaan Pamelingan yang kian memprihatinkan. Raja lantas memerintahkan Penghulu Agama (modin/ahli agama) untuk mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Akhirnya penghulu Agama melaporkan hasil istikharahnya bahwa ada sinar kuning keemasan yang memancar dari arah tenggara (timur laut) kerajaan Pamelingan, tepatnya dari dalam sebuah hutan yang cahaya itu muncul dari seorang Pertapa Agung yang sedang bertapa hanya beratapkan dedaunan dari pohon dhaman.
Munculnya pertapa dalam wangsit Raja dan istikharah para penghulu agama itu juga sebagai isyarah agar segera ke sana untuk melakukan sesuatu, setidaknya memberinya atap yang layak bagi para pertapa agung.
Mendapat wangsit dan/atau masukan dari Penghulu agama tersebut kemudian raja memutuskan untuk mencari dua pertapa itu ditemani oleh beberapa pengawal dan Ahli Agama (Penghulu).
Balai Keraton Mengambang Akibat Banjir
Sesampainya raja dan pengawalnya di tempat pertapaan Kiai Abdurrahman, raja kemudian mengutarakan maksud kedatangannya dan meminta tolong kepada Kiai Abdurrahman untuk dimohonkan kepada Allah agar kerajaan Pamelingan (Pamekasan) dianugerahi turun hujan. Sambil menyembah hormat, Kiai Abdurrahman menyanggupi, namun sambil tersenyum beliau mengutarakan keadaannya yang hanya beratapkan langit. Sang Raja pun menitahkan punggawa keraton untuk membuat bilik sederhana. Begitu bagian atas bilik itu tertutup, hujan langsung turun dengan derasnya.
Kisah ini diabadikan oleh Raden Werdisastra dalam karya monumentalnya, Babad Songennep (1914). Di dalam babad, dikisahkan di kala peristiwa itu terjadi, Kiai Abdurrahman ditemani keponakannya, Kiai Abdullah alias Bindara Bungso, bertapa di alas Rabah.
Raja Ronggosukowati dan seluruh Rakyat Pamelingan bersukacita atas anugerah hujan itu. Namun rasa sukacita itu berubah menjadi rasa cemas dan khawatir, karena ternyata hujan yang begitu lebat tidak reda hingga berlangsung selama 41 hari 41 malam.
Kondisi ini membuat Negeri Pamelingan dilanda banjir di mana-mana, sungai-sungai airnya meluap menggenangi pemukiman rakyat, sawah-sawah milik rakyat pun tak luput dari genangan air banjir. Rakyat panik akan kondisi tersebut.
Bahkan di lokasi kerajaan pun tak luput dari banjir, air menggenangi beberapa tempat termasuk di Balai atau pendopo Kerajaan. Akibatnya Balai atau pendopo kerajaan tersebut tergenang air, dan mengambang. Bang-kambangan dalam bahasa Maduranya. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa Balai Kerajaan Mengambang. Dan peristiwa tersebut di abadikan menjadi nama tempat dan jalan, yaitu Balai Kambang.
Daerah Sotok
Melihat banjir di mana-mana dan hujan tetap turun dengan deras, raja kemudian menyuruh Patih kerajaan untuk sowan (datang) kembali kepada Kiai Abdurrahman agar memohon kepada Allah agar hujan reda. Berangkatlah sang patih kerajaan, sesampainya di pintu masuk ke hutan Rabah, kereta yang ditumpangi Patih Kerajaan dan pasukannya macet gara-gara masuk ke dalam lumpur akibat banjir. Hingga kereta itu pun didorong (sotok, Madura) berkali-kali hingga akhirnya bisa jalan lagi.
Kemudian tempat kejadian masuknya kereta ke kubangan lumpur dan mendorongnya pasukan kerajaan terhadap kereta yang macet tersebut itu hingga sekarang dikenal dengan nama Sotok.
RM Farhan