Religi

Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (6)

×

Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (6)

Sebarkan artikel ini
Imam-al-Ghazali
Sketsa Imam al-Ghazali (Foto/google)

Oleh: Jazuli Muthar*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

matamaduranews.com-Al-Ghazali memang dikenal sebagai ulama cerdas dan produktif. Tidak terhitung, buku hasil karyanya yang menghiasi dunia intelektual muslim. Hanya saja, sebagian sarjana muslim kurang utuh mengkualifikasi karya al-Ghazali dalam dua kutub berbeda, terkait dengan perjalanan hidupnya, dari karya seorang intelektual yang bermetamorfosis menjadi karya seorang Sufisme.

Kitab Ihya Ulumuddin, misalnya, sangat berbeda dengan kitab Misykat al-Anwar. Ihya Ulumuddin kitab yang ditulis al-Ghazali sebelum uzlah dan kajiannya dikhususkan bagi kalangan masyarakat umum sebagai petunjuk praktis kehidupan beragama. Sementara, kitab Misykat al-Anwar ditulis al-Ghazali pasca uzlah, yang minsednya berkacamata tasawuf. Sehingga , isi kitab Misykat al-Anwar bertendensi bagi mereka yang ingin meraih kebenaran sejati (makrifatullah).

Ebrahim Moosa dalam bukunya; Ghazali and Poetics of Imagination, menyebut al-Ghazali telah melakukan eksperimen dalam dua jenis tulisan. Pertama, tulisan memori atau tulisan doksologis, sewaktu menjadi selebritas intelektual di Baghdad. Kedua, tulisan hati, hasil sebuah pengembaraannya di dunia Sufisme.

Kacamata Sufisme memang menjadi titik tekan al-Ghazali melampaui metode lain dalam mengkaji sebuah objek sehingga melahirkan banyak karya yang lebih mengagumkan. Seperti, karya Misykat al-Anwar (relung cahaya), yang menjadi cikal bakal lahirnya Epistemologi Islam. Sebuah ilmu yang mengajarkan metode  untuk memperloleh kebenaran pengetahuan dalam Islam.

Kitab Misykat al-Anwar, sekedar contoh kongkrit bagaimana al-Ghazali menerapkan cara penafsiran al-Qur’an secara Sufistik. Misykat arti harfiahnya adalah ceruk atau relung. Sedangkan al-Anwar memiliki makna cahaya (Nur). Judul kitab ini merujuk kepada sejumlah ayat al-Qur’an yang berbicara tentang Nur (cahaya). Seperti, Allah nur al-samawati wa al-ardh (Allah adalah cahaya langit dan bumi). Ada juga sebuah hadits yang mengungkap bahwa ada 70 tirai. Masing-masing tirai memiliki cahaya dan kegelapan. Jika semua tirai itu disingkap, keagungan wajah Tuhan akan membakar semua yang melihatnya.

Baca Juga: Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (5)

Dalam Misykat, al-Ghazali ingin menguraikan apa yang disebut sebagai filsafat cahaya. Bagaimana al-Ghazali menjelaskan kebenaran sejati itu hanya di dapat dalam Nur Ilahi. Menurut al-Ghazali, selain indera (mata), keberadaan benda-benda sangat ditentukan oleh cahaya. Tanpa cahaya, maka benda-benda itu tidak ada. Cahayalah yang menyebabkan semua penampakan terjadi. Cahayalah yang memanifestasikan benda-benda di sekitar kita. Al-dzuhur dimungkinkan karena ada nur.

Cahaya kasat mata adalah cahaya inderawi. Dalam kitab Faishal, al-Ghazali mengungkap lima tingkat wujud. Tingkatan inderawi ada cahaya yang mengantarkan manusia mengetahui sejauh kemampuan indera. Pada level pikiran, ada cahaya yang mengantarkan pengetahuan bagi pikiran. Sehingga, pikiran selalu melihat objek dan berlaku kesadaran yang selalu mengarah kepada objek.

Al-Ghazali menyebut ada dua jenis mata untuk melihat. Pertama, mata inderawi. Kedua, mata ruhani (hati). Mata inderawi memiliki banyak keterbatasan ruang. Sedangkan, objek mata ruhani tiada batas. Sehingga cahaya yang dipantulkan mata ruhani bisa menjadi sumber cahaya. Dalam konteks ini, al-Ghazali ingin menyatakan bahwa cahaya sejati adalah cahaya Ilahi (Nur Ilahi). Sedangkan cahaya lain hanyalah sebuah majasi. Semua cahaya disebabkan cahaya mutlak. Allah adalah cahaya mutlak itu atau nur fauqa nur (cahaya di atas cahaya).

Lewat kitab Misykat al-Anwar, al-Ghazali menawarkan metode kebuntuan para Filsuf Yunani dalam meraih kebenaran. Termasuk para Filsuf Barat modern yang juga mengalami kebuntuan soal objek kebenaran pengetahuan. Paradigma berpikir para Filsuf itu sebatas upaya merengkuh objek sejauh didefinisikan oleh subjek. Sebagai contoh, Imanuel Kant lewat konsep numena atau das ding un sich (ada pada dirinya) juga tidak mampu menjangkau subjek. Subjek hanya melihat sebuah fenomena atau penampakan.

Edmund Husserl dan Martin Heidegger sekata menganjurkan penampakan eksistensial. Objek disuruh berbicara atas namanya sendiri. Padahal, jauh sebelum Filsuf modern itu lahir, al-Ghazali sudah merumuskan konsep cahaya. Penampakan objek pada subjek berwujud sebab unsur lain, yaitu cahaya. Seperti yang tertuang dalam Surah an Nur ayat 35 – 38.

“Allah (memberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan (bintang yang bercahaya) seperti mutiara yang menyalakan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya yang minyaknya sahaja menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) Allah membimbing kepada cahayanya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Bersambung….

* Dosen tinggal di Sumenep