Opini

Muhaimin, Perang Buzzer Kebencian

×

Muhaimin, Perang Buzzer Kebencian

Sebarkan artikel ini
Perang Buzzer Kebencian
Cak Imin
Muhaimin, Perang Buzzer Kebencian
Fauzan Fuadi

Oleh: Fauzan Fuadi (Bendahara DPW PKB Jatim)

matamaduranews.com-Suasana bulan Syawal masih cukup terasa. Namun jagat media sosial telah hiruk dengan ”perang buzzer” seputar kandidasi Pilpres 2024. Di mana mayoritas narasi yang dimunculkan oleh buzzer-buzzer tersebut justru bernada kebencian, menyerang karakter pribadi, serta narasi negatif lainnya.

Sesuatu hal yang justru kontraproduktif dengan spirit bulan Syawal. Ada apa dengan bangsa ini? Kenapa kita seolah kehilangan identitas ketimuran yang selama ini kita banggakan itu? Kenapa harus saling bully hanya karena berbeda dukungan? Kenapa berat sekali untuk saling apresiasi?

Miris. Sulit dipercaya, tapi ini adalah fakta yang sesungguhnya sudah terjadi.

Tengoklah bagaimana platform medsos yang coba mengangkat profil Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Apa saja yang dilakukan Gus Muhaimin di medsos, kolom komentarnya langsung diserbu banyak netizen dengan berbagai hujatan. Tak peduli sebaik apa pun keponakan Gus Dur tersebut berkarya untuk kemajuan bangsanya, narasi yang mengikutinya selalu saja destruktif.

Perang narasi jelang Pilpres 2024 agaknya sudah dimulai lebih awal dari perkiraan.

Saat Anies Baswedan muncul, buzzer kubu kontra ramai-ramai nyinyir dan menghujat. Pun sebaliknya. Saat Ganjar Pranowo nongol di suatu kanal berita, netizen kubu yang berseberangan bukannya mengapresiasi, malah langsung bermunculan menyerbu dengan segala narasi destruktif dan ujaran-ujaran tak pantas lainnya.

Kondisi tersebut, nampaknya berlaku merata untuk semua figur yang mencoba mengampanyekan diri jelang Pilpres 2024.

Bagi anda yang politikus, pejabat publik, tokoh masyarakat, sebaiknya jangan kaget dan baper. Sebab, ulah buzzer sungguh semakin jauh dari akal sehat. Suatu saat, bisa jadi Anda akan menjadi sasaran amuk dari buzzer yang tampaknya memang sengaja digerakkan oleh pihak tertentu sebagai sebuah serangan. Pada akhirnya polarisasi sosial-politik tersebut berpotensi semakin meluas seiring bertambahnya pengguna medsos yang tidak disertai dengan literasi yang baik.

Berdasarkan riset We Are Social bulan Januari 2022, jumlah pengguna medsos sebanyak 191 juta orang, meningkat 12.35 persen dibandingkan Januari 2021 yang sebanyak 170 juta orang (dataindonesia.id). Sayangnya, kuantitas pengguna medsos tersebut belum diikuti dengan kualitas berinternet yang memadai.

Dalam laporan berjudul Digital Civility Index (DCI), Microsoft merilis hasil riset mengenai tingkat kesopanan pengguna internet di Asia. Hasilnya Indonesia meraih angka 76, di mana semakin tinggi skor yang diraih, dianggap semakin tidak sopan. Dengan skor tersebut netizen Indonesia dianggap sebagai netizen paling tidak sopan di Asia Tenggara (indonesiabaik.id).

​Bahkan dalam survei yang dilakukan Kominfo pun, indeks literasi digital Indonesia masih stagnan di level ”sedang”, yakni di level 3,49 dengan skala skor indeks 0-5.

Perang Gagasan, Bukan Perang Kebencian

Seperti dijelaskan oleh F.B Hardiman (2009), jika demokrasi tidak mau dimengerti secara minimalis sebagai keikutsertaan pemilu belaka, maka proses-proses di antara Pemilu yang satu dengan Pemilu selanjutnya juga harus dilihat sebagai proses-proses demokratis. Maka, segenap apa yang dilakukan Gus Muhaimin dan kandidat capres lain di medsos harus dilihat dalam konteks tersebut. Para pejabat publik itu aktif di medsos untuk membuktikan bahwa dia hadir di tengah-tengah publik dalam keseharian, bukan saat menjelang Pemilu semata.

Gus Muhaimin, misalnya. Sebagai wakil ketua DPR dan ketua umum PKB, wajib baginya untuk mempertanggungjawabkan fungsi legislasi dan fungsi kepartaiannya dalam melakukan edukasi politik maupun agregasi aspirasi publik melalui postingan konten di medsos. Dan seluruh konten yang ada di medsos para kandidat Pilpres 2024 sejatinya adalah gagasan (diskursus) dan praktik membangun Indonesia lebih baik.

Maka seharusnya diskursus yang dibangun beberapa kandidat capres 2024 tersebut seyogyanya dilawan dengan wacana tandingan yang konstruktif dan faktual. Jangan sampai narasi negatif yang dibangun para buzzer diikuti begitu saja oleh netizen tanpa melakukan kroscek data dan fakta yang sebenarnya.

Sebagai contoh. Ketika Gus Muhaimin menyampaikan ”Pesan Idulfitri” di salah satu televisi swasta dan di-repost di akun medsos Gus Muhaimin, beberapa netizen justru berkomentar dengan mengangkat isu konflik Gus Dur versus Gus Muhaimin.

Pertanyaannya, apa hubungannya? Selain tidak nyambung, narasi usang tentang ”pengkhianatan” Gus Muhaimin kepada Gus Dur jelas tidak terbukti. Sejarah membuktikan Gus Muhaimin adalah santri sejati Gus Dur. Gus Muhaimin adalah keponakan kesayangan Gus Dur. Gus Muhaimin selain menjadikan Gus Dur sebagai poros ideologi PKB, pria yang karib disapa Panglima Santri ini juga memberi nama seluruh kantor PKB se-Indonesia dengan Grha Gus Dur. Pun secara istiqomah setiap tahun Gus Muhaimin memperingati haul Gus Dur sebanyak dua kali (kalender Masehi dan Hijriyah).

Bila masih penasaran, silakan di-searching di ”Mbah google”, adakah 1 jejak digital saja, Gus Muhaimin melawan pernyataan atau bahkan menjelek-jelekkan Gus Dur? Dinamika Gus Dur dan Gus Muhaimin itu terjadi di 2009, dan hari ini adalah 13 tahun berselang. Mengapa setiap Gus Muhaimin akan ”naik kelas”, isu 2009 selalu digulirkan?

Akan tetapi, inilah realita konstruksi politik di negara kita yang harus kita sikapi dengan baik. Betapapun mungkin kita terluka dengan berbagai narasi kebencian yang berkembang itu, jangan sekali-kali melawan narasi kebencian tersebut dengan kebencian yang sama.

Sikap yang ditunjukkan Gus Muhaimin setidaknya bisa dijadikan sebagai inspirasi. Tatkala idenya tentang penundaan pemilu dihabisi di mana-mana, dengan logika-logika sesat buzzer, ia justru tetap riang gembira menyikapi bahkan terkadang dengan cara-cara humor yang cerdas.

“Katanya negara demokrasi, usul kok tidak boleh”, celetuknya dalam sebuah acara PMII di Jakarta. Meskipun pernah menyatakan secara terbuka bahwa setiap langkah politiknya menuai serangan dan teror, dengan santai pemegang rekor pimpinan DPR RI termuda tersebut bilang : ”Saya tidak akan pernah takut dengan teror politik, karena di belakang saya ada ibu-ibu, ” ujarnya dalam sebuah acara di Malang. Yang terbaru, postingan paginya di Twitter malah menyebut bahwa: ”Bukan badai, hanya angin sepoi-sepoi dari haters,” tulisnya santai (16/05).

Sampai di sini, bisa jadi benar bahwa aksi buzzer dan haters itu dilatarbelakangi tren elektabilitas Gus Muhaimin yang mulai merangkak naik. Tentu saja hal ini berbahaya. Mengapa demikian? Sebab berkaca pada kandidat capres 2024 lain, Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo, misalnya, saat tren elektoral mereka membaik, maka mereka diserang dengan narasi-narasi negatif yang sama sekali tidak terkait fakta kinerjanya sebagai pejabat publik.

Politik di Era Anti-Politik

Artinya ini menjadi preseden buruk bagi pematangan demokratisasi kita. Mengutip Geoff Mulgan (1995), kita seperti berpolitik di era anti-politik. Sebab, pada hakikatnya proses politik selalu berawal dari wacana/diskursus (Goenawan Mohamad, 2008). Maka merayakan era politik seharusnya adalah merayakan perang wacana (diskursus), bukan perang kebencian. Hanya dengan begitu, kata Hannah Arendt (2002), kita bisa meresapi politik sebagai ”seni mengabadikan diri.”

Generasi milenial dan generasi-Z sedini mungkin harus diedukasi dengan wacana bahwa politik harus dilakukan dengan riang gembira. Bukan dengan caci maki dan ujaran kebencian. Para stakeholders terkait, terutama Kominfo harus inovatif dan kreatif untuk memformulasikan kebijakan dalam meningkatkan indeks literasi digital di Indonesia. Karena mau tidak mau, disrupsi teknologi dewasa ini mengubah lanskap politik kita berdimensi digital.

Kalau demokrasi kita masih berkubang dalam praktik-praktik kontra diskursif, niscaya kita akan mengalami gelombang balik demokrasi. (*)

*) tulisan ini bersumber dari harian.disway.id dengan judul: Muhaimin, Perang Buzzer dan Narasi Kebencian Jelang Pilpres 2024

KPU Bangkalan