Oleh: Gus Muhammad al-Fayyadh bin Malthuf Nurul Jadid Paiton*
Ini tema klasik dalam literatur kesufian, yang pasti tidak asing bagi MAM. Kali ini alfaqir sedikit meninjaunya dari sudut pandang linguistik (lughawi) dan falsafi.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pertama, di sana terdapat dua versi “melihatâ€. Dalam hadits riwayat Ahmad, ibunda Nabi melihat cahaya itu dalam mimpi, sebagai kabar gembira atas kelahiran putranya. Sedangkan para ulama Ashabul Maulid memaknainya sebagai melihat dalam mimpi sekaligus dengan mata kepala. Di sini kita tiba pada ambiguitas dan kekayaan tafsir kata “melihatâ€.
Secara ringkas, epistemologi Islam mengenai penglihatan tidak positivistik-empiris. Penglihatan pertama-tama terkait dengan level keimanan dan pengetahuan. Ada ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, dan Haqq al-Yaqin. Penglihatan yang hanya mengakui objeknya pada level empiris dengan mata kepala berada pada taraf ‘Ilm al-Yaqin. Penglihatan ini terbatas dan tidak mampu menangkap apa yang melampaui indera mata. Prinsip utama epistemologi Islam adalah: semakin tinggi tingkat keimanan dan pengetahuan, semakin ia mengakui yang luput dari mata kepala namun dapat ditangkap oleh “indera†batin (bashirah, qalbu, dll.).
Baca Juga: Menakwil Mas Muwafiq (1)
Secara ringkas, cahaya kelahiran Rasulullah mungkin saja tidak terlihat dengan indera mata pada level ‘Ilm al-Yaqin, namun bisa ditangkap pada dua level di atasnya (‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin). Sebagaimana sebagian mimpi orang shalih memiliki kebenaran nyata (haqq), mimpi ibunda Nabi juga benar. Jika kita melihat di level mana mimpi ini berada, bisa dipastikan itu adalah Haqq al-Yaqin. Pada level ini, sebagian teori ulama mengatakan, ketika orang mencapai Haqq al-Yaqin, pemilahan antara objek yang bisa dilihat oleh mata kepala dan mata batin menjadi tidak berlaku. Ia bisa disaksikan sama validnya baik oleh mata kepala maupun mata batin. Ini berlaku pada banyak kasus para hamba pilihan Allah yang menyaksikan sesuatu atau kejadian dengan mata kepalanya, meski tak terlihat oleh mata orang lain.
Jika tidak mau berumit-rumit dengan alur pemaknaan ini, kita bisa mengambil “realisme†yang tampaknya menjadi pola pikir MAM. Misalnya dengan merujuk pada fakta adanya cahaya-cahaya fisik yang diberikan Allah sebagai mukjizat bagi para Nabi. Seperti cahaya putih pada tangan Nabi Musa a.s. Apabila Nabi Musa saja diberikan cahaya fisik seperti itu, bukankah Rasulullah lebih utama untuk memilikinya?
Motif untuk “memahamkan†generasi milenial tidak dapat menjadi alasan untuk menafikan kemungkinan memaknai cahaya itu secara fisik. Tentu MAM juga mengerti apa yang dimaksud dengan “Nur Muhammadâ€. Nur itu meliputi aspek lahir maupun batin. Kalau niatnya memahamkan generasi milenial (meski alfaqir meragukan alasan itu, mengingat audiens pengajian rata-rata orang tua di desa setempat), MAM bisa mengambil analogi cahaya itu dengan sinar Handphone. Sinar Handphone atau Komputer itu nyata secara empiris, memiliki kadar radiasi. Jika benda mati seperti Handphone saja memiliki energi dan memancarkan radiasi tertentu, bagaimana dengan jisim Rasulullah yang hidup dan dianugerahi energi Cahaya Ilahi yang telah ada sejak sebelum penciptaan alam? Bukankah lebih masuk akal untuk juga bercahaya secara fisik? Bagi anak muda seperti alfaqir, seawam-awamnya generasi milenial, ini lebih masuk akal. Kalau belum bisa dipahami juga, kita bisa belajar kepada para fisikawan untuk soal ini. (Bersambung…)
*Alumni PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.