Budaya

Mas Su’ud, Asal Usul, dan Kiprahnya di Bumi Situbondo

×

Mas Su’ud, Asal Usul, dan Kiprahnya di Bumi Situbondo

Sebarkan artikel ini
Mas Su’ud, Asal Usul, dan Kiprahnya di Bumi Situbondo
Kolase Bekas Langgar Kiai Mas Su'ud di Kayuputih, Situbondo. (Foto/Dok. Keluarga)

matamaduranews.com-TAPALKUDA-Nama Kiai Mas Su’ud hampir tenggelam dalam perubahan gelombang zaman. Sudah menjadi hukum alam, setelah yang tua, muncul yang muda. Apalagi, secara faktual, kadangkala tokoh disambung oleh tokoh lain. Generasi penerus tidak lantas selalu muncul dari sebab aliran darah. Meski hal itu tidak mutlak.

Kiai Mas Su’ud merupakan salah satu pembabat kawasan Situbondo. Menurut beberapa sumber, Mas Su’ud merupakan cikal-bakal tokoh yang disebut Ke Mas (kiai mas), di Situbondo.

Mas Su’ud sendiri menetap di Kayuputih. Kayuputih merupakan nama salah satu desa di kecamatan Panji, Situbondo. Di sana Mas Su’ud sempat mendirikan sebuah pesantren.

Pesantren Kayuputih namanya. Didirikan sekitar tahun 1850 M. Sempat berjaya di masa sang muassis, di era selanjutnya tinggal nama besar belaka.

Menurut salah satu keturunan keenam Kiai Mas Su’ud, Khalilur R Abdullah Sahlawy, leluhurnya itu tidak hanya dikenal sebagai tokoh yang alim dan mumpuni di bidang agama. Namun beliau juga menonjol di bidang kanuragan.

“Jadi pesantren beliau ini di samping sebagai pusat belajar agama Islam, juga berfungsi sebagai padepokan silat dan kanuragan,” kata Khalilur.

Dari Sumenep ke Pamekasan

Mas Su’ud berasal dari pulau garam. Tepatnya Madura Timur atau Sumenep.

“Di kalangan keluarga tidak ada catatan otentik. Hanya dikatakan bahwa beliau dari Sumenep, dan termasuk keluarga keraton,” ungkap Khalilur.

Informasi turun-temurun, Mas Su’ud merupakan keturunan langsung Sunan Paddusan dan Pangeran Batuputih alias Raden Ilyas.

Sunan Paddusan merupakan merupakan cikal-bakal kampung Paddusan. Menurut cerita turun-temurun, Sunan Paddusan adalah tokoh penyebar agama Islam di kawasan tersebut. Mereka yang kemudian masuk Islam, setelah berikrar, lantas edudus (dimandikan) oleh Sang Sunan. Sejak saat itu, tempat adudus (memandikan) itu dikenal dengan Paddusan, yaitu dari kata pa’addusan (tempat adudus).

Tak hanya dengan kampung Paddusan, Sunan Paddusan juga terkait dengan asal-usul desa Parsanga. Untuk kepentingan adudus (memandikan) itu sang Sunan membuat paregi atau sumur berjumlah sanga’ atau sembilan. Dari dua kata itu lokasi sembilan sumur itu menjadi sebuah desa bernama Parsanga, singkatan dari paregi sasanga’ (sembilan perigi atau sumur).

Asal-usul sang Sunan yang di sejarah bernama asli Raden Bindara Diwiryapada ini masih terkait dengan tokoh-tokoh wali sembilan atau Wali Sanga di bumi Jawadwipa. Dwiryapada adalah anak Haji Utsman. Haji Utsman adalah salah satu putra Raja Pandita alias Sayyid Ali Murtadla. Raja Pandita ini adalah saudara tua dari Kangjeng Suhunan Ampel, Imam Wali Sanga.

Makam Sunan Paddusan hingga saat ini keramat dan diziarahi banyak orang dari segenap penjuru. Makamnya berada satu kompleks dengan Pangeran Seding Puri, salah satu raja Sumenep yang gugur dalam perang Sumenep-Japan di abad 16. Seding Puri masih terhitung keponakan Sunan Paddusan.

Kembali pada Mas Su’ud, Sunan Paddusan memiliki seorang putri yang menikah dengan Pangeran Seding Langgar, Madekan, Sampang.

Sang Pangeran ini adalah putra dari Pangeran Suhra, Keraton Jambringen, Pamekasan. Pangeran Suhra alias Raden Pradoto. Pradoto adalah adik Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Duwur, Arosbaya. Keduanya sama-sama putra Raden Pragolbo alias Pangeran Arosbaya, Keraton Anyar.

Dari pernikahan itu lahirlah Raden Ilyas, yang diambil sebagai menantu oleh Pangeran Seding Puri, raja Sumenep 1502-1559. Ilyas diangkat sebagai adipati di Batuputih, dan dikenal dengan Pangeran Batuputih.

Putri Ilyas bernama Dewi Susila menikah dengan Pangeran Lor II (Raden Rajasa), adipati Sumenep 1574-1589. Lahir dari pernikahan itu Raden Abdullah alias Pangeran Cakranegara I, adipati Sumenep 1589-1626.

Cakranegara I berputra Raden Bugan, yaitu Pangeran Macan Ulung alias Tumenggung Yudanegara, adipati Sumenep 1648-1672.

Dari penusuran Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser), informasi mengenai riwayat Mas Su’ud keturunan Sunan Paddusan terlacak. Salah satu keturunan Yudanegara ada yang bernama Raden Su’ud.

“Di catatan ini memang tidak disebut tentang keturunan Raden Su’ud. Namun dari perkiraan masa, cocok dengan masa hidup Mas Su’ud di Kayuputih,” kata R. B. Ja’far Shadiq, salah satu personel Komunitas Ngoser, yang juga pemerhati silsilah di Sumenep ini.

Dalam catatan tersebut, Su’ud disebut putra Raden Ilyas. Ilyas adalah putra Raden Syihabuddin, Bagandan, Pamekasan. Syihabuddin adalah anak Raden Ahmad Musyaffa’, Penghulu Bagandan II. Musyaffa’ adalah salah satu putra Raden Wongsodirejo (Azhar), penghulu Bagandan yang dikenal dengan Buju’ Seda Bulangan.

Dalam catatan umum di Pamekasan dan Sumenep, Wongsodirejo adalah anak Pangeran Wiromenggolo, adipati Sumenep 1709-1721. Wiromenggolo adalah cucu Tumenggung Yudonegoro dari pihak ibunya.

Salah satu putri Yudonegoro, Raden Ayu Kacang, menikah dengan Pangeran Wirosari dari Jambringen Pamekasan. Raden Ayu Kacang ini melahirkan Wiromenggolo di atas.

Catatan tentang Raden Su’ud sebagai keturunan Raden Azhar ini diakui oleh salah satu pemerhati sejarah dan nasb dari keluarga Sumber Anyar, Pamekasan, K. Ghazi.

“Catatan ini sama seperti yang saya ketahui. Keturunan Mas Su’ud ini ada di Asembagus,” kata Ghozi.

“Namun soal keturunan beliau ini perlu tashih lagi,” tambahnya.

Soal info bahwa ada keturunan Mas Su’ud di Asembagus dibenarkan oleh Khalilur, keturunan Mas Su’ud di atas.

“Salah satu tokoh Asembagus yang masih saudara kakek saya ialah Kiai Mas Mughni,” katanya.

Menurut Khalilur, di masa kakeknya, almarhum Kiai H. Khalid, biasa terjadi komunikasi dan silaturrahim antara keturunan Mas Su’ud dan keluarga pesantren Sumber Anyar Pamekasan,

Perlu diketahui, keluarga pesantren Sumber Anyar memang terhitung sebagai keturunan Raden Azhar Seda Bulangan. “Salah satu tokoh Sumber Anyar, yaitu Kiai Zubair adalah putra Kiai Khatib Dalem. Yaitu salah satu anak Raden Azhar,” ungkap Ghozi.

Jika demikian Kiai Khatib Dalem masih saudara kandung Raden Ahmad Musyaffa’, buyut Mas Su’ud. Sehingga menurut Khalilur dan Ghozi, wajar masih ada komunikasi.

Sisa Peninggalan

Kiai Mas Su’ud hanya meninggalkan seorang anak perempuan bernama Nyai Embhun. Nyai Embhun menikah dengan Kiai Abdul Ghaffar.

Nyai Embhun dan Kiai Abdul Ghaffar memiliki empat anak perempuan. Anak pertamanya menikah dengan Kiai Thohir. Sedang anak perempuan lainnya bernama Nyai Salmina, menikah dengan Kiai Salmina, keturunan Kiai Agung Sare, di dusun Tanjung Gegger, Tanjung Pecinan, Kecamatan Mangaran, Situbondo.

“Kiai Abdul Ghaffar dan Kiai Thohir ini yang menggantikan atau meneruskan pesantren Kiai Mas Su’ud,” kata Khalilur.

Setelah Kiai Abdul Ghaffar, dan Kiai Thohir pesantren ini bubar karena tidak memiliki penerus yang mumpuni di bidang agama.

Makam ketiga tokoh ini, yaitu Kiai Mas Su’ud, Kiai Abdul Ghaffar, dan Kiai Thohir berada di dusun Sekarputih, Desa Trebungan, Kecamatan Mangaran, Situbondo. Hanya dibatasi jalan raya dengan bekas pesantren Mas Su’ud di Kayuputih, kecamatan Panji.

Menurut Khalilur, di samping keturunan dan warisan keilmuan, Mas Su’ud Kayuputih juga memiliki peninggalan berupa langgar Kuna.

Langgar tersebut masih berdiri kokoh di Kayuputih.

“Modelnya mirip dengan langgar Kiai Ali di Barangbang, Sumenep,” kata Khalilur.

Sayang saat ini langgar tersebut sudah berganti kepemilikan pada yang bukan keturunan Mas Su’ud.

RM Farhan

KPU Bangkalan