Budaya

Langgar, Tradisi Madura Sejak Abad ke 2 Masehi

×

Langgar, Tradisi Madura Sejak Abad ke 2 Masehi

Sebarkan artikel ini
Langgar, Tradisi Madura Sejak Abad ke 2 Masehi
Langgar Madura yang menjadi tempat pencerahan sejak abad 2 masehi. (matamadura.mohlis)

matamaduranews.comPAMEKASAN-Di pulau Madura, Istilah langgar atau surau sering kita lihat menjadi bangunan pelengkap tempat tinggal seseorang.

Bangunan yang biasanya berbentuk panggung terbuat dari kayu dengan bilahan kayu atau anyaman bambu tersebut secara umum oleh masyarakat Madura. Selain untuk sholat, langgar juga difungsikan sebagai tempat penerimaan tamu, maupun tempat hajatan.

Walaupun saat ini bangunan tersebut sudah banyak yang terbuat dari tembok. Langgar atau surau saat ini jarang dilihat diperkotaan, dengan perkembangan zaman yang kian pesat, perang ekonomi kewirausahaan yang semakin jadi membuat langgar sudah hampir tak dikenal, padahal langgar ini mempunyai sejarah penting dalam penyebaran tauhid (Islam).

Pantauan Mata Madura di daerah pantura Kabupaten Pamekasan seperti di Desa Bangsereh Kecamatan Batumarmar Pamekasan sendiri, Langgar bagi mereka seperti “tak berumah jika tak belanggar”.

Istilah tersebut bukan tidak beralasan, pasalnya langgar menjadi bangunan kecil yang fungsinya sangat penting dan “wajib” ada. Walaupun ada sebagian yang masih tidak penya langgar, tetapi mereka menyisakan lahan kosong untuk kemudian nantinya dibangun jika mampau.

Selain tempat sholat maupun penerima tamu tadi, langgar atau bagi masyarakat Pantura dikenal dengan istilah Kobhung ini khususnya di Kabupaten Pamekasan bagian pantura juga digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara hasil dari pertanian, seperti tembakau, kacang maupun bawang merah.

Tidak hanya itu, langgar bagi masyarakat Madura juga digunakan sebagai tempat mensholatkan keluarga yang meninggal dunia. Lain di perkotaan yang biasanya disholatkan di Masjid.

Sejarah Tradisi Langgar
Langgar atau surau, ternyata bukan hanya sebagai tempat shalat, melainkan juga menyimpan catatan sejarah tentang tradisi kuno di Nusantara sejak abad ke-2 Masehi.

Sayang, belakangan ini, sudah agak jarang ditemui adanya langgar di rumah-rumah masyarakat khususnya di perkitaan.

Namanya pun bukan lagi langgar atau surau, melainkan menggunakan bahasa Arab, “Mushalla” yang berarti: “Tempat Shalat.”

Memang tidak begitu salah istilah ini, hanya saja, setidaknya telah mempersempit makna dan fungsi sebenarnya. Bahwa langgar, pada dasarnya, pada abad ke-2 Masehi menjadi tempat serbaguna termasuk salah satunya adalah penyebaran ajaran tauhid.

Menurut Drs. H Ridwan Saidi, sejarawan Betawi mengatakan, bahwa sejak abad ke-2 Masehi, sudah ada empat orang Syaikh dari Palestina yang datang ke Nusantara untuk menyebarkan ajaran tauhid (Islam).

Makam para Syaikh tersebut, terangnya, di antaranya berada di wilayah Tangerang (Banten) serta di wilayah Muria (Jawa Tengah).

Meskipun, lanjutnya lagi, sekarang nama dan sejarah mereka sudah ada yang dikaburkan (dirubah). Dalam menyebarkan misi dakwahnya, mereka menggunakan langgar sebagai institusi. Mereka berjalan kaki lalu mengajarkan tauhid dan budi pekerti pada masyarakat di langgar-langgar.

Maka itu, fungsi langgar, bukan hanya sebagai tempat shalat melainkan juga untuk berbagai hal, termasuk menerima tamu, belajar, diskusi, dan lain-lainnya.

Terkait dengan langgar sebagai institusi, atau setidaknya, sebagai tempat serbaguna, sampai hari ini, masih lestari di sebagian daerah di Pulau Madura, Jawa Timur.

Bersambung….

Mohlis, Mata Madura

KPU Bangkalan

Respon (1)

Komentar ditutup.